GAZA (Arrahmah.id) — Gerakan Perlawanan Islam Hamas memperingatkan bahwa Jalur Gaza kini menghadapi salah satu bencana kemanusiaan terburuk dalam sejarah modern, menyusul masuknya wilayah tersebut ke dalam fase kelaparan total dan meluasnya kasus malnutrisi akut, terutama di kalangan anak-anak dan bayi, akibat blokade “Israel” yang terus berlangsung dan pelarangan masuk bantuan kemanusiaan.
Dalam konferensi pers pada Rabu, 30 April 2025, yang disampaikan oleh pemimpin Hamas, Dr. Abdul Rahman Syadid, disebutkan bahwa “Israel” telah mengubah Gaza menjadi penjara besar tempat kehidupan sekarat akibat kelaparan dan penyakit, dalam kejahatan genosida yang berlangsung di tengah ketidakpedulian dunia dan kelumpuhan lembaga-lembaga internasional.
“Pendudukan Zionis menggunakan kelaparan sebagai senjata perang yang sistematis untuk mematahkan semangat rakyat Palestina, dalam pelanggaran mencolok terhadap Konvensi Jenewa dan hukum humaniter internasional,” ujarnya. Lebih dari satu juta anak mengalami kelaparan harian, dan lebih dari 65.000 kasus malnutrisi akut telah tercatat di rumah sakit yang kini berada di ambang kehancuran total.
Syadid menambahkan bahwa “Israel” dengan sengaja menahan ribuan truk bantuan makanan dan obat-obatan di perbatasan Rafah, sekaligus melanjutkan serangan brutal dan penghancuran sistematis terhadap infrastruktur sipil, dipimpin langsung oleh PM Benjamin Netanyahu dan didukung oleh Amerika Serikat.
Sementara itu, perlawanan Palestina di Gaza terus melancarkan operasi terhadap militer penjajah, termasuk melalui Brigade Al-Qassam dan kelompok perlawanan lainnya, dalam “pertempuran heroik yang berhasil menguras kekuatan militer musuh dan menggagalkan pencapaian strategisnya.”
Di wilayah Tepi Barat dan Al-Quds, agresi Zionis berlanjut dengan invasi ke kamp-kamp pengungsi seperti Nur Syams, Jenin, dan Tulkarem, pengusiran paksa terhadap keluarga Palestina, serta intensifikasi penodaan terhadap Masjid Al-Aqsha dan Masjid Ibrahimi.
Terkait solusi politik, Hamas menyatakan telah mengajukan pada 17 April lalu sebuah inisiatif komprehensif kepada para mediator, yang mencakup: gencatan senjata permanen, penarikan penuh militer “Israel” dari Gaza, pencabutan blokade, masuknya bantuan, rekonstruksi, serta pertukaran tahanan yang adil.
Namun, usulan tersebut ditolak oleh pemerintah Netanyahu yang memilih melanjutkan perang dan pengepungan, bahkan dengan mengorbankan tentara mereka yang ditawan. Hamas menegaskan bahwa pihaknya tetap terbuka terhadap setiap proposal yang mengarah pada penghentian perang dan penyelamatan nyawa.
Dalam kesempatan yang sama, Hamas menyerukan kepada negara-negara Arab dan Islam untuk segera mengambil langkah nyata, termasuk membuka perbatasan, memutus hubungan dengan entitas Zionis, menghentikan normalisasi, dan menggunakan kekuatan ekonomi sebagai tekanan terhadap negara-negara pendukung penjajahan.
“Adalah hal yang memalukan jika bendera ‘Israel’ masih berkibar di sebagian ibu kota Arab dan Islam, sementara rakyat Palestina dibantai dan dibiarkan kelaparan,” tegas Syadid.
Hamas juga mengecam keras serangan terhadap kapal bantuan kemanusiaan “Al-Dhamir” di perairan internasional, menyebutnya sebagai aksi perompakan dan terorisme negara oleh entitas Zionis, yang harus dihadapkan pada tuntutan hukum internasional.
Mengakhiri pernyataannya, Syadid mengapresiasi keberanian para relawan kemanusiaan dan menyerukan mobilisasi massa global dalam bentuk aksi publik, tekanan politik, dan kampanye media untuk menghentikan genosida dan mematahkan blokade atas Gaza.
(Samirmusa/arrahmah.id)