Oleh: Ahmad Moulana
Seorang insinyur asal Mesir. Ia telah menerbitkan dua buku, yaitu Mentalitas Keamanan dalam Menghadapi Kelompok Islamis dan Akar Permusuhan.
(Arrahmah.id) – Terinspirasi oleh para “tentara salib Kristen yang menghalau gelombang Muslim pada abad ke-12,” Pete Hegseth, yang dijuluki sebagai tentara salib terakhir Amerika, mengajak warga AS untuk membangkitkan keberanian serupa melawan “kaum Islamis” masa kini.
Baginya, di samping ancaman komunis Tiongkok dengan ambisi globalnya, Islamisme adalah musuh terbesar kebebasan dunia. “Tak ada ruang untuk negosiasi atau hidup berdampingan. Islamisme harus dipinggirkan dan dihancurkan,” tegasnya. Bukan sembarang orang yang berbicara, melainkan sosok berpengaruh di Washington, penguasa tiga juta tentara dan pegawai sipil dengan anggaran fantastis 895 miliar dolar untuk tahun ini. Dialah Pete Hegseth, Menteri Pertahanan AS yang baru.
Artikel ini menyelami perjalanan hidup Hegseth, pandangan kontroversialnya, dan teorinya yang menggemparkan, dengan merujuk pada karya-karyanya seperti American Crusade: Our Fight to Stay Free, Battle for the American Mind: Uprooting a Century of Miseducation, dan War on Warriors.
Kita juga akan menelusuri bagaimana ia meloncat ke kursi Menteri Pertahanan meski pernah dipecat dari militer, serta transformasinya dari pengkritik menjadi pendukung fanatik Donald Trump. Hegseth dikenal sebagai petarung verbal yang tak kenal kompromi, melepaskan “tembakan” ke segala arah melalui buku, pernyataan, dan acara televisinya, Fox & Friends Weekend, yang menjadi program pagi paling populer di AS di saluran Fox News. Beberapa ucapannya yang menggelegar:
“Partai Demokrat membenci Amerika—konstitusi, bendera, iman, dan nilai-nilai kita. Kami bukan sekadar lawan politik, kami musuh. Hanya ada satu pemenang: kami atau mereka. PBB, Uni Eropa, dan Mahkamah Pidana Internasional bersekongkol untuk meruntuhkan batas negara dan kewarganegaraan. Islamisme, yang bersumber dari Islam, kehidupan Nabi Muhammad, dan Al-Qur’an, adalah ideologi paling terorganisir dan agresif di planet ini.”

Mengarungi Jejak Para Tentara Salib
Lahir pada 1980 sebagai keturunan generasi kelima imigran Norwegia, Hegseth memiliki wajah khas Skandinavia, namun tak lagi fasih berbahasa Norwegia, melebur sepenuhnya dalam budaya Amerika. Ia getol mempromosikan bahasa Inggris sebagai satu-satunya bahasa di AS. Dibesarkan di Minnesota dalam keluarga religius yang tak pernah absen ke gereja, Hegseth kecil justru tak terlalu taat. Titik baliknya terjadi pada 1999, saat ia terpukau oleh ceramah pendeta evangelis legendaris Billy Graham. Di tahun yang sama, ia melangkah ke Universitas Princeton untuk mempelajari filsafat politik.
Meski meraih gelar sarjana, ia mencibir Princeton karena dianggap telah “mengkhianati iman” dan menjadi benteng kaum kiri, padahal awalnya universitas itu didirikan pada 1746 untuk melatih pendeta.

Pendidikannya berlanjut di Kennedy School of Government, Universitas Harvard, di mana ia meraih gelar master kebijakan publik pada 2013. Namun, dengan dramatis, ia mengembalikan gelarnya, menuding Harvard sebagai “kamp indoktrinasi kiri.” Karier militernya dimulai pada 2001, berbarengan dengan serangan 11 September, saat ia masih kuliah. Setelah lulus pada 2003, ia sempat bekerja sebagai analis pasar modal di Bear Stearns dengan gaji menggiurkan. Namun, ia memilih meninggalkan kenyamanan itu untuk “mengejar Wahabi” yang menyerang Washington dan New York, istilah yang ia gunakan. Ia menjalani pelatihan perwira infanteri di Georgia, menjadi perwira pada 2003, dan bertugas di Teluk Guantanamo bersama Garda Nasional pada 2004. Tugas itu ia gambarkan sebagai “membosankan,” hanya mengawal “sampah Islamis,” menurut istilah kasarnya.
Pada 2005, Hegseth diterjunkan ke Irak bersama Divisi Lintas Udara ke-101, bertempur di Samarra dan Segitiga Sunni, saat perlawanan Irak terhadap pendudukan AS memanas. Ia menolak aturan keterlibatan militer AS, memerintahkan anak периода: “Saya tak akan biarkan omong kosong ini meracuni pikiran kalian. Jika kalian melihat musuh yang mengancam, serang dan hancurkan. Musuh kita pantas dapat peluru, bukan pengacara.” Ia juga menceritakan sikapnya terhadap tahanan Irak yang terluka: “Tak ada yang peduli padanya. Hidup atau mati? Saya tak peduli dulu, dan tak peduli sekarang. Membantunya hanyalah kebaikan semu.”
Pada 2012, ia bertugas di Afghanistan sebagai pelatih senior di akademi kontra-pemberontakan di Kabul. Baginya, perang adalah soal “membunuh sebanyak mungkin musuh di satu tempat dan waktu untuk mematahkan semangat dan kemampuan mereka.” Ia menyebut ini sebagai cerminan sifat manusia yang penuh dosa dan egois. “Saat mengirim tentara, lepaskan mereka untuk menang—paling kejam, paling tangguh, paling mematikan,” katanya.
Pengalaman perang meninggalkan luka batin. Hegseth kerap terbangun tengah malam, dikejar mimpi berulang di mana ia berada di medan musuh tanpa senjata: “Di mana senapan saya? Saya tak bisa menemukannya. Saya tak berdaya.” Namun, pengalamannya juga membawanya berinteraksi dengan berbagai lapisan masyarakat Muslim—dari awam hingga terpelajar, ekstrem hingga moderat, Sunni hingga Syiah. Dari situ, ia membentuk pandangan khas tentang Islam, yang ia tuangkan dalam tujuan hidupnya: “Menghancurkan ekstremis Islam secara global.”
Kembali ke AS, Hegseth mencalonkan diri untuk Senat dari Minnesota pada 2012, tetapi gagal di pemilihan pendahuluan Partai Republik. Ia mendirikan dua organisasi veteran, namun terpaksa mundur setelah dituduh menyalahgunakan dana. Ia sempat bergabung dengan Dewan Hubungan Luar Negeri, tetapi mengundurkan diri pada 2016 karena menganggapnya mempromosikan agenda global progresif. Ia meninggalkan dinas aktif militer pada 2014, namun kembali ke Garda Nasional pada 2019. Pada 2020, ia ikut menangani kerusuhan di depan Gedung Putih selama protes atas kematian George Floyd, yang ia klaim meninggal karena overdosis narkoba, bukan kekerasan polisi.
Pengalaman selama protes Floyd, yang ia ceritakan dalam War on Warriors, menggambarkan dilemanya: “Saya tak bisa bertindak seolah-olah berada di negara dunia ketiga. Mereka bukan warga Baghdad yang melanggar jam malam atau petani opium di Afghanistan. Mereka anak-anak Amerika. Jika ini Samarra atau Kandahar, kami sudah pulang sebelum sarapan. Ini Amerika, dan tak ada yang ingin membunuh warga.”
Karier militernya berakhir tragis pada 2021, ketika militer menolaknya ikut mengamankan pelantikan Presiden Joe Biden, meski 25.000 anggota Garda Nasional dikerahkan. Alasannya? Militer mencapnya sebagai “nasionalis kulit putih ekstrem” setelah dua rekan melaporkan tato “Salib Yerusalem” di tubuhnya, simbol Kerajaan Yerusalem era Perang Salib. Penolakan ini menghantamnya keras: “Saya bingung, marah, dan kehilangan keseimbangan.” Ia mengajukan pengunduran diri pada Januari 2021, tetapi baru dipecat resmi pada Januari 2024.
Secara pribadi, Hegseth telah menikah dan bercerai dua kali. Kini, ia menikah dengan Jennifer Rauchet, yang hubungannya sebelum pernikahan memicu perceraian dengan istri keduanya. Ia memiliki tujuh anak.
Berpikir seperti Hegseth: Hancurkan Kiri!
Hegseth adalah cerminan jiwa evangelis Amerika. Ia memandang Alkitab, bersama warisan Athena dan Roma, sebagai fondasi peradaban Barat. Pendiri AS, katanya, membangun negara berdasarkan kebebasan individu, keadilan setara, tanggung jawab pribadi, pemerintahan terbatas, pasar bebas, dan iman.
Ia menyerang sekularisme kiri, yang menurutnya menjadikan pemerintah sebagai “tuhan” dan memaksakan pemisahan agama-negara, konsep yang ia klaim absen dari Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi. Kaum sekuler, tudingnya, berupaya memutus hubungan Amerika dengan iman, merusak jalinan sosial yang membuat rakyat bebas dan mandiri.

Ia juga anti-demokrasi, menyebutnya memberi hak kepada mayoritas untuk membuat aturan, padahal ia percaya pada hak individu yang diberikan Tuhan. “Kita bukan demokrasi. Kata itu tak ada dalam Deklarasi Kemerdekaan atau Konstitusi. Pendiri kita menolak demokrasi karena diatur oleh mayoritas sederhana. Kita adalah republik konstitusional, yang melindungi hak individu dari Tuhan, tak peduli opini mayoritas,” tegasnya.
Hegseth membenci kiri, menuduh Partai Demokrat berubah dari partai liberal yang mencintai Amerika menjadi sosialis global yang membenci negara ini, berupaya menghapus kedaulatan nasional, dan mengendalikan alat produksi. Ia menyebut agenda Demokrat sebagai Marxis, yang “memfeminisasi laki-laki,” meminggirkan nilai alami, mendukung imigran ilegal, melegalkan aborsi, dan mengganti sistem berbasis iman dengan ekonomi yang dikontrol pemerintah.

Sosialisme, baginya, adalah pemusatan kekuasaan di tangan elit pemerintah untuk merencanakan ekonomi dan mendistribusikan kekayaan melalui pajak yang memberatkan pekerja keras. Ia mengklaim AS terjerumus ke dalamnya sejak era Clinton (1992-2000), yang diperparah di era Obama (2008-2016). Dalam Battle for the American Mind, ia menuduh kiri menguasai pendidikan, keluarga, budaya, media, Hollywood, media sosial, birokrasi, dan gereja, hingga berupaya mengendalikan militer untuk melawan kapitalisme, yang ia anggap pemicu kemakmuran. Dalam kapitalisme yang ia junjung, pemerintah tak mengatur pasar atau harga, melainkan kompetisi bebas yang menghasilkan pemenang dan pecundang, dengan peluang bagi pecundang untuk bangkit.
Hegseth menolak slogan keberagaman Demokrat, yang ia anggap memperbesar perpecahan. Ia mengusung motto: “Kekuatan kita ada pada persatuan, bukan keberagaman.” Dalam War on Warriors, ia menyebut kiri radikal sebagai musuh dalam perang melawan Amerika, yang “tak pernah berhenti merencanakan dan siap menghancurkan Konstitusi.” Ia menyerukan warga Amerika untuk “mempermalukan, mengisolasi, dan mengalahkan kiri,” serta menyebut kesalahan terbesar pasca-11 September adalah mengabaikan “front ketiga” yang dibuka kiri di dalam negeri.
Melemahkan Militer!
Pandangan Hegseth tentang militer AS diwarnai ideologi, kebencian pada Demokrat, dan pengalaman perangnya. Ia percaya militer harus mengubah pemuda menjadi pejuang tangguh melalui pelatihan tempur, disiplin, dan kerja tim.
Oleh karena itu, ia menentang keras integrasi perempuan dalam unit tempur sejak 2015, penerimaan transgender, dan fasilitas bersama seperti kamar mandi. Ia menyebut kebijakan ini sebagai upaya “melemahkan pasukan” dan “menghancurkan benteng terakhir melawan dominasi kiri.” Kebijakan ini, katanya, mengabaikan perbedaan biologis—pria memiliki tulang lebih padat, otot lebih besar, dan paru-paru lebih kuat. “Militer harus jadi yang terbaik, tercepat, dan paling mematikan, bukan paling beragam,” tegasnya.

Ia menuduh kiri menguasai militer di era Obama dan Biden dengan menjadikan ideologi sebagai syarat promosi. Ia mengkritik pengangkatan Kepala Staf Charles Brown, yang ia klaim dipilih karena warna kulitnya. Hegseth menyerukan pembersihan jenderal yang mendukung kebijakan keberagaman, seperti perayaan Bulan Kebanggaan atau pelatihan tentang feminisme dan anti-rasisme, serta mereka yang bekerja di perusahaan senjata setelah pensiun sebagai imbalan atas loyalitas pada kiri.
Mengutip studi Quincy Institute, ia menyebut 26 dari 32 jenderal bintang empat yang pensiun setelah 2018 bekerja untuk kontraktor pertahanan. Ia menuduh hubungan ini menyebabkan jenderal sengaja meninggalkan peralatan senilai 7 miliar dolar di Afghanistan untuk Taliban, demi kontrak baru. Ia mengusulkan larangan jenderal bekerja di industri senjata selama sepuluh tahun pasca-pensiun. Ia juga membandingkan jumlah jenderal bintang empat saat ini (44 untuk 1,2 juta tentara) dengan Perang Dunia II (7 untuk 21 juta tentara), menyerukan pemecatan banyak jenderal tanpa pengganti. Ia bahkan ingin mengganti nama Departemen Pertahanan menjadi Departemen Perang, karena “militer bertugas berperang, bukan bertahan.”
Sejak menjabat, Hegseth mulai memecat jenderal yang dianggap dekat dengan mantan Menteri Lloyd Austin, termasuk Charles Brown, dan merencanakan pemotongan anggaran Pentagon 8% dalam lima tahun serta pemberhentian 50.000 pegawai sipil.
Menantang Tiongkok
Hegseth khawatir Amerika akan runtuh karena kemerosotan dalam negeri atau tekanan luar. Ia menyebut umur rata-rata republik adalah 225-275 tahun, dan AS kini berusia 250 tahun. Untuk bertahan, ia menyerukan revitalisasi identitas Amerika berbasis iman dan pengusiran pengaruh kiri dari pendidikan, agama, dan budaya, agar tak bernasib seperti Yunani, Romawi, atau Imperium Inggris.

Tiongkok adalah ancaman terbesarnya, yang membeli lahan, membangun pelabuhan, dan meluncurkan Inisiatif Sabuk dan Jalan untuk memperluas pengaruh. Ia menuduh Tiongkok melancarkan perang teknologi, budaya, dan perdagangan, dan menyerukan pemaksaan perusahaan AS untuk menghentikan transfer teknologi dan memindahkan pabrik ke AS. “Jika kita tak hadapi Tiongkok sekarang, suatu hari kita akan menyanyikan lagu kebangsaan mereka,” peringatnya. Ia juga mengkritik Biden karena memicu perang di Ukraina dan menarik pasukan dari Afghanistan secara “memalukan.”
Hegseth mempertanyakan pendanaan AS untuk PBB, yang ia anggap anti-Amerika dan anti-“Israel”, serta menyoroti veto Tiongkok dan Rusia. Ia menyebut NATO sebagai “globalisasi bodoh” yang usang dan harus direformasi. AS, katanya, harus menjaga kekuatan dan kemerdekaannya, dengan nasionalisme sebagai tameng melawan globalisasi.
Islam: Ancaman yang Menghantui
Islam menjadi fokus Hegseth dari sudut ideologi, sejarah, demografi, dan militer, terutama dalam American Crusade. Secara ideologis, ia menyebut Islam sebagai “agama agresif yang berperang dengan non-Muslim sejak era kenabian,” menyebar melalui pedang dan memaksa musuh memilih masuk Islam, membayar jizyah, atau bertempur. Ia menganggap Al-Qur’an penuh ayat fanatik dan menyebut Islam sebagai sistem pemerintahan, hukum, dan budaya yang tak bisa berdampingan dengan sistem lain.

Secara historis, ia mengklaim Islam “mengubah Timur Tengah, menaklukkan Afrika Utara, dan hampir menyapu Eropa,” tetapi dihentikan oleh Perang Salib, terutama kemenangan Raja Polandia Jan III Sobieski atas Ottoman. Dari sisi demografi, ia mengutip penerjemah Afghanistan: “Islam akan kuasai dunia. Kami punya sepuluh anak, kalian satu.” Ia memperingatkan migrasi Muslim ke Eropa dan AS, mengutip data Pew Research yang memproyeksikan jumlah Muslim Eropa dari 30 juta (1990) menjadi 58 juta (2030). Ia juga menyebut nama Muhammad sebagai nama bayi terpopuler di Inggris, memprediksi Inggris tak lagi Barat dalam satu generasi tanpa perubahan.

Secara militer, ia menganggap AS berperang dengan Muslim sejak konflik bajak laut Tripoli hingga 11 September. Mengutip John Adams, ia berkata, “Kita tak boleh melawan mereka kecuali siap melawan selamanya.” Ia menuduh kiri memfasilitasi masuknya Muslim ke AS dengan melabel kritik terhadap Islam sebagai ujaran kebencian, memungkinkan Muslim memenangkan pemilu di masa depan. Ia menyerukan keberanian tentara salib abad ke-12 untuk “menghancurkan Islamisme.”
“Israel”: Benteng Pertama Pertempuran Tuhan
Hegseth terikat erat pada “Israel”, dipengaruhi cerita Alkitab dari masa kecilnya sebagai Baptis di Midwest. Ia mengunjungi “Israel” delapan kali sebelum menjadi Menteri Pertahanan dan memproduksi dokumenter seperti Battle for the Holy City dan Battle for Bethlehem. Ia menjelaskan dukungan AS untuk “Israel”: “Jika kamu tak paham pentingnya ‘Israel’ dalam peradaban Barat—yang puncaknya adalah Amerika—kamu tak paham sejarah. Kisah Amerika terkait dengan sejarah Yudeo-Kristen dan ‘Israel’ modern. Jika kamu cinta Amerika, kamu harus cinta ‘Israel’. Tuhan berdiri bersama ‘Israel’ melawan musuh-musuhnya. Garis depan iman kita adalah Yerusalem dan ‘Israel’. ‘Israel’ adalah musuh utama Islamis dan kiri globalis.”

Mengagumi Panglima Salib Terbesar
Karier Hegseth di Fox News menjembatani hubungannya dengan Trump. Awalnya, pada 2016, ia mendukung Marco Rubio dan Ted Cruz, mengkritik Trump karena “kekasaran dan kesombongannya.” Namun, ia berbalik mendukung Trump setelah melihatnya sebagai “banteng yang tak gentar,” berbicara tentang nilai Amerika, melawan imigrasi, dan mengejek kiri. Hegseth melihat Trump sebagai “panglima salib” yang dibutuhkan Amerika.

Pertemuan pertama mereka pada 2016 membahas posisi Menteri Urusan Veteran, tetapi Trump tak mengangkatnya saat itu. Di masa jabatan kedua, Trump menunjuknya sebagai Menteri Pertahanan, karena keselarasan pandangan mereka tentang Demokrat, militer, imigrasi, Tiongkok, NATO, dan PBB.
Pendidikan: Medan Pertempuran Utama
Hegseth sangat peduli pada pendidikan, mendedikasikan Battle for the American Mind untuk isu ini. Mengutip Lincoln, ia berkata, “Filosofi sekolah satu generasi adalah filosofi pemerintahan generasi berikutnya.” Ia menyebut pendidikan sebagai “garis depan” melawan musuh dalam negeri, menyerukan penghapusan Departemen Pendidikan—langkah yang diambil Trump pada 2025. Ia mendorong pendidikan di rumah dan daring, serta meminta orang tua menguasai dewan sekolah untuk agenda konservatif.
Ia juga menyoroti kelemahan konservatif di budaya, media, dan hukum, mendesak pendukungnya menyusup ke institusi kiri seperti dewan sekolah dan gereja untuk mengambil alih. Ia menyerukan pernikahan, memiliki banyak anak, membeli senjata, dan meningkatkan kebugaran untuk memenangkan pertempuran melawan kiri.
Hegseth mengaku tak sempurna—banyak kerabatnya memutuskan hubungan karena pandangannya. Ia berjanji berhenti minum alkohol jika diangkat sebagai Menteri Pertahanan dan mengaku tak terlalu religius. Ia ingin batu nisannya bertuliskan pujian Trump: “Kamu pejuang sejati, Pete.” Mungkin militer AS lebih tepat menyebutnya nasionalis rasis ketimbang religius saat mengeluarkannya dari tugas.
Kini, Hegseth bukan lagi pembawa acara atau penulis, melainkan pemegang kuasa besar dengan anggaran raksasa, mampu menerjemahkan idenya menjadi kebijakan yang mengguncang banyak negara, termasuk Palestina, Irak, Suriah, Yaman, Iran, dan Lebanon.
**^**
Artikel ini diterjemahkan dari Aljazeera.net, berjudul “As-Salibi al-Akhir.. Wazīr ad-Difā‘ al-Amrīkī alladzī yakrah Jaysyah” yang berarti “Salibis Terakhir: Menteri Pertahanan AS yang Membenci Pasukannya Sendiri.” Tulisan ini menyoroti sisi ideologis dan kontroversial Pete Hegseth dalam memimpin Kementerian Pertahanan AS.
(Samirnusa/arrahmah.id)