WASHINGTON (Arrahmah.id) – Juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengonfirmasi bahwa “Israel” telah berkonsultasi dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump sebelum melancarkan serangan udara terbaru ke Jalur Gaza pada Selasa (18/3).
“Israel telah berkoordinasi dengan pemerintahan Trump dan Gedung Putih mengenai serangan mereka ke Gaza tadi malam,” ujar Leavitt dalam wawancara dengan Fox News.
Sebelumnya, militer “Israel” kembali melancarkan agresi besar-besaran ke Gaza pada Selasa dini hari, setelah hampir dua bulan gencatan senjata. Serangan ini menyebabkan ratusan warga Palestina gugur.
Serangan “Israel” ke Gaza pertama kali dimulai pada 7 Oktober 2023, beberapa jam setelah operasi Thufan Al-Aqsa yang dilakukan oleh kelompok perlawanan Palestina, dipimpin oleh Hamas. Perang berlangsung selama 15 bulan sebelum akhirnya dihentikan pada 19 Januari 2025 sebagai bagian dari perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir.
Leavitt menegaskan kembali pernyataan Presiden Trump bahwa “Hamas, Houthi, Iran, dan semua pihak yang mengancam bukan hanya ‘Israel’ tetapi juga Amerika Serikat akan menghadapi konsekuensi besar. Pintu neraka akan terbuka bagi mereka.”
Ancaman dan Kecaman
Sebelumnya, Trump telah mengeluarkan peringatan serupa, menegaskan bahwa Hamas harus segera membebaskan semua tahanan di Gaza atau “pintu neraka akan terbuka lebar.”
Namun, kebijakan Trump terkait Gaza mendapat kecaman luas, terutama terkait rencananya untuk merelokasi warga Palestina dari wilayah tersebut dan menempatkan Gaza di bawah kendali AS. Organisasi hak asasi manusia, PBB, serta sejumlah negara Arab menilai bahwa usulan tersebut bisa dikategorikan sebagai pembersihan etnis.
Menanggapi serangan terbaru, Hamas mengecam Netanyahu dan pemerintahannya yang disebut kembali melancarkan perang genosida terhadap warga sipil di Gaza. Hamas menuduh Netanyahu melanggar perjanjian gencatan senjata dan bertanggung jawab penuh atas dampak dari agresi brutal ini.
Gerakan tersebut juga menyatakan bahwa “Netanyahu dan pemerintahnya bertanggung jawab atas kebrutalan yang terjadi di Gaza serta kebijakan sistematis untuk melaparkan rakyat Palestina, terutama sejak 2 Maret 2025 ketika ‘Israel’ menutup jalur bantuan kemanusiaan.”
(Samirmusa/arrahmah.id)