GAZA (Arrahmah.id) – Seorang pejabat senior Hamas mengungkap bahwa utusan khusus Donald Trump, Steve Witkoff, pernah membuat kesepakatan langsung dengan kelompok perlawanan tersebut: Hamas diminta membebaskan tentara AS bernama Edan Alexander, dan sebagai imbalannya, pemerintahan Trump akan menekan ‘Israel’ untuk mencabut blokade Gaza, mengizinkan masuknya bantuan kemanusiaan, serta mendorong gencatan senjata. Namun, menurut Hamas, Amerika Serikat mengingkari janji tersebut.
“Itu kesepakatan,” kata Basem Naim, anggota biro politik Hamas, dalam wawancara dengan Drop Site. Ia menegaskan bahwa janji tersebut datang langsung dari Witkoff. “Mereka tidak sekadar melanggar janji, mereka membuangnya ke tempat sampah,” katanya.
Edan Alexander, seorang pemukim ‘Israel’ berkewarganegaraan ganda AS-‘Israel’, ditangkap oleh pejuang perlawanan Palestina dari dalam tank ‘Israel’ pada 7 Oktober 2023. Ia merupakan tentara aktif ‘Israel’. Pembebasannya pekan ini menjadi yang pertama bagi tentara laki-laki ‘Israel’ sejak genosida di Gaza dimulai. Hamas menyebut tindakan tersebut sebagai isyarat niat baik kepada Trump dan didasarkan pada janji bantuan kemanusiaan segera untuk Gaza, yang telah menghadapi kampanye kelaparan ‘Israel’ selama lebih dari dua bulan.
Namun, alih-alih bantuan, ‘Israel’ justru meningkatkan serangannya. Sehari setelah Alexander dibebaskan, ‘Israel’ membombardir Rumah Sakit Eropa di Khan Yunis, menewaskan 28 orang. ‘Israel’ mengklaim serangan tersebut menargetkan Muhammad Sinwar, komandan sayap bersenjata Hamas, meskipun kabar kematiannya belum dikonfirmasi.
Trump, saat mengunjungi negara-negara Teluk, mengakui adanya kelaparan di Gaza. “Banyak orang kelaparan. Banyak sekali. Ada banyak hal buruk yang sedang terjadi,” ucapnya saat berada di UEA. Namun, Naim menanggapi dingin. “Kami butuh tindakan, bukan ucapan. Bencana kemanusiaan ini harus segera dihentikan.”
Trump sebelumnya mengusulkan rencana menjadikan Gaza sebagai “zona kebebasan” atau “Riviera Timur Tengah” yang dikendalikan AS. Pada Februari, ia berdiri bersama PM ‘Israel’ Netanyahu dan mengusulkan penyitaan wilayah Gaza.
Sementara itu, AS dan ‘Israel’ mengusulkan distribusi bantuan yang melewati Hamas dan diseleksi secara ketat atas nama keamanan. Yayasan Kemanusiaan Gaza yang didukung Trump rencananya mulai beroperasi akhir Mei. Bantuan akan didistribusikan di Gaza selatan, jauh dari komunitas pengungsi yang terjebak di utara.
Lembaga bantuan internasional dan PBB mengecam rencana ini, menyebutnya sebagai “senjata makanan” dan menekankan bahwa rencana tersebut mengabaikan kebutuhan utama yaitu gencatan senjata. ‘Israel’ menyatakan pasukannya akan “mengamankan wilayah,” meski tidak akan langsung membagikan bantuan.
Hamas menegaskan bahwa hanya gencatan senjata penuh dan penarikan pasukan ‘Israel’ yang dapat membuka peluang pembebasan tawanan lebih lanjut. Naim menyebut ‘Israel’ selalu menggunakan jeda kemanusiaan untuk membebaskan tawanan mereka, lalu kembali melanjutkan perang dan blokade. “Kita akan kembali ke titik awal,” katanya. “Mereka hanya ingin mengambil tahanan dan melanjutkan pengeboman serta kelaparan.”
Pekan ini saja, serangan udara ‘Israel’ menewaskan lebih dari 90 warga Palestina dan melukai sekitar 200 orang. Wilayah utara Gaza menerima perintah evakuasi massal. Serangan udara intens dilaporkan menyasar pemukiman. Jenazah berjejer di lantai rumah sakit dan ambulans turut diserang.
Hamas menyatakan bahwa perundingan telah mandek. “Tidak ada kemajuan sama sekali,” kata Naim. “Mereka kembali ke rencana lama seolah-olah pembebasan Alexander tidak pernah terjadi.”
Media ‘Israel’ melaporkan bahwa Witkoff “menyerah” dalam perundingan terbaru di Doha dan menyatakan AS tak lagi menekan ‘Israel’ untuk mengakhiri genosida. Draf proposal “Witkoff” yang bocor pada April menghapus poin-poin utama dari kesepakatan Januari, termasuk gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan ‘Israel’.
Sebaliknya, draf baru itu hanya mengusulkan penarikan sebagian, keberadaan militer ‘Israel’ yang berkelanjutan di Gaza, dan pelucutan total Hamas, semua syarat yang langsung ditolak oleh kelompok tersebut.
Naim menyindir bahwa kebijakan Trump terus berubah-ubah. “Seperti pasar saham,” katanya. “Pagi, siang, malam, suasana hatinya berubah terus.”
Kecuali Washington memaksa ‘Israel’ bertanggung jawab, Naim memperingatkan bahwa genosida akan terus berlangsung. “Selama ‘Israel’ bertindak seperti negara bandit tanpa konsekuensi,” ujarnya, “perundingan ini tidak ada artinya.” (zarahamala/arrahmah.id)