TEL AVIV (Arrahmah.id) – Bekas Perdana Menteri “Israel”, Ehud Barak, hari ini Jumat (16/5) menyatakan bahwa Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, tidak memperhatikan Perdana Menteri “Israel”, Benyamin Netanyahu. Pemerintah “Israel” disebut rela mengorbankan sandera yang ditahan di Gaza demi memuaskan kelompok ekstremis dalam pemerintahannya.
Dalam wawancara dengan saluran televisi Channel 12 “Israel”, Barak mengatakan, “Trump tidak peduli pada Netanyahu, dan tidak ikut campur dalam keputusan Netanyahu terkait Gaza.”
Barak menambahkan, “Trump melihat “Israel” tidak akan meraih apa-apa di Gaza, karena selama satu setengah tahun perang sejak Oktober 2023, “Israel” belum mencapai hasil berarti.”
Menurut Barak, Netanyahu lalai menjalankan tugasnya dan terus melanjutkan operasi militer di Gaza demi menjaga kekuasaannya. Ia juga menuduh Netanyahu mengorbankan sandera Gaza demi menyenangkan kelompok ekstremis di pemerintahannya. Barak menyoroti pula pengabaian terhadap tentara cadangan demi kepentingan kelompok Yahudi ultra-Ortodoks yang menolak wajib militer.
Mengenai perluasan operasi militer “Israel” di Gaza, Barak berpendapat, jika Netanyahu memperluas serangan, hal itu akan menambah isolasi “Israel” dan meningkatkan kritik terhadapnya. “Hal ini bahkan bisa mengancam stabilitas Perjanjian Abraham dan perjanjian damai lainnya,” ujarnya.
Perjanjian Abraham yang ditengahi oleh pemerintahan Trump pada 2020, membuka hubungan diplomatik antara “Israel” dengan beberapa negara Arab, termasuk Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko.
Barak menilai perluasan operasi militer di Gaza adalah “kesalahan strategis besar.” Ia juga memperingatkan risiko keselamatan sandera yang masih hidup di Gaza yang diperkirakan berjumlah 20 orang dari total 58 sandera “Israel”.
Di sisi lain, lebih dari 9.900 tahanan Palestina dikabarkan mengalami perlakuan buruk di penjara “Israel”, yang telah menyebabkan kematian beberapa di antaranya, menurut laporan media dan organisasi HAM.
Kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran tahanan yang dimulai Januari 2025 dan dimediasi oleh Mesir dan Qatar, dengan dukungan Amerika Serikat, telah dilanggar oleh Netanyahu yang melanjutkan operasi militer besar di Gaza sejak Maret 2025.
Dalam beberapa hari terakhir, “Israel” meningkatkan serangan dan melakukan puluhan pembantaian yang menewaskan lebih dari 378 warga Palestina, menurut data Kementerian Kesehatan Gaza.
Langkah ini didukung oleh kabinet kecil keamanan “Israel” (Kabinett) yang menyetujui perluasan operasi militer dengan pengerahan pasukan cadangan dalam operasi bernama “Arabat Gideon.”
Sejak 7 Oktober 2023, “Israel” dengan dukungan Amerika Serikat menjalankan operasi militer besar-besaran yang menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah di Gaza.
(Samirmusa/arrahmah.id)