WASHINGTON (Arrahmah.id) – Pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah mengambil langkah-langkah untuk membatalkan visa pelajar bagi mereka yang telah berpartisipasi dalam demonstrasi yang mendukung Palestina, termasuk penggunaan kecerdasan buatan (AI).
Langkah tersebut dilakukan saat perguruan tinggi di New York tengah menyaksikan gelombang protes pro-Palestina, yang dihadapi dengan tindakan keras oleh administrator universitas, termasuk pengusiran akademis, penangguhan, dan penangkapan oleh polisi kota.
“Semua Pendanaan Federal akan DIHENTIKAN untuk Perguruan Tinggi, Sekolah, atau Universitas mana pun yang mengizinkan protes ilegal,” tulis Trump di platform media sosialnya Truth Social pada Senin (3/3/2025), beberapa hari setelah demonstrasi pro-Palestina yang diselenggarakan oleh mahasiswa di Barnard College (perguruan tinggi mitra dari Universitas Columbia), yang menarik perhatian nasional karena adanya laporan kekerasan, tindakan keras polisi, dan tanggapan luas dari pejabat terpilih.
Trump melanjutkan, “Para agitator akan dipenjara/atau dipulangkan secara permanen ke negara asal mereka. Mahasiswa Amerika akan dikeluarkan secara permanen atau, tergantung pada kejahatannya, ditangkap. TANPA MASKER! Terima kasih atas perhatian Anda terhadap masalah ini.”
Pesan media sosial presiden AS baru-baru ini menggemakan pernyataan serupa yang pernah ia buat saat berkampanye, dengan mengatakan ia akan mendeportasi pengunjuk rasa pro-Palestina. Sekarang, sebagai presiden, kata-kata ini menciptakan efek yang mengerikan.
Laporan telah muncul mengenai siswa yang terkena dampak kebijakan tersebut, yang menjadi salah satu prioritas utama Trump saat menjabat untuk masa jabatan kedua.
Pada akhir Januari, beberapa hari setelah pelantikan, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk menindak tegas pengunjuk rasa mahasiswa pro-Palestina, dengan alasan bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari upaya memerangi antisemitisme.
Pada Rabu (5/3), Reuters dan media berita lainnya melaporkan bahwa Departemen Luar Negeri akan menggunakan kecerdasan buatan untuk membatalkan visa pelajar bagi mereka yang dianggap sebagai “pendukung Hamas”.
Komite Antidiskriminasi Amerika-Arab mengatakan perkembangan yang dilaporkan “menandakan erosi yang mengkhawatirkan terhadap kebebasan berbicara dan hak privasi yang dilindungi konstitusi.”
Sejak pecahnya perang genosida ‘Israel’ di Gaza pada Oktober 2023 dan protes mahasiswa yang terjadi setelahnya, banyak penelitian telah menemukan bahwa demonstrasi kampus sebagian besar berlangsung damai. Meskipun demikian, demonstrasi tersebut telah muncul sebagai isu perang budaya yang menjadi sorotan dan kini mengubah kebijakan publik karena dianggap berbahaya.
Amandemen pertama, termasuk kebebasan berbicara, berkumpul, dan protes, telah lama dilindungi oleh konstitusi. Para pembela hak asasi manusia kini menyuarakan peringatan bahwa hak-hak dasar ini kini terancam di kampus-kampus universitas AS. (zarahamala/arrahmah.id)