LATAKIA (Arrahmah.id) — Bentrokan antara pasukan keamanan Suriah dan loyalis mantan Presiden Bashar Assad selama dua hari terakhir telah menewaskan lebih dari 600 orang, Sabtu (8/3/2025). Insiden ini menjadi salah satu aksi kekerasan paling mematikan sejak konflik Suriah dimulai 14 tahun lalu.
Pertempuran yang terjadi sejak Kamis (6/3) menandai eskalasi serius terhadap pemerintahan baru di Damaskus.
Tiga bulan setelah kelompok perlawanan Suriah menggulingkan Assad, sisa-sisa pasukan mantan presiden tersebut melancarkan serangan terhadap otoritas yang baru berkuasa.
Bentrokan pertama pecah ketika pasukan keamanan berusaha menangkap seorang loyalis Assad di dekat Kota Jableh. Namun, mereka disergap oleh kelompok bersenjata loyalis, yang kemudian memicu pertempuran luas di berbagai daerah pesisir.
Pemerintah menyatakan bahwa pasukan keamanan merespons serangan kelompok loyalis Assad dan menuding “aksi individu” sebagai penyebab utama kekerasan yang semakin meluas.
Namun, situasi memburuk ketika kelompok bersenjata Sunni yang pro-pemerintah melakukan pembalasan terhadap komunitas Alawite, sekte yang selama ini menjadi basis pendukung utama Assad.
Dilansir Associated Press (8/3/2025), sejumlah saksi mata melaporkan bahwa kelompok bersenjata menyerang warga Alawite di berbagai kota.
Mereka menembak warga di jalanan atau di depan rumah mereka, menjarah harta benda, serta membakar permukiman. Ribuan orang terpaksa mengungsi ke wilayah pegunungan untuk mencari perlindungan.
Seorang warga yang bersembunyi di daerah pesisir mengatakan bahwa banyak warga Alawite yang dibunuh di rumah mereka atau di depan pintu rumahnya. Ia menambahkan, ribuan orang telah melarikan diri ke pegunungan.
Baniyas menjadi salah satu kota yang paling terdampak kekerasan. Seorang warga setempat, Ali Sheha (57), menggambarkan kondisi yang mencekam saat ia melarikan diri bersama keluarga dan tetangganya.
“Ini sangat buruk. Jasad-jasad berserakan di jalanan,” ujarnya.
Sheha menyebut, sedikitnya 20 orang di lingkungan tempat tinggalnya tewas, termasuk mereka yang dibunuh di rumah atau tempat kerja.
Beberapa warga melaporkan bahwa penyerang memeriksa identitas korban sebelum membunuh mereka, memastikan afiliasi agama dan sekte mereka terlebih dahulu. Selain itu, rumah-rumah dibakar dan kendaraan dicuri.
Syrian Observatory for Human Rights, organisasi pemantau konflik yang berbasis di Inggris, melaporkan bahwa jumlah korban tewas mencapai 637 orang.
Sebanyak 428 di antaranya merupakan warga Alawite yang menjadi sasaran balas dendam. Sementara itu, 120 korban lainnya merupakan loyalis Assad, serta 89 lainnya berasal dari pasukan keamanan pemerintah.
“Ini adalah salah satu pembantaian terbesar dalam sejarah konflik Suriah,” ujar Direktur Observatory, Rami Abdurrahman.
Jumlah korban yang dilaporkan ini meningkat drastis dibandingkan data sebelumnya, yang menyebut angka lebih dari 200 korban jiwa.
Hingga kini, pemerintah Suriah belum mengeluarkan data resmi terkait jumlah korban tewas.
Di tengah kekacauan ini, pemakaman massal mulai digelar. Di Desa Tuwaym, sebanyak 31 korban pembunuhan balas dendam, termasuk sembilan anak-anak dan empat perempuan, dimakamkan dalam satu liang lahad.
Pemerintah Suriah mengeklaim telah berhasil merebut kembali sebagian besar wilayah yang sebelumnya dikuasai loyalis Assad.
Pasukan keamanan menutup akses jalan menuju daerah pesisir untuk mengendalikan situasi dan mencegah kekerasan lebih lanjut.
Sementara itu, di Desa Al-Janoudiya, pemakaman untuk empat anggota pasukan keamanan yang tewas dalam bentrokan digelar pada Sabtu. Upacara ini dihadiri oleh puluhan warga dan pejabat setempat.
Situasi di Suriah memicu gelombang pengungsi ke negara tetangga, terutama Lebanon. Legislator Lebanon, Haidar Nasser, yang mewakili komunitas Alawite di parlemen, mengatakan bahwa banyak warga yang kini berlindung di pangkalan udara Rusia di Hmeimim.
Nasser pun meminta komunitas internasional untuk memberikan perlindungan bagi warga Alawite yang menjadi sasaran pembalasan.
Sejak pemerintahan baru berkuasa, banyak warga Alawite kehilangan pekerjaan. Beberapa mantan tentara yang telah berdamai dengan otoritas baru juga dilaporkan dibunuh. (hanoum/arrahmah.id)