JAKARTA (Arrahmah.id) – Komisi Perempuan, Remaja, dan Keluarga (KPRK) MUI bersama KemenPPPA dan KPAI menyatakan siap untuk mendampingi dan melindungi korban kekerasan seksual.
Hal ini disampaikan oleh Ketua KPRK MUI Dr Siti Ma’rifah, Ahad (18/5/2025) menanggapi munculnya komunitas penyuka hubungan sedarah (Inses) di Facebook bernama ‘Fantasi Sedarah’.
“KPRK MUI bersama KemenPPA dan KPAI siap mendampingi dan memberikan perlindungan pada korban (kekerasan seksual). Untuk itu diperlukan kerja sama dengan masyarakat agar dapat membantu jika hal tersebut terjadi di wilayahnya,” jelasnya, dikutip dari MUIDigital, Kamis (22/5/2025).
Siti Ma’rifah mengajak korban untuk berani speak up (angkat bicara) melakukan perlawanan terhadap pelaku kekerasan seksual, meskipun pelakunya berasal dari orang terdekatnya.
Lebih lanjut, Siti Ma’rifah menyampaikan keprihatinan sekaligus mengecam keras dengan munculnya komunitas sedarah ini.
Dia menekankan, tindakan tersebut sangat jahat yang melanggar norma agama dan kesusilaan. Selain itu, lanjutnya, tindakan tersebut juga melanggar harkat kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karena itu, dia mendorong agar aparat penegak hukum segera menutup akun-akun yang berkaitan dengan komunitas sedarah.
“Aparat penegak hukum harus segera menutup akun-akun yang berkaitan dengan komunitas sedarah dan memberikan sanksi hukum yang tegas kepada para pelaku,” tegasnya.
Atas kejadian ini, Siti Ma’rifah mengajak masyarakat untuk kembali membangun dan menguatkan nilai-nilai agama yang menjadi pondasi ketahanan keluarga.
Siti Ma’rifah menjelaskan keluarga harus menjadi tempat yang nyaman dan aman untuk keluarga, termasuk anak-anak yang harus dilindungi kesehatan fisik dan mentalnya agar menjadi generasi yang berakhlakul karimah, sehat, bermartabat dan menjadi harapan bangsa.
Siti Ma’rifah menekankan kasus tersebut sangat jelas melanggar norma agama, norma hukum dan kepatutan. Dalam Qs an-Nisa ayat 23 Allah SWT menegaskan pernikahan sedarah hukumnya haram.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya: Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sebelumnya, Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Miftahul Huda menyampaikan terdapat beberapa hadis yang menjadi landasan pendapat ini diantaranya adalah riwayat dari Al-Bara’ RA.
Dia berkata, “Aku bertemu dengan pamanku, bersamanya ada panji. Aku bertanya kepadanya, ‘Mau ke mana engkau?’ Dia menjawab, ‘Rasulullah ﷺ mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri ayahnya, dan beliau memerintahkanku untuk memenggal lehernya dan mengambil hartanya.” (HR Abu Dawud)
Juga diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa Nabi SAW bersabda:
قال رسول الله ﷺ: «من وقع على ذاتِ محرمٍ فاقتلوه»
“Barang siapa berbuat zina dengan perempuan mahramnya, maka bunuhlah dia.” (HR Ahmad, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan al-Hakim, al-Hakim berkata, “Sahih namun tidak di riwayat keduanya.”)
“Secara umum, hukum zina mahram adalah haram dan berdosa besar. Bagi pelaku belum menikah, dikenai hukum cambuk dan pengasingan, dan yang sudah berpasangan (muhshan) dikenai hukuman rajam atau hukuman mati menurut satu riwayat dari Imam Ahmad, sebagaimana hadis-hadis yang telah dijelaskan,” kata Kiai Miftah, dikutip dari MUIDigal, Selasa (20/5/2025).
Kiai Miftah menambahkan, Allah SWT melarang umat Islam untuk mendekati zina, apalagi melakukan zina, karena itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang buruk. Allah SWT berfirman dalam Qs Al-Isra ayat 32:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰىٓ اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةًۗ وَسَاۤءَ سَبِيْلًا
“Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
“Zina dengan mahram (inses) jelas termasuk dosa besar, bahkan merupakan bentuk zina yang paling keji secara mutlak,” tegas Kiai Miftah.
Kiai Miftah menukil pernyataan Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami yang menegaskan bahwa inses adalah bentuk zina yang paling berat secara mutlak.
وأعظم الزنا على الإطلاق الزنا بالمحارم (الزواجر عن اقتراف الكبائر 2/301).
“Dan bentuk zina yang paling berat secara mutlak adalah zina dengan mahram.” (Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kaba’ir, 2/301).
(ameera/arrahmah.id)