Memuat...

Guardian: Di Tengah Neraka Perang Sudan, Relawan Rakyat Bertaruh Nyawa Selamatkan Jutaan Warga

Samir Musa
Jumat, 26 Desember 2025 / 6 Rajab 1447 08:39
Guardian: Di Tengah Neraka Perang Sudan, Relawan Rakyat Bertaruh Nyawa Selamatkan Jutaan Warga
Laporan Guardian menegaskan bahwa Sudan tengah menghadapi krisis kemanusiaan terburuk di dunia. (Reuters)

SUDAN (Arrahmah.id) – Di tengah salah satu perang paling brutal di era modern, ribuan warga Sudan mempertaruhkan nyawa mereka setiap hari demi memastikan jutaan warga sipil tetap mendapatkan makanan, obat-obatan, dan dukungan psikologis. Hal itu terungkap dalam laporan surat kabar Inggris Guardian.

Laporan yang ditulis koresponden Guardian, Mark Townsend, menyoroti peran krusial Ruang Respons Darurat (Emergency Response Rooms/ERRs), sebuah jaringan kemanusiaan akar rumput yang menjadi sandaran hidup jutaan rakyat Sudan sejak perang pecah pada 15 April 2023. Konflik tersebut telah meluluhlantakkan negara itu dan menjadikannya sebagai lokasi krisis kemanusiaan terburuk di dunia saat ini.

Di tengah garis pertempuran yang terus berubah antara tentara Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat, serta runtuhnya institusi negara, jaringan relawan ini tampil sebagai satu-satunya alternatif yang mampu menyediakan makanan, layanan kesehatan darurat, dan dukungan psikologis bagi masyarakat yang terjebak di zona perang.

Menyelinap di antara peluru

Guardian mengangkat kesaksian seorang relawan bernama Amira, yang setiap hari menyelinap ke wilayah yang dikuasai Pasukan Dukungan Cepat untuk membantu perempuan dan anak-anak korban kekerasan seksual. Setiap langkahnya dipenuhi risiko—mulai dari penangkapan, penyiksaan, hingga kematian.

Setiap pagi, Amira menyeberangi garis depan yang terus bergeser di negara bagian Kordofan Utara. Ia memasuki wilayah yang dikuasai pasukan semi-militer yang, menurut laporan Guardian, telah melakukan berbagai kejahatan perang, termasuk genosida.

Kedua pihak yang bertikai sama-sama memandangnya dengan kecurigaan. “Aku terus-menerus diinterogasi. Setiap hari diperiksa. Bahkan saat ke pasar pun mereka bertanya, dari mana uang itu berasal?” tuturnya.

Di tengah atmosfer ketakutan dan saling curiga tersebut, Guardian menilai Sudan justru melahirkan salah satu kisah paling menginspirasi tahun ini, ketika warga biasa bangkit menggantikan peran negara yang runtuh.

Jaringan rakyat penyelamat nyawa

Di berbagai penjuru Sudan, cabang-cabang Ruang Respons Darurat bermunculan. Para relawan—laki-laki dan perempuan biasa—memasak makanan, mengoperasikan dapur umum, mengantar obat-obatan, dan memberikan perawatan medis darurat bagi jutaan warga.

Amira sendiri bahkan tidak berani memberi tahu ibunya bahwa ia menjadi bagian dari jaringan tersebut.

Menurut laporan Guardian, jaringan ini kini melibatkan sekitar 26 ribu relawan, beroperasi di 96 dari 118 wilayah Sudan, dan telah menjangkau lebih dari 29 juta orang, atau lebih dari setengah populasi negara itu.

Guardian menilai jaringan ini memiliki keunggulan karena mampu melampaui sekat etnis dan wilayah, serta membangun kepercayaan masyarakat lokal, sehingga menjadi faktor penting dalam menjaga sisa-sisa kohesi sosial di negeri yang terkoyak perang.

Namun keberhasilan tersebut juga menjadikan para relawan sasaran langsung pihak-pihak yang bertikai. Sedikitnya 145 relawan dilaporkan tewas, sementara jumlah yang ditangkap atau hilang tidak diketahui akibat terputusnya komunikasi di banyak wilayah. Penyiksaan, pemukulan, dan tuduhan keberpihakan politik menjadi risiko yang mereka hadapi setiap hari.

Paradoks bantuan internasional

Di tingkat global, laporan Guardian mengungkap paradoks mencolok. Meski Ruang Respons Darurat terbukti sebagai aktor paling efektif dan berbiaya rendah dibanding lembaga-lembaga internasional, mereka justru mengalami krisis pendanaan akut.

Jaringan ini hanya menerima kurang dari 1 persen dari total bantuan internasional untuk Sudan. Pembekuan bantuan Amerika Serikat memperparah kondisi tersebut, menyebabkan defisit pendanaan hingga 77 persen. Akibatnya, ratusan dapur umum terpaksa ditutup, padahal dapur-dapur inilah yang selama ini mencegah terjadinya kelaparan massal.

Townsend mencatat bahwa pertemuan perwakilan Ruang Respons Darurat dengan pejabat Inggris di London merupakan pengakuan politik penting atas keberanian mereka. Namun para relawan menegaskan bahwa mereka tidak membutuhkan pujian, melainkan perlindungan nyata dan pendanaan langsung.

Jaringan ini juga sempat dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian tahun ini, meski akhirnya tidak terpilih. Namun bagi para relawan, penghargaan bukanlah tujuan.

“Kami hanya ingin membantu,” ujar Jamal, salah satu relawan.

Berakar dari perlawanan rakyat

Guardian mencatat bahwa cikal bakal Ruang Respons Darurat berasal dari Komite Perlawanan yang muncul dalam gelombang protes terhadap rezim Omar al-Bashir dan berperan besar dalam menjatuhkannya pada April 2019.

Di masa transisi yang diwarnai represi dan kekerasan terhadap demonstran, para pemuda dan pemudi membentuk unit-unit medis darurat untuk merawat korban luka. Dari inisiatif-inisiatif sederhana inilah lahir jaringan kemanusiaan terbesar dan paling berani dalam sejarah modern Sudan.

(Samirmusa/arrahmah.id)

sudanHeadlineparamiliter rsf