TEL AVIV (Arrahmah.id) – Michael Sfard, pakar hukum hak asasi manusia dan hukum perang, menyampaikan kritik tajam terhadap kecenderungan militeristik “Israel” dalam artikelnya di surat kabar Haaretz. Ia menegaskan bahwa “Israel” kini menjadi bangsa yang memuja kekerasan, merendahkan dialog, dan memilih kekuatan sebagai solusi segala masalah.
Sfard mengatakan bahwa dirinya tidak tahu menahu tentang legalitas atau urgensi perang melawan Iran—yang kini mengancam menyeret kawasan Timur Tengah ke dalam konflik panjang dan menghancurkan. Namun, ia menegaskan satu hal: ia tidak percaya sedikit pun pada ucapan para juru bicara pemerintah “Israel”, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu—yang kini menjadi buronan Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang.
Menurut Sfard, mayoritas masyarakat “Israel” tampaknya tidak peduli dengan kebenaran narasi yang disuguhkan pemerintah mengenai perang ini. Ia menggambarkan suasana masyarakat “Israel” saat ini sebagai masyarakat yang mabuk oleh semangat militerisme, membawa slogan-slogan penuh arogansi, dan kehilangan kemampuan untuk berpikir jernih.
Ia juga mengkritik keras pemberitaan media “Israel” yang membanjiri masyarakat dengan laporan mengenai pembunuhan para pemimpin militer Iran, gambar hitam-putih dari operasi intelijen Mossad di “wilayah musuh”, serta detail-detail tentang bagaimana “Israel” mengecoh pihak Iran—yang digambarkan “naif”.
Sfard mengecam pertemuan kabinet perang “Israel” yang secara resmi disebut membahas “kesepakatan sandera”, namun sebenarnya justru digunakan untuk menyetujui keputusan perang. Ia menyebutnya sebagai bentuk penipuan publik, serta memperingatkan bahwa “Israel” memanfaatkan isu para sandera untuk mencapai tujuan militer dan politik, sembari mempermainkan perasaan keluarga para tawanan.
Stigma Qabil dan Hasrat Pemusnahan
Lebih lanjut, Sfard menuding media “Israel” telah berubah menjadi alat propaganda yang memuliakan perang dan militer. Studio televisi mengagungkan para pilot, agen Mossad, dan tentara intelijen militer sebagai “pahlawan hebat”, tanpa memberi ruang pada suara-suara kritis terhadap perang.
Dalam salah satu pernyataannya yang paling tajam, Sfard menulis:
“Generasi-generasi warga ‘Israel’ harus hidup dengan noda Qabil yang mereka ciptakan sendiri melalui tindakan yang, dalam skenario terbaik, merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, dan dalam skenario terburuk, mengarah pada dugaan genosida.”
Ia juga memperingatkan bahwa seperti halnya pembersihan etnis di wilayah Tepi Barat yang terjadi di tengah hiruk-pikuk perang di Gaza, ada kekhawatiran bahwa “Israel” justru akan mempercepat laju kejahatannya di Gaza saat perhatian dunia tertuju pada kemungkinan perang besar melawan Iran. Hal ini diyakini menjadi peluang bagi tokoh ekstremis seperti Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich untuk mewujudkan impian mereka: menghapus Gaza dari peta.
Sfard menutup artikelnya dengan penegasan bahwa perang melawan Iran tak akan pernah menghapus kejahatan “Israel” di Gaza. Ia menyebut bahwa apa yang dilakukan “Israel”—menghancurkan kota, membumihanguskan desa, dan memusnahkan komunitas penduduk sipil—adalah kejahatan terang-terangan, yang semakin diperparah oleh penggunaan kelaparan dan bantuan kemanusiaan sebagai senjata untuk mengusir penduduk secara paksa.
Ia menegaskan:
“Ketakutan terbesar saya adalah bahwa perang dengan Iran akan menghapus penentangan—baik di dalam negeri maupun internasional—terhadap pembersihan etnis dan pembantaian massal yang sedang berlangsung di Gaza.”
(Samirmusa/arrahmah.id)