TEL AVIV (Arrahmah id) – Media-media “Israel” terus memperbincangkan operasi peledakan dua kendaraan militer di Kota Khan Younis, Gaza selatan, yang menewaskan seorang perwira dan enam tentara. Para analis menilai, insiden itu kembali menegaskan kenyataan pahit dari perang yang seolah tak berujung tersebut.
Peristiwa itu mengundang kehebohan besar di dalam negeri “Israel”. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyebutnya sebagai “hari yang berat”, sementara Presiden Isaac Herzog menyebutnya “hari yang menyakitkan”.
Detail dari operasi tersebut menjadi sorotan selama dua hari terakhir, khususnya setelah tayangan eksklusif milik Al Jazeera membantah narasi resmi yang disampaikan oleh pihak militer penjajah. Operasi itu terjadi di wilayah Ma’an yang berada di bawah kendali pasukan Zionis.
Reporter urusan militer Channel 13, Uri Heller, mengungkapkan bahwa militer Zionis baru berhasil membuka kendaraan lapis baja tersebut setelah menariknya kembali ke wilayah “Israel”. Setelah itu, dipastikan bahwa seluruh pasukan di dalamnya—yakni seorang komandan regu dan enam tentara dari korps teknik militer—telah gugur.
Kekurangan Personel dan Perlindungan
Analis militer Channel Kan, Roi Sharon, menyoroti kritik keras atas keputusan terus menggunakan kendaraan lapis baja tua dalam pertempuran. Ia menyebut ada kekurangan besar dalam jumlah kendaraan dan anjing pelacak dari Unit “Oketz”.
Tentara Zionis yang sedang bertempur di Gaza juga mengalami kekurangan dalam perlindungan pribadi, rompi antipeluru, teknologi tempur canggih, dan bahkan dari segi jumlah personel itu sendiri, ungkap Sharon.
Serangan ini kembali memunculkan pertanyaan tentang manfaat perang yang sedang berlangsung di Gaza. Para analis menyebut insiden tersebut membuka mata warga “Israel” terhadap kubangan lumpur yang mereka hadapi, hanya sehari setelah klaim keberhasilan mereka di Iran.
Ketua Komite Keuangan Knesset, Moshe Gafni, bahkan menyatakan dirinya tidak tahu alasan perang ini terus berlangsung. “Saya tidak tahu mengapa, dan apa yang dilakukan ‘Israel’ di Gaza, sementara tentara kita dibunuh setiap waktu,” ujarnya.
Gafni menambahkan bahwa “Israel” membutuhkan sosok seperti mantan Presiden AS Donald Trump yang bisa menghentikan perang dan membawa pulang para tawanan yang masih berada di Jalur Gaza.
Perang yang Menjerat
Mantan komandan Korps Utara militer Zionis, Noam Tibon, menyatakan bahwa banyak tentara saat ini ditempatkan di Gaza namun tetap diam di satu titik, sehingga mereka menjadi sasaran empuk. Ia mengingatkan bahwa ia telah berkali-kali memperingatkan tentang “lumpur Gaza”.
Tibon membandingkan dengan perang gerilya yang mereka hadapi di Lebanon, di mana tentara “Israel” menghadapi tiga ancaman utama: peluncur roket RPG, penembak jitu, dan ranjau. Ia menekankan perlunya mengakhiri perang ini sesegera mungkin dan memulangkan para tawanan—baik yang hidup maupun yang telah gugur.
Ia juga memperingatkan, jika “Israel” terus menunda, maka prestasi militer mereka di Iran dan dukungan Trump bisa sia-sia. Kekalahan di Gaza dapat menyeret mereka ke dalam “kubangan baru yang akan menjadi kesalahan fatal”.
Dalam konteks yang sama, mantan kepala pertahanan udara Zionis Tzvika Haimovich mengatakan bahwa insiden ini membuktikan, jika kepemimpinan bisa menyelesaikan perang dengan Iran, maka seharusnya mereka juga bisa mengakhiri perang ini.
Sementara itu, jurnalis “Haaretz”, Uri Misgav, menyatakan bahwa keinginan warga “Israel” untuk kembali ke kehidupan normal berarti harus keluar dari perang di Gaza yang telah berlangsung selama 21 bulan. “Ada tawanan yang masih hidup, yang telah gugur, dan para tentara yang dikorbankan dan ditelantarkan,” ujarnya.
(Samirmusa/arrahmah.id)