GAZA (Arrahmah.id) - Pejabat senior Hamas, Ghazi Hamad, pada Selasa (23/12/2025) menegaskan kembali komitmen penuh gerakannya terhadap perjanjian gencatan senjata di Gaza, seraya menyatakan bahwa Hamas siap memasuki tahap kedua selama ketentuannya didefinisikan secara jelas dan disepakati bersama.
Namun ia memperingatkan bahwa pelanggaran 'Israel' yang terus-menerus telah mengikis kepercayaan dan memunculkan keraguan serius terhadap niat Tel Aviv. “Hamas telah sepenuhnya mematuhi perjanjian,” ujar Hamad, seraya menambahkan bahwa 'Israel' telah melakukan hampir 900 pelanggaran sejak gencatan senjata mulai berlaku. Tindakan-tindakan tersebut, menurutnya, merusak kredibilitas klaim 'Israel' tentang komitmen untuk melanjutkan perjanjian.
Dalam wawancara dengan kantor berita Rusia RIA Novosti, Hamad menegaskan bahwa Hamas hanya akan melanjutkan ke tahap kedua jika kerangka perjanjiannya disepakati oleh semua pihak. Ia menekankan bahwa pelanggaran berulang bukan hanya melanggar gencatan senjata, tetapi juga mengancam keberlanjutannya dalam jangka panjang.
Menanggapi usulan pasukan stabilisasi internasional di Gaza, Hamad menyebut gagasan itu “positif” secara prinsip, namun menegaskan bahwa mandat pasukan tersebut harus sangat terbatas, hanya untuk menjaga gencatan senjata dan mencegah provokasi.
Pada akhir pekan lalu, delegasi senior Hamas yang dipimpin Khalil al-Hayya bertemu dengan Kepala Intelijen Turki Ibrahim Kalin di Istanbul. Pembahasan difokuskan pada implementasi gencatan senjata, memastikan kepatuhan 'Israel' pada tahap pertama, serta persiapan menuju tahap kedua.
Secara terpisah, Utusan Khusus AS untuk Timur Tengah Steve Witkoff mengonfirmasi bahwa Amerika Serikat, Mesir, Qatar, dan Turki menggelar pertemuan di Miami pada Jumat lalu (19/12) untuk mengevaluasi tahap pertama gencatan senjata dan mempersiapkan tahap selanjutnya. Pertemuan ini merupakan bagian dari upaya internasional yang lebih luas terkait tata kelola pascaperang dan rekonstruksi Gaza.
Sejak gencatan senjata mulai berlaku pada 10 Oktober, Hamas menyatakan bahwa 'Israel' telah melakukan lebih dari 900 pelanggaran, termasuk pemboman, eksekusi di tempat, dan penghancuran infrastruktur.
Pelanggaran tersebut dilaporkan menyebabkan lebih dari 400 warga Palestina gugur, dengan lebih dari 95 persen di antaranya warga sipil.
Meski gencatan senjata diberlakukan, pasukan pendudukan 'Israel' dilaporkan telah melampaui zona penyangga yang disepakati dan membatasi masuknya bantuan kemanusiaan dengan dalih kekhawatiran “penggunaan ganda”. Komite pemantauan pelanggaran yang disepakati tidak pernah dibentuk, sementara perlintasan Rafah tetap ditutup, sehingga menghambat evakuasi kasus-kasus kemanusiaan.
Kekhawatiran atas Masa Depan Gaza
Tahap kedua gencatan senjata mencakup penarikan pasukan pendudukan dari wilayah yang ditentukan oleh “garis merah”, dimulainya proses rekonstruksi, serta kemungkinan pengerahan pasukan stabilisasi internasional dengan mandat yang sangat terbatas.
Para pejabat Hamas berulang kali menegaskan bahwa rakyat Palestina akan tetap memegang kendali atas keamanan internal, serta menolak segala bentuk administrasi asing atau kehadiran pendudukan di Gaza.
Hamas juga menyuarakan penolakan keras terhadap proposal tata kelola eksternal yang diajukan dalam rencana yang dipimpin AS dan disetujui Dewan Keamanan PBB, yang mengusulkan pembentukan otoritas teknokrat asing dan pasukan keamanan untuk mengelola Gaza selama masa transisi dua tahun.
Para pengkritik menilai skema tersebut melemahkan penentuan nasib sendiri Palestina dan berisiko mengukuhkan kontrol asing permanen atas Gaza. (zarahamala/arrahmah.id)
