GAZA (Arrahmah.id) — Dalam sebuah video yang dirilis sayap militer kelompok perlawanan Palestina Hamas, Brigade al Qassam, seorang sandera Hamas memohon untuk diselamatkan sembari mengecam Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu.
Sandera tersebut, yang hanya diidentifikasi sebagai nomor 24 sudah dua kali menjadi korban pengeboman militer Zionis Israel sejak Israel melanggar gencatan senjata hampir dua bulan lalu.
Dilansir The Times of Israel (4/5/2025), pengeboman pertama nyaris merenggut nyawanya, namun dia berhasi diselamatkan Brigade al-Qassam.
Sambil menahan sakit akibat luka parah di wajah dan lengan kirinya, Maxim Herkin mengatakan bahwa hanya kesepakatan yang dinegosiasikan yang dapat membawa pulang para sandera.
Dia juga mendesak warga Israel menggelar protes atas kelambanan pemerintah Netanyahu.
“Ini adalah jenis tekanan militer yang diklaim Netanyahu dan pemerintahannya akan membawa kita pulang,” kata sandera tersebut, menggambarkan kondisinya saat ini sebagai hal yang mengerikan, seperti dikutip dari Palestine Chronicle (4/5).
Dia menyatakan bahwa dirinya tidak memiliki akses terhadap pengobatan dan bahwa evakuasi ke rumah sakit bukanlah suatu pilihan.
Seminggu sebelumnya, Brigade al-Qassam telah merilis video lain yang memperlihatkan para milisinya berusaha menyelamatkan para sandera Israel selama pengeboman yang sedang berlangsung, meskipun video tersebut tidak menyertakan identitas para tawanan.
Dalam video terbaru, sandera tersebut menyebutkan seorang sandera lainnya bernama Bar, mendesak para pejuang Brigade al-Qassam untuk mencari dan menolongnya.
Dia juga mempertanyakan bagaimana Israel dapat merayakan Hari Kemerdekaan-nya yang akan datang—sebuah referensi yang menunjukkan bahwa video tersebut direkam sebelum malam tanggal 30 April—sementara 59 sandera masih berada di Gaza.
“Bagaimana kalian akan mengibarkan bendera dan mengadakan pesta barbekyu? Bagaimana kalian akan merayakannya?” tanyanya, sambil menyerukan kepada masyarakat Israel untuk turun ke jalan dan menuntut tindakan untuk membebaskan para sandera.
Dia, lebih lanjut, mengkritik kepemimpinan Israel, dengan mengatakan, “Tidak seorang pun peduli di mana kami berada atau apa yang terjadi pada kami. Tidak juga pemerintah, tidak juga perdana menteri. Kami bahkan tidak ada dalam radar mereka.”
Dia kemudian memohon kepada masyarakat Israel: “Tolong bantu kami. Saya mohon. Jangan tinggal diam. Jangan biarkan pemerintah menjebak kalian dalam situasi ini. Kebebasan kami bergantung pada kalian.”
Sandera itu mengakui bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mungkin menganggap video itu sebagai “perang psikologis”, tetapi dia membalas: “Perang psikologis yang sebenarnya adalah apa yang sedang saya alami.”
Dia mengakhiri pesannya dengan mengatakan bahwa ini mungkin terakhir kalinya keluarganya melihat atau mendengar kabar darinya.
Video itu ditutup dengan pesan dari Brigade al Qassam: “Mereka tidak akan pergi kecuali melalui kesepakatan. Waktu hampir habis.”
Hal ini terjadi saat kabinet keamanan Israel bersiap menyetujui perluasan operasi militer di Gaza, meskipun ada pertentangan dalam negeri yang meningkat.
Selama perayaan Hari Kemerdekaan, Netanyahu menegaskan kembali komitmennya untuk melanjutkan perang hingga semua tawanan—baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal—dipulangkan, dan hingga Hamas dibubarkan.
Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF) Letnan Jenderal Eyal Zamir juga mengatakan tentara Israel siap untuk meningkatkan operasinya di Gaza. (hanoum/arrahmah.id)