GAZA (Arrahmah.id) – Media resmi Zionis mengungkap bahwa “Israel” mengerahkan tentara yang belum menyelesaikan pelatihan militer mereka ke Jalur Gaza untuk turut serta dalam agresi genosida terhadap rakyat Palestina. Hal ini dilakukan akibat kekurangan jumlah personel militer di tengah perang yang terus berlarut.
Menurut laporan Kan, lembaga penyiaran resmi “Israel”, tentara dari dua brigade elit, “Givati” dan “Golani”, yang baru direkrut empat bulan lalu dan belum menyelesaikan pelatihan dasar mereka, telah dikirim ke Gaza sejak Desember tahun lalu untuk bertempur.
Agresi genosida yang dilakukan oleh “Israel” dengan dukungan penuh Amerika Serikat sejak 7 Oktober 2023 telah menyebabkan lebih dari 168.000 warga Palestina menjadi korban, baik yang gugur maupun terluka, mayoritas dari mereka adalah anak-anak dan perempuan. Selain itu, lebih dari 11.000 orang dilaporkan hilang.
Pekan lalu, harian Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa Kepala Staf Militer “Israel”, Herzi Halevi, memperingatkan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan kabinetnya bahwa kekurangan jumlah tentara bisa membatasi kemampuan militer untuk mewujudkan ambisi politik rezim Zionis di Gaza.
Dalam beberapa bulan terakhir, militer Zionis menghadapi penurunan drastis jumlah pasukan aktif akibat menurunnya jumlah perekrutan dari kalangan Yahudi ultra-Ortodoks (Haredi) serta banyaknya tentara cadangan—diperkirakan antara 30 hingga 40 persen—yang menolak kembali bertugas karena kelelahan dan lamanya perang.
Krisis ini diperparah dengan munculnya gelombang penandatanganan petisi oleh warga “Israel”, termasuk kalangan militer, yang menuntut pembebasan tawanan Zionis di Gaza, meskipun harus menghentikan agresi. Fenomena ini dikenal sebagai “petisi pembangkangan”.
Tel Aviv memperkirakan ada 59 tawanan Zionis di Gaza, dengan 24 di antaranya masih hidup. Sementara itu, lebih dari 9.900 warga Palestina mendekam di penjara-penjara Zionis, di tengah praktik penyiksaan, kelaparan, dan kelalaian medis yang telah merenggut nyawa banyak tahanan, menurut laporan media dan lembaga hak asasi Palestina maupun “Israel”.
Menurut data dari situs non-pemerintah “Hozer L’Israel”, hingga Sabtu lalu, lebih dari 140.000 warga “Israel” telah menandatangani sekitar 50 petisi, termasuk 21 petisi yang ditandatangani oleh lebih dari 10.000 tentara cadangan dan veteran militer.
Netanyahu, yang saat ini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), bersama beberapa menterinya mengancam akan memecat para penandatangan petisi, menyebut aksi mereka sebagai bentuk “pemberontakan” dan “pengkhianatan” yang dianggap memperkuat musuh dalam situasi perang.
“Israel” telah mengepung Gaza selama 18 tahun terakhir. Kini, sekitar 1,5 juta dari total 2,4 juta penduduk Gaza hidup tanpa tempat tinggal akibat kehancuran besar yang ditimbulkan agresi tersebut. Wilayah itu juga tengah mengalami kelaparan parah akibat blokade bantuan kemanusiaan oleh penjajah Zionis.
Sejak puluhan tahun, “Israel” terus menduduki wilayah Palestina, Suriah, dan Lebanon, serta menolak untuk mengakhiri pendudukan dan mengakui berdirinya negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai batas wilayah sebelum perang tahun 1967.
(Samirmusa/arrahmah.id)