GAZA (Arrahmah.id) – Sejumlah pakar menilai bahwa penyamaran wajah para tentara ‘Israel’ di media massa mencerminkan kekhawatiran serius dari militer ‘Israel’ akan kemungkinan tuntutan hukum internasional. Tindakan ini juga dianggap sebagai pengakuan tidak langsung atas keterlibatan mereka dalam kejahatan terhadap warga sipil di Jalur Gaza.
Di tengah rencana ‘Israel’ untuk memperluas operasi militernya di Gaza, tentara menyembunyikan wajah 120 personel yang ikut dalam perayaan Hari Kemerdekaan, termasuk mereka yang disebut sebagai “tentara teladan” yang bertemu langsung dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Menurut Ehab Jabarin, pakar urusan ‘Israel’, langkah ini merupakan bentuk pengakuan dari militer pendudukan atas kejahatan yang mereka lakukan di Gaza, sekaligus cerminan dari ketakutan mereka akan tuntutan hukum internasional.
Ia juga menambahkan bahwa penyembunyian wajah para tentara mencerminkan kecemasan militer terhadap meningkatnya penolakan publik dalam negeri terhadap perang. Beberapa warga ‘Israel’ sendiri menyebut apa yang terjadi di Gaza sebagai “genosida penuh”, pernyataan semacam ini dapat memperkuat kecaman internasional terhadap tentara-tentara tersebut.
Media ‘Israel’ Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa militer memutuskan untuk tidak menampilkan wajah atau nama 120 tentara yang hadir dalam acara penghargaan di kediaman presiden ‘Israel’ di Yerusalem, karena kekhawatiran akan kemungkinan dituntut secara hukum terkait agresi ke Gaza. Bahkan dalam pertemuan mereka dengan Netanyahu dan istrinya, sensor militer turut menyamarkan wajah para tentara.
Netanyahu dan motif personal di balik perang
Dalam analisanya kepada Al Jazeera, Jabarin menyatakan bahwa tindakan Netanyahu menunjukkan bahwa perang ini lebih bersifat pribadi ketimbang demi tujuan politik nasional. Ia percaya Netanyahu sebenarnya bisa membebaskan para sandera melalui kesepakatan, namun memilih melanjutkan perang untuk kepentingan politik dalam negerinya.
Jabarin juga menilai bahwa Netanyahu tengah mencoba mendapatkan “lampu hijau” dari Amerika Serikat untuk melanjutkan serangannya di Gaza selama enam bulan ke depan, sembari berupaya meredam kritik atas bencana kemanusiaan yang terus memburuk.
Sementara itu, Netanyahu menyatakan tekadnya untuk terus berperang hingga semua tawanan, baik hidup maupun yang telah meninggal, berhasil dikembalikan, dan Hamas bisa ditumpas habis. Kepala staf militer ‘Israel’, Herzi Halevi, menambahkan bahwa tantangan utama perang ini adalah pembebasan sandera, penggulingan Hamas, dan penciptaan “realitas keamanan baru”.
“Ini pembantaian, bukan perang”
Pakar urusan internasional Hossam Shaker memperkirakan Netanyahu akan melanjutkan agresinya di Gaza selama enam bulan bahkan mungkin hingga setahun, karena ia telah “kecanduan perang” dan menjadikan konflik ini alat untuk mempromosikan agenda politik domestiknya. Ia juga menilai bahwa pembebasan sandera bukanlah prioritas sebenarnya bagi Netanyahu.
Menurut Shaker, militer ‘Israel’ sejatinya tidak sedang berperang di Gaza, melainkan menjalankan pembunuhan sistematis terhadap warga sipil dan membuat mereka kelaparan secara sengaja hal yang membuat istilah “operasi militer” menjadi tidak relevan. Dan rakyat Palestina sangat menyadari dampak berat dari strategi brutal ini.
Di tengah dukungan AS, diamnya negara-negara Barat, dan sikap pasif dunia Arab, rakyat Palestina saat ini tidak punya banyak pilihan selain terus berupaya mencari jalur negosiasi tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar mereka. Shaker juga menegaskan bahwa ‘Israel’ hanya menyodorkan tipuan demi tipuan kepada Palestina.
Tekanan publik terus meningkat
Karena itu, Shaker menyerukan pentingnya menjaga kesatuan internal Palestina dan terus menekan komunitas internasional agar menghentikan perang ini. Ia juga menegaskan bahwa dunia Arab harus merasa turut bertanggung jawab atas adegan-adegan kejam yang kini kita saksikan, dan wajib turun tangan untuk menghentikannya.
Hari ini, Netanyahu dijadwalkan mengadakan rapat untuk mengevaluasi situasi dan menyetujui rencana perluasan operasi militer. Kepala staf militer menegaskan bahwa pasukan siap “menggunakan kekuatan dan memperluas operasi” bila diperlukan.
Sementara itu, keluarga para sandera menuduh Netanyahu hanya mengikuti agenda Menteri Keuangan Bezalel Smotrich yang bertentangan dengan keinginan mayoritas rakyat ‘Israel’.
Surat kabar Maariv melaporkan bahwa sudah ada 150.000 orang yang menandatangani petisi menuntut diakhirinya perang, termasuk di antaranya para mantan tentara. Puluhan orang juga dilaporkan berdemo di depan rumah Presiden Isaac Herzog, menuntut kesepakatan untuk membebaskan semua sandera. (zarahamala/arrahmah.id)