GAZA (Arrahmah.id) - Kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza terus memburuk lebih dari dua bulan setelah gencatan senjata diberlakukan. Pemaksaan pengungsian masih berlangsung, sementara kondisi hidup warga semakin menurun, kata Direktur Jaringan LSM Palestina di Gaza, Amjad al-Shawa.
Dalam pernyataannya kepada Al Jazeera, al-Shawa mengatakan bahwa pasukan 'Israel' membatasi ratusan ribu warga Palestina hanya di sekitar 41 persen wilayah Gaza, kurang dari 100 kilometer persegi, dalam kondisi yang semakin keras. Lebih dari setengah juta orang kehilangan tempat tinggal, sementara ribuan lainnya terpaksa bertahan di antara puing-puing rumah mereka yang hancur.
Ia menyebutkan, kelangkaan kebutuhan pokok, lonjakan harga, serta runtuhnya sumber penghidupan membuat sekitar 90 persen penduduk Gaza tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka. Krisis kemanusiaan ini diperparah oleh meningkatnya risiko kesehatan akibat penumpukan sampah dan rusaknya infrastruktur air bersih serta sanitasi.
Meski 'Israel' mengizinkan masuknya bantuan dalam jumlah terbatas, al-Shawa menegaskan bahwa hal tersebut belum menghasilkan perbaikan nyata di lapangan. Ia menilai pembatasan ketat terhadap jenis material yang boleh masuk terus memperlebar kesenjangan kebutuhan dasar dan menghambat upaya pemulihan.
Menurutnya, hanya sedikit barang esensial, terutama pangan, perlengkapan kebersihan, dan sanitasi, yang diizinkan masuk ke Gaza. Sementara itu, pengungsian berkelanjutan dan kepadatan tempat penampungan mempercepat krisis kesehatan masyarakat, termasuk meningkatnya kasus kekurangan gizi, yang juga dipicu oleh memburuknya standar kebersihan.
Al-Shawa menambahkan bahwa para pedagang lokal hanya menerima sekitar 20 persen dari kebutuhan buah segar, sayuran, dan protein yang dibutuhkan penduduk. Pasokan terbatas tersebut juga dibebani biaya koordinasi dan impor yang tinggi, sehingga harga melonjak dan tidak terjangkau oleh sebagian besar keluarga.
Ia mengatakan 'Israel' sejauh ini menolak mengizinkan masuknya sumber protein dasar, telur, dan hasil pertanian segar sebagai bantuan kemanusiaan gratis. Kebijakan ini, menurutnya, berdampak sangat serius terhadap anak-anak dan perempuan hamil.
Tidak ada peningkatan kualitas dalam jenis bantuan yang masuk ke Gaza. Al-Shawa menyebutkan bahwa meski jumlah truk bantuan bertambah, 'Israel' tetap menghalangi masuknya bantuan dengan kualitas dan nilai gizi yang memadai. Kebijakan ini, kata dia, telah diperingatkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat memicu bencana kemanusiaan dalam beberapa bulan ke depan.
Laporan PBB menunjukkan bahwa 77 persen warga Palestina di Gaza terjebak dalam siklus kelaparan berkepanjangan, sementara 90 persen penduduk mengalami hari-hari tanpa akses pangan yang teratur. Akibat kekurangan gizi yang berlangsung lama, sekitar 70 persen bayi kini lahir prematur dan dengan berat badan rendah. Sekitar 100 ribu anak serta ribuan perempuan hamil menghadapi risiko kekurangan gizi akut.
Sementara itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa hanya sembilan dari 36 rumah sakit di Gaza yang beroperasi sebelum perang kini masih berfungsi, itu pun secara terbatas. (zarahamala/arrahmah.id)
