GAZA (Arrahmah.id) – Dia bukan sekadar bocah. Ia adalah suara kecil yang bernyanyi menembus deru pesawat penjajah “Israel”, mencoba menyebar harapan di antara puing-puing rumah dan hati di Gaza.
Dalam laporan yang menyentuh, Aljazeera mengisahkan Hassan ‘Ayad, seorang anak dari Kamp Pengungsi Nuseirat di Gaza yang dikenal karena suaranya yang merdu dan lirik-lirik lagunya yang menyayat. Hassan tak hanya bernyanyi, tetapi menyuarakan penderitaan rakyat Palestina. Namun, perang yang tak membedakan suara dan rasa, akhirnya membungkam suara itu. Ia gugur dalam serangan udara “Israel” di kamp yang sama, dalam genosida yang terus merenggut nyawa tanpa ampun.
Begitu kabar kesyahidannya tersebar, jagat media sosial pun dibanjiri oleh video viral Hassan yang tengah menyanyikan lagu terkenalnya dengan lirik:
“Dengan pesawat kami mencicipi maut, serangan dari darat dan laut, mereka menutup perlintasan dan orang-orang mati karena kelaparan. Saksikan, wahai dunia, mereka menghancurkan rumah-rumah, sementara Arab tidur nyenyak.”
Lagu itu menjadi semacam himne rakyat, menggambarkan realitas Gaza, dan kini kembali menyayat hati dunia karena suara pemiliknya telah dibungkam selamanya. Ia wafat syahid dalam adegan yang sama dengan yang ia nyanyikan.
Ribuan aktivis dan warganet Palestina serta Arab berduka dan mengungkapkan kemarahan. Mereka menyebut Hassan bukan sekadar anak, melainkan simbol luka Palestina, suara jujur dari balik reruntuhan.
Aktivis Hakim menulis: “Video lama dari anak syahid Hassan ‘Alaa ‘Ayad, anak yang tinggal di ingatan semua orang saat menyanyikan: Saksikan, wahai dunia, mereka menghancurkan rumah-rumah. Ia gugur hari ini sebagai syahid, dalam adegan yang sama yang ia nyanyikan. Pesawat penjajah Nazi menghancurkan rumah dan merenggut sang anak.”
Ia menambahkan: “Hassan telah pergi, tapi suaranya tetap menjadi saksi atas kebiadaban yang tak mengenal belas kasih, dan atas masa kanak-kanak yang tiap hari dikubur di bawah reruntuhan.”
Sutradara Palestina, Rashid Masharawi, menulis penuh duka: “Hari ini gugur Hassan ‘Ayad, anak yang menghadiahkanku lagu dari Gaza. Ia menyanyi untuk film ‘Zero Distance’ dengan suaranya yang polos dan menyayat. Ia menjadi korban serangan di Kamp Nuseirat. Setiap hari kita kehilangan jiwa-jiwa seperti Hassan… Wahai Hassan, engkau membuatku terluka.”
Aktivis ‘Ali Abu Ruzzaq menulis di platform X: “Ada anak kecil bernama Hassan ‘Ayad yang biasa membawa kebahagiaan bagi yatim piatu dan korban luka di kamp-kamp pengungsian. Ia menyanyi untuk tanah air, melantunkan syair untuk pulang, menanam harapan di tengah derita. Hari ini ‘Israel’ membunuhnya dengan darah dingin. Mereka tidak membunuhnya secara tidak sengaja, tapi dengan sengaja menghabisinya karena ia menciptakan harapan—dan harapan lebih berbahaya daripada roket.”
Aktivis Khalid Shaafi mengatakan, “Meski usianya muda, ia punya bakat dan daya tarik. Hari ini para penjajah membunuh Hassan, dan hati ayahnya menjadi hampa. Kini kalian tahu kenapa antara kita dan para kriminal itu ada sungai darah, dendam, dan perjuangan panjang?”
Salah satu warganet menulis: “Biarlah dunia menjadi saksi bahwa Hassan bukan sekadar suara kecil. Ia adalah pembawa harapan di tengah kehancuran. Ia tak butuh disemangati—ia-lah yang menyemangati orang lain dan menanam kebahagiaan di kamp-kamp pengungsian. Ia dewasa melebihi usianya, dan suaranya adalah pesan cinta dan damai di tengah kezaliman.”
Para pengguna media sosial mengenang bagaimana Hassan sering menyanyikan lagu-lagu untuk Gaza dan Beirut, tentang kelaparan dan derita, dan bagaimana suaranya memeluk duka anak-anak Gaza.

Salah satu dari mereka menulis: “Anak yang menyanyi untuk kehidupan, kini suaranya dibungkam oleh rudal. Ia yang menggambar senyuman, direnggut dari tengah kita. Ia yang bermimpi, tak lagi bermimpi, karena kini ia sendiri telah menjadi mimpi.”
Yang lain menyimpulkan: “Hassan bukan cuma anak kecil… Hassan kini menjadi kalimat dalam hati nurani kita, rasa sakit yang tertanam di dada kita, air mata yang tak mengalir karena tersangkut di tenggorokan. Wahai dunia, kami sedang sangat terluka, terluka seakan bumi terbelah di bawah kami.”
(Samirmusa/arrahmah.id)