GAZA (Arrahmah.id) – Saat rakyat Palestina memperingati 77 tahun Nakba, hari malapetaka yang menandai pengusiran massal lebih dari 750 ribu warga Palestina pada 1948, mereka yang saat ini bertahan di Gaza di tengah perang genosida ‘Israel’ menyatakan bahwa apa yang mereka alami hari ini bahkan lebih mengerikan.
Selama puluhan tahun, para keturunan pengungsi Nakba di Gaza telah menyimpan kunci rumah nenek moyang mereka, simbol harapan untuk pulang. Mereka tumbuh besar di kamp-kamp pengungsi yang sempit dan miskin, hidup dalam bayang-bayang blokade ‘Israel’ sejak 2007, dan berkali-kali menghadapi agresi militer.
Namun perang kali ini, dengan pembantaian massal, penghancuran infrastruktur, dan pengusiran berulang, membuka kembali luka lama dengan cara yang lebih brutal.
“Ini Lebih Kejam dari Nakba”
Nahfouz Mahmoud Naji (65), menyebut bahwa kondisi di Gaza hari ini “lebih kejam dari apa yang dialami orangtuanya saat Nakba”. “Perang tidak pernah selama ini. Sudah 19 bulan kami hidup begini. Mati dan dibunuh jadi hal biasa. Tinggal di tenda itu penderitaan dari awal sampai akhir. Kami harus mencari air minum, makanan, dan terkadang dapur umum pun tutup. Kami tak pernah kenyang, bahkan tepung pun tak ada.”
Keluarga Naji dulu diusir dari desa Al-Sawafir pada 1948. Ia ingat cerita kakeknya tentang bagaimana milisi Zionis menyerbu dan mereka harus melarikan diri tanpa sempat membawa uang, pakaian, atau perhiasan. “Dulu mereka pikir ini cuma sementara, seperti yang kami pikirkan selama 19 bulan terakhir,” katanya.
Suaminya dan dua anaknya tewas dalam perang kali ini. Anak ketiganya gugur dalam serangan 2006.
Hidup Dalam Tenda: Dari 1948 ke 2025
Hajja Sara Mutlaq Abu Obaida, kini berusia 85 tahun, adalah saksi hidup Nakba. Ia baru berusia 8 tahun ketika diusir dari kampung halamannya, Hamama. “Malam itu kami tidur di bawah pohon, bersembunyi dari milisi Zionis. Kami lari tanpa tujuan sampai akhirnya tiba di Gaza.”
Saat perang terbaru ini dimulai, luka lama itu terbuka kembali. Ia terluka dalam serangan ke rumah tetangganya, lalu harus mengungsi ke dekat Rumah Sakit Al-Shifa, sebelum tempat itu juga dibom. “Saya sudah tua. Dulu saya lari kecil-kecilan di belakang orang tua saya. Sekarang saya hanya bisa melangkah lambat dan berat.”
Dalam perjalanan pengungsian ke perbatasan selatan dekat Mesir, seorang pria memberinya kursi roda, dan cucunya mendorongnya sepanjang jalan. Kini ia hidup di dalam tenda, tenda yang mirip dengan yang ia tinggali saat pertama kali tiba di Gaza puluhan tahun lalu. “Meski saya sudah tua, hati saya masih sakit karena Hamama… dan masih marah pada sang penjajah.”
Sejarah yang Berulang
Di mata para penyintas dan keturunan pengungsi Nakba, sejarah tak pernah benar-benar selesai. Ia hanya berubah bentuk, dan kini muncul kembali dengan kekejaman yang lebih telanjang. Dari pengusiran hingga pembantaian, dari kunci rumah yang diwariskan, hingga tenda yang tak pernah ditinggalkan, rakyat Palestina terus berjuang melawan penghapusan identitas dan tanah air mereka. (zarahamala/arrahmah.id)