GAZA (Arrahmah.id) – Gerakan perlawanan Palestina, Hamas, pada Ahad (1/6/2025) menepis klaim bahwa mereka menolak proposal gencatan senjata yang dimediasi Amerika Serikat. Sebaliknya, mereka menuduh ‘Israel’ yang menggagalkan jalannya negosiasi dan menolak memberikan jaminan paling dasar terkait kemanusiaan dan keamanan.
Pejabat senior Hamas, Basem Naim, menyatakan bahwa pihaknya telah merespons “secara positif dan bertanggung jawab” terhadap proposal yang diajukan oleh utusan AS, Steve Witkoff, pekan lalu. Naim menyebut proposal tersebut sebagai dasar negosiasi yang dapat diterima.
“Kami tidak menolak proposal Tuan Witkoff,” kata Naim dalam sebuah pernyataan. “Kami telah menyepakati proposal tersebut bersama Tuan Witkoff pekan lalu, dan beliau menilainya layak menjadi dasar negosiasi. Namun kemudian kami menerima respons dari pihak lain yang sama sekali tidak sesuai dengan poin-poin yang telah kami sepakati, dan tidak memenuhi tuntutan paling minimal dari rakyat kami.”
Naim menekankan bahwa Hamas mengajukan dua jaminan utama dalam tanggapannya: komitmen terhadap gencatan senjata selama 60 hari dan masuknya bantuan kemanusiaan tanpa hambatan melalui badan-badan PBB.
Hamas juga menuntut agar negosiasi mengarah pada penarikan penuh pasukan ‘Israel’ dari Jalur Gaza dan penghentian perang secara permanen.
Namun, menurutnya, tanggapan ‘Israel’ justru menghapus seluruh bentuk komitmen yang bisa ditegakkan. “Penjajah ingin menegosiasikan ulang peta penarikan yang telah disepakati pada 19 Januari, dengan mengacu pada kehadiran militer barunya,” ujar Naim, sembari memperingatkan bahwa pendekatan ini “secara efektif mempertahankan kendali dan komando penjajah atas wilayah Gaza.”
Taher Al-Nono, penasihat media kepala Biro Politik Hamas, mengonfirmasi bahwa Hamas secara prinsip setuju untuk membebaskan sepuluh tawanan ‘Israel’ sebagai bagian dari kerangka proposal. Namun, ia menegaskan bahwa perbedaan terletak pada tidak adanya komitmen yang bisa ditegakkan.
“Kami menginginkan gencatan senjata permanen, bukan yang hanya berlaku 60 hari lalu selesai,” kata Al-Nono. “Yang ditawarkan penjajah adalah kelanjutan pendudukan atas sebagian wilayah Gaza dan kelanjutan kebijakan kelaparan.”
Ia juga mengecam sikap Amerika Serikat yang menurutnya sejalan dengan pandangan ‘Israel’. “Pemerintahan AS menjalankan visi penjajah,” katanya, seraya menambahkan bahwa Hamas hanya berpartisipasi dalam mediasi demi meringankan penderitaan rakyat Palestina.
Pejabat senior Hamas lainnya, Mahmoud Mardawi, menyuarakan kritik serupa dalam pernyataan yang diunggah di media sosial. Ia menyebut bahwa Hamas telah menjalani “negosiasi serius dan bertanggung jawab selama berminggu-minggu” bersama Witkoff dan berhasil mencapai “rumusan yang dapat diterima dan sesuai dengan tujuan nasional paling dasar.”
Namun, menurut Mardawi, ‘Israel’ langsung menolak dokumen itu dan meminta AS menyampaikannya ke Hamas sebagai tawaran final yang tidak bisa dinegosiasikan.
“Dokumen itu penuh dengan kekeliruan yang fatal,” ujarnya. “Tidak ada jaminan penarikan nyata dari wilayah yang diduduki, tidak ada jaminan penghentian total permusuhan, [dan] tidak ada jaminan aliran bantuan kemanusiaan yang berkelanjutan.”
Meski begitu, Mardawi menegaskan bahwa Hamas tidak menolak rencana tersebut, melainkan meminta beberapa perubahan agar ada penghentian pembunuhan dan jaminan nyata terhadap penarikan pasukan serta akses bantuan.
“Kami mengatakan ‘ya, tapi…’,” katanya. “Ya secara prinsip, tapi kami menolak pemahaman yang seolah-olah melegitimasi kelanjutan genosida dan kelaparan.”
Ia menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa Hamas bukanlah pihak yang menghambat upaya perdamaian. “Bukan kami yang menggagalkan atau menghindar,” kata Mardawi. “Kami mengajukan kesepakatan yang bertanggung jawab dan mengusulkan perubahan untuk melindungi rakyat kami dari genosida. Yang kami minta bukan syarat politik, tapi sekadar martabat manusia yang paling dasar.”
Pernyataan ini muncul di tengah tekanan internasional yang semakin besar terhadap ‘Israel’ dan Hamas untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata, menyusul krisis kemanusiaan di Gaza yang makin memburuk. Lembaga-lembaga kemanusiaan memperingatkan risiko kelaparan massal, wabah penyakit, dan runtuhnya infrastruktur. Meski sejumlah putaran perundingan telah dimediasi oleh AS, Mesir, dan Qatar, kesepakatan menyeluruh masih belum tercapai. (zarahamala/arrahmah.id)