Oleh: Ustadz Irfan S. Awwas
(Arrahmah.id)
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَيْرِ الْأَنَامِ. وَعَلٰى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْكِرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا اِلٰهَ اِلَّا اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ السَّلَامُ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَاحِبُ الشَّرَفِ وَالْإِحْتِرَامِ أَمَّا بَعْدُ. فَيَاضُيُوْفَ الرَّحْمَن أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. اِتَّقُوْ الله, وَاعْمَلُوا الصَّالِحَات وَاجْتَنِبُوا الْمُنْكَرَات وَاذْكُرُوا اللهَ فِي اَيَّامٍ مَعْلُوْمَت وَاشْكُرُوْا وَاَكثِرُوا التَّلْبِيَّة : لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَٰلَمِينَ
Hadirin Dhuyufurrahman Rahimakumullah
Alhamdulillah, segala ungkapan puji dan syukur kepada Allah swt. Pengatur dan penguasa alam semesta, yang telah berkenan memilih kita menjadi dhuyufur rahman (tamu Allah). Bertahun-tahun kita antri, menanti tibanya hari yang mulia ini, pada hari ini harapan dan keinginan untuk menunaikan rukun Islam yang ke lima, ibadah haji ke Baitullah, diijabah oleh Allah Malikurrahman.
Tidak semua orang beriman, dari bermilyar manusia muslim di dunia, mendapatkan anugerah istimewa ini, memenuhi panggilan Allah. Diberi umur panjang, kemampuan dan kesehatan sehingga dapat melaksanakan rukun haji berupa wukuf di Arafah yang merupakan puncak ibadah haji di tanah suci. Maka semestinyalah kita ucapkan:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَلَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ
“Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah, aku datang memenuhi panggilan-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, aku datang memenuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, kemuliaan, dan segenap kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Kemudian, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan Allah kepada Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, manusia pilihan yang menjadi juru bicara Ilahy untuk menjelaskan kehendak Allah; tentang bagaimana seharusnya manusia menjalani kehidupannya di dunia secara benar dan berfaedah, sehingga memperoleh kesejahteraan di dunia, keselamatan di akhirat, dan dijauhkan dari siksa neraka.
Memenuhi Undangan Haji
Hadirin dhuyûfurrahmân Rahimakumullah
Pada hari yang penuh rahmat dan maghfirah ini, tepat pada tanggal 9 Dzul Hijjah 1446 H/ 5 Juni 2025 M, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT. Kita dapat melaksanakan wukuf di Padang Arafah, salah satu rukun haji yang paling utama. Wukuf di Arafah adalah puncak ibadah haji dan menjadi momen yang istimewa untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mari kita gunakan momen ini untuk berintrospeksi diri, memohon ampunan, dan meningkatkan ketaatan kepada-Nya. Semoga dengan wukuf ini, kita semua mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah SWT.”
Ribuan Tahun Silam, Nabi Ibrahim AS diperintahkan untuk mengumandangkan Pangilan Haji.
وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ
“Wahai Ibrahim, umumkanlah ke¬pada semua manusia untuk beribadah haji, niscaya mereka akan datang memenuhi seruanmu dengan berjalan kaki dan mengendarai onta yang cekatan dari tempat-tem¬pat yang jauh.” (Qs. Al-Hajj [22]: 27)
Seruan untuk menunaikan ibadah haji yang dikumandangkan oleh Nabiyullah Ibrahim As telah berlangsung berabad-abad lamanya, dan terus disambut oleh berjuta-juta umat Islam dari seluruh penjuru dunia.
Hadirin dhuyûfurrahmân Rahimakumullah
Haji merupakan simbol tauhid, napak tilas terhadap jejak bersejarah dan spiritual dari Nabi Ibrahim, Ismail, hingga Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibadah Haji menunjukkan ketaatan sekaligus pengorbanan. Hanya umat Islam yang taat dan kuat tekadnya yang mau berkorban untuk Haji. Sedang mereka yang lemah keyakinannya tidak akan mau berangkat menunaikan ibadah Haji sekalipun memiliki kelapangan rezeki dan sehat badannya.
Prosesi Haji dimulai tanggal 8 Dzulhijjah, dimana seluruh jamaah haji dari seluruh dunia berangkat dari Makkah menuju Mina.
Pada pagi hari, tanggal 9 Dzulhijjah, berangkat ke Arafah. Setelah tergelincir matahari kita melaksanakan wukuf, berdiam diri untuk munajat di padang Arafah. Pada malam harinya para tamu Allah ini mabit (bermalam) di Muzdalifah dan mengumpulkan kerikil untuk melempar jumrah di Mina. Begitulah tertib pelaksanaan ibadah haji yang dilaksanakan setiap tahun oleh umat Islam.
Selanjutnya penyembelihan hewan qurban pada 10 Dzulhijjah, yang merupakan hari besar keimanan dan kemanusiaan, yang diangkat dari sejarah dan kisah perjalanan keluarga teladan, walau ribuan tahun kejadiannya telah berlalu, yaitu keluarga Ibrahim As.
Idul Adha atau yaumun Nahr dirayakan, ditandai dengan syiar penyembelihan hewan qurban untuk mengingatkan kita pada sosok seorang Nabi, suami dan ayah sekaligus, Ibrahim ‘alaihissalam. Juga tentang Hajar, seorang Ibu, seorang istri yang menjadi figur sentral dalam peristiwa bersejarah ini. Dari Hajar mengalir kisah mulia tentang iman, ketaatan dan keluarga bahagia.
Hadirnya Hajar, seorang ibu dan seorang istri, menghantarkan kisah Ibrahim menjadi hikmah yang aliran maknanya tidak pernah berhenti, laksana mata air zam-zam yang mengalirkan airnya tanpa henti. Dari rahimnya ditakdirkan lahir Ismail bin Ibrahim, buah dari do’a sang ayah:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabbi, karuniakanlah anak yang shalih kepadaku.” (Qs. Ash-Shaffat [37]:100)
Allah subhanahu wa ta’ala mengabulkan do’a Ibrahim. Namun kelahiran Ismail, ternyata membuat cemburu istri pertamanya, Sarah. Ia merasa telah dikalahkan oleh Hajar, dan tidak tahan hati setiap kali melihatnya.
Karena itu ia minta pada Ibrahim ‘alaihissalam suaminya, supaya menjauhkan Hajar dan Ismail dari pandangan matanya dan menempatkannya di tempat lain.
Lalu Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan kepada Ibrahim agar keinginan dan permintaan istri pertamanya itu dipenuhi. Maka berbekal takwa dan tawakkal kepada Allah berangkatlah Nabi Ibrahim meninggalkan rumahnya di Palestina, membawa Hajar dan Ismail yang dibonceng di atas untanya tanpa arah tujuan yang pasti. Ia hanya berserah diri kepada Allah, yang akan mengarahkan unta, hewan tunggangannya itu.
Setelah berminggu-minggu dalam perjalanan jauh yang melelahkan, berhentilah unta Nabi Ibrahim mengakhiri perjalanannya di bawah pohon Dauhah di dekat Baitullah, yang sekarang dipahami tempat itu di antara sumur Zam-zam dan Ka’bah, di Makkah. Itu artinya, Nabi Ibrahim bersama istri dan bayinya, telah menaklukkan ganasnya perjalanan di gurun pasir, sejauh lebih dari 1800 km. Apabila ditempuh dengan kendaraan modern melalui darat akan menghabiskan waktu sekitar 3 hari 3 malam.
Di tanah yang gersang dan panas itulah Ismail, dengan kasih sayang ibundanya Hajar, dididik jadi manusia shalih sejak usia belia. Kelak, di tanah ini pula Ismail tumbuh jadi manusia yang berangkat dewasa dalam ketaatan pada Allah, dan dikenang sepanjang masa.
Namun Ibrahim ‘alaihissalam tidak berlama-lama membersamai keduanya di Makkah. Ia harus meninggalkan istri dan putranya, kemudian melanjutkan perjalanan dakwahnya kembali ke Palestina, tanpa memberi bekal apa-apa pada keluarga yang ditinggalkannya. Tidak ada deposito, ATM, kartu kredit, mobil, apalagi rumah; kecuali menitipkan keluarganya hanya pada Allah.
Disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, beliau hanya meninggalkan satu kantong yang berisi kurma dan air sebagai bekal bagi Hajar dan Ismail.
Alangkah sedih dan cemasnya Hajar ketika akan ditinggalkan oleh suaminya Ibrahim. Seraya menangis, Hajar memegang erat gamis Nabi Ibrahim memohon belas kasihnya. Janganlah ia ditinggalkan seorang diri di tempat yang tiada manusia maupun binatang, tiada pohon dan tidak terlihat pula air mengalir, sedangkan ia menanggung beban mengasuh balita yang masih menyusu.
Sambil menahan sedih Hajar bertanya pada suaminya:
يَا إِبْرَاهِيمُ ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الْوَادِي الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلَا شَيْءٌ ؟
“Wahai Ibrahim, kemana kamu hendak pergi meninggalkan kami di lembah yang tak ada manusia dan tidak ada sesuatu apa pun?”
Pertanyaan itu diajukan berulangkali. Sebuah pertanyaan yang menyiratkan beban mental yang begitu berat. Namun Ibrahim terus saja berlalu, tanpa menoleh, tanpa memperlihatkan air matanya yang meleleh. Remuk redam perasaannya, terjepit antara pengabdian pada Allah ataukah kecintaan pada keluarganya.
Hajar masih mengejar sambil terus menggendong Ismail, kali ini dia setengah menjerit, dan jeritannya menembus langit.
آللهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا ؟
“Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan ini?”
Ibrahim ‘alaihissalam, Sang Khalilullah, berhenti melangkah. Dunia seolah berhenti berputar. Malaikat yang menyaksikan peristiwa itu pun turut terdiam menanti jawaban Ibrahim ‘alaihissalam.
Ibrahim ‘alaihissalam membalik, dan berkata penuh haru: “Benar”.
Hajar berhenti mengejar, dan dia terdiam. Lantas meluncurlah kata-kata berhikmah dari lisannya:
إِذَنْ ، لَا يُضَيِّعُنَا
“Jika demikian, pasti Allah tidak akan menelantarkan kami.”
Perhatikan wahai kaum muslimin, demi Allah, betapa indahnya untaian kalimat yang diucapkan Ummu Ismail. Kalimat yang menunjukkan optimisme, kepasrahan serta ketundukan hamba kepada keputusan Rabb-Nya. Sebagai hamba Allah, Hajar merasa yakin, bahwa menaati perintah Allah tidak akan membuat sengsara ataupun terlantar hidupnya. Di bawah perlindungan seorang ibu yang kualitas imannya paripurna seperti inilah, Ibrahim mempercayakan pengasuhan, bimbingan serta didikan bagi putranya Ismail.
Nabi Ibrahim pun meninggalkan Makkah kembali ke Palestina di mana istrinya Sarah sedang menanti. Setelah berjalan agak jauh hingga di satu daerah bernama Hudai, Ibrahim menengok ke belakang, tapi sudah tidak kelihatan lagi anak dan istrinya. Lalu Nabi Ibrahim menghadapkan wajahnya ke Baitullah, dan dengan berlinang air mata ia berdo’a:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
“Wahai Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian anak keturunanku di lembah sekitar Masjidil Haram, daerah yang tidak dapat ditumbuhi tanaman. Wahai Tuhan kami, muliakanlah mereka supaya mereka melaksanakan shalat. Dan jadikanlah hati sebagian manusia senang kepada mereka. Dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan supaya mereka mau taat kepada-Mu.” (Qs. Ibrahim [14]: 37).
Sepeninggal Ibrahim ‘alaihissalam, Hajar mulai menyusui Ismail dan minum dari air persediaan. Hingga air yang ada pada geriba habis, dia menjadi haus, begitu juga anaknya.
Dalam keadaan lelah, Bunda Hajar memperhatikan anaknya yang berguling-guling menangis kehausan. Ia tak tega. Maka dia mendatangi bukit Shafa, gunung yang paling dekat yang ada disana. Ia berharap ada orang yang akan menolongnya atau menemukan oase di tengah gurun sahara.
Ketika tak menemukan apa yang dicarinya, ia menaiki Bukit Marwah, terus bolak-balik sambil berlari sebanyak tujuh kali. Padahal jarak antara bukit Shafa dan Marwah sejauh 450 meter, sehingga perjalanan tujuh kali berjumlah kurang lebih 3,15 kilometer. Tapi tidak juga menemukan air.
Ia ingin pergi ke luar lembah, akan tetapi terngiang pesan suaminya Ibrahim: “Apa pun yang terjadi jangan pernah meninggalkan lembah ini”.
Saat kembali menemui Ismail, dilihatnya air keluar dari bawah kaki Ismail kecil yang masih saja menangis. Hajar takjub dan berusaha menampung air tersebut sambil berucap, “Zam-zam, zam-zam, yang artinya berkumpul-berkumpul.” Ia segera membuat kolam kecil agar air Zam-zam tak melimpah kemana-mana.
Air itulah yang sampai sekarang dikenal dengan sebutan air zam-zam, yang selalu memancar deras dan tak pernah kering bahkan setelah berabad-abad lamanya, dan telah diminum oleh bermilyar manusia.
Peristiwa pencarian air dengan mendaki Bukit Shafa dan Bukit Marwah diabadikan Allah sebagai salah satu rukun haji dan umrah, yaitu Sa’i, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ
“Shafa dan Marwah benar-benar termasuk lambang-lambang agama Allah. Siapa saja yang berhaji ke Baitullah atau melakukan ‘umrah, maka ia tidak berdosa melakukan sa’i di antara Shafa dan Marwah. Siapa saja yang melakukan haji tamattu’, maka Allah Maha Memberi balasan yang lebih baik dan Maha Mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah [2]:158).
Alangkah mulianya akhlak seorang istri seperti Hajar. Dia tidak protes begitu tahu suaminya melakukan sesuatu yang tampaknya “tidak berprikemanusiaan” itu. Hajar justru meyakinkan suaminya, bahwa Allah pasti akan melindungi dirinya dan putranya Ismail.
Hajar tidak berinisiatif mencari pertolongan manusia, misalnya membawa Ismail untuk meninggalkan lembah dan mengabaikan wasiat suaminya? Semua itu dilakukan karena taat pada suaminya dan taqwa pada Allah subhanahu wa ta’ala.
Ujian Keshalihan
Hadirin dhuyûfurrahmân Rahimakumullah
Beberapa tahun kemudian, Allah subhanahu wa ta’ala mengijinkan Ibrahim untuk menengok istri dan anaknya di Makkah. Pada kunjungan pertamanya itu, Ibrahim menyaksikan ternyata Makkah sudah berubah menjadi perkampungan kecil, sudah ada rumah, ada penduduk, ada domba, unta, ada sumur, bahkan menjadi tempat beristirahat bagi para kafilah dagang.
Negeri Makkah yang tadinya tandus, tidak berair, dan tidak berpenghuni karena beratnya kehidupan di sana, kini berubah menjadi negeri yang diberkahi, dirindukan, melimpah rezeki dan buah-buahannya. Setiap tahun jutaan orang berlomba-lomba untuk menziarahinya. Semua jenis buah-buahan ada di sana. Itulah balasan bagi orang yang menaati Allah, baik ketika berada dalam kesulitan maupun kelapangan.
Namun ujian bagi keluarga mulia ini kiranya belum berakhir. Setelah bertahun-tahun ditinggal sang ayah, maka tatkala beranjak remaja Ibrahim datang menemui putera semata wayangnya. Bukan hanya untuk melepas rasa rindu, tapi juga untuk menyampaikan perintah dari Allah yang mahaberat yang sulit diterima akal manusia manapun.
Di suatu hari, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menyembelih qurban fi sabilillah berupa 1.000 ekor domba, 300 ekor sapi, dan 100 ekor unta. Banyak orang mengaguminya, bahkan para malaikat pun terkagum-kagum atas qurbannya.
“Kurban sejumlah itu bagiku belum apa-apa. Demi Allah! Seandainya aku memiliki anak lelaki, pasti akan aku sembelih karena Allah dan aku qurbankan kepada-Nya,” kata Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bernazar.
Ketika usia Ismail sekitar 13 tahun, pada malam tarwiyah, hari ke-8 di bulan Dzulhijjah, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam bermimpi ada seruan, “Hai Ibrahim! Penuhilah nazarmu (janjimu).”
Pagi harinya, beliau pun berpikir dan merenungkan arti mimpinya semalam. Apakah mimpi itu dari Allah subhanahu wa ta’ala ataukah bisikan setan? Dari sinilah kemudian tanggal 8 Dzulhijjah disebut sebagai hari tarwiyah (artinya, berpikir/merenung).
Pada malam ke-9 di bulan Dzulhijjah, beliau bermimpi persis mimpi sebelumnya. Pagi harinya, beliau tahu dengan yakin mimpinya itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala. Dari sinilah hari ke-9 Dzulhijjah disebut dengan hari ‘Arafah (artinya memahami/mengetahui).
Malam berikutnya, beliau mimpi lagi dengan mimpi yang serupa. Maka, keesokan harinya, 10 Dzulhijjah, beliau bertekad untuk melaksanakan nazarnya, janji seorang Nabi. Karena itulah, hari itu disebut yaumun nahr (hari penyembelihan).
Firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى
“Tatkala anak itu sudah dewasa, Ibrahim berkata kepada anak-nya: “Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi menyembelih kamu. Karena itu, apa pendapatmu tentang mimpiku itu?” (Qs. Ash Shaffat [37]: 102)
Terbayang oleh kita, seorang ayah yang sudah berusia 99 tahun, yang sedang mencurahkan kerinduan hatinya, dan harapan pun tertumpah pada kader muda penerus risalah tauhidnya, sekaligus putera beliau yang sedang menanjak dewasa. Tiba-tiba datang perintah Allah, diminta menyembelih putera kesayangan dan satu-satunya itu. Apakah akan ditaati ataukah menentangnya?
Nabi Ibrahim mendiskusikan mimpinya tersebut dengan putranya: “Wahai anakku, sungguh aku telah bermimpi menyembelih kamu. Karena itu, apa pendapatmu tentang mimpiku itu?”
Jawaban Ismail sungguh menakjubkan, menunjukkan militansi iman, yang hanya muncul dari anak yang shalih, didikan dari bapak dan ibu yang shalih-shalihah.
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
“Ismail berkata: “Wahai ayahanda, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. In syaa Allah, engkau akan mendapati aku termasuk orang yang sabar.” (Qs. Ash Shaffat [37]: 102).
Ritual penyembelihan pun dipersiapkan. Kepada Hajar, Nabi Ibrahim berkata, “Dandanilah putramu dengan pakaian yang paling bagus, sebab ia akan kuajak untuk bertamu kepada Allah.”
Kemudian bersama putranya, Ibrahim berangkat menuju ke suatu lembah di Mina, yang jaraknya dari Makkah sekitar 8 kilometer, dengan membawa tali dan sebilah pedang.
Pada saat itu, Iblis terkutuk sangat luar biasa sibuknya, berusaha menggagalkan upaya pelaksanaan perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga Nabi Ibrahim sempat ragu, apakah mmpinya itu berasal dari Allah ataukah bisikan setan. Ismail berusaha menghilangkan segala keraguan, dan mendadak Ismail memungut sejumlah kerikil, dan langsung melemparkannya ke arah Iblis hingga butalah matanya sebelah kiri. Dari sinilah kemudian dikenal dengan kewajiban untuk melempar jumrah dalam ibadah haji.
Sesaat sebelum disembelih, ada permohonan dari Ismail kepada ayahnya, seperti disebutkan dalam salah satu kitab, Shafwatut Tafasir karya Syeikh Ali Ash-Shabuni.
Kata Ismail: “Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku agar aku tidak bergerak-gerak sehingga merepotkan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak terkena percikan darah sedikitpun sehingga bisa mengurangi pahalaku, dan jika ibu melihatnya tentu akan turut berduka.”
Selain itu, “Tajamkanlah pedang dan goreskan segera dileherku ini agar lebih mudah dan cepat proses mautnya. Lalu bawalah pulang bajuku dan serahkan kepada ibu agar menjadi kenangan baginya, serta sampaikan pula salamku kepadanya dengan berkata, “Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah.”
Setelah mendengar permohonan putranya itu, Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menjawab, “Sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah subhanahu wa ta’ala adalah kau, wahai putraku tercinta!”
Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissalam mulai menggoreskan pedangnya ke bagian leher putranya yang telah diikat tangan dan kakinya, namun beliau tak mampu menggoresnya.
Ismail berkata: “Wahai ayahanda! Lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam menjalankan perintah semata-mata karena-Nya.”
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam melepaskan ikatan tangan dan kaki putranya, lalu beliau hadapkan wajah anaknya ke bumi dan langsung menggoreskan pedangnya ke leher putranya, namun beliau masih juga tak mampu melakukannya karena pedangnya selalu terpental. Tak puas dengan kemampuanya, Ibrahim menghunjamkan pedangnya ke arah sebuah batu, dan batu itu pun terbelah.
“Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” kata beliau.
Atas izin Allah subhanahu wa ta’ala, pedang menjawab, “Hai Ibrahim! Kau menghendaki untuk menyembelih, sedangkan Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Jika begitu, kenapa aku harus menentang perintah Allah?”
Pada saat itu turun firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107)
“Ketika Ibrahim dan Ismail telah pasrah kepada Allah dan Ibrahim pun membaringkan puteranya, maka Kami berseru kepadanya: “Wahai Ibrahim, kamu telah membenarkan mimpimu. Sungguh Kami akan memberi pahala kepada orang-orang yang beramal shalih. Sungguh perintah Allah kepada Ibrahim itu merupakan suatu ujian keimanan yang sangat jelas. Kami ganti Ismail dengan seekor domba yang sangat besar” (Qs. Ash-Shaffat [37]: 104-107).
Maka pada saat itu juga semesta alam beserta seluruh isinya bertakbir, Allâhu Akbar, mengagungkan kebesaran Allah subhanahu wa ta’ala atas kesabaran kedua Hamba-Nya dalam menjalankan perintah-Nya.
Menyaksikan seluruh rangkaian takdir Allah itu, malaikat Jibril terkagum-kagum lantas mengagungkan asma Allah, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menyahut, “La Ilaha Illallahu wallahu Akbar”. Ismail mengikutinya, “Allahu Akbar wa lillahil hamd”. Kemudian kalimat-kalimat tersebut kita lantunkan pada setiap hari raya qurban (Idul Adha).
Dari peristiwa sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail inilah di syariatkan bagi umat Islam untuk menyembelih hewan qurban, pada hari Idul Adha, tanggal 10 Dzulhijjah setiap tahun.
Beberapa abad kemudian, di kota Makkah inilah diantara anak keturunan Nabi Ismail, yaitu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan, pada hari Senin 12 Rabi’ul Awal tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 571 M. Hal ini sesuai firman Allah subhanahu wa ta’ala:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Wahai Tuhan kami, utuslah ke tengah anak keturunan kami seorang rasul dari kalangan mereka sendiri yang membacakan ayat-ayat Al-Qur’an kepada mereka. Rasul itu mengajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada mereka, serta membersihkan mereka dari perbuatan syirik. Sungguh Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana dalam mengangkat rasul-Mu.” (Qs. Al-Baqarah [2]: 129)
Waspada Godaan Setan
Hadirin Dhuyufurrahman Rahimakumullah
Berabad-abad kemudian, setelah gagal menyesatkan keluarga Ibrahim As, setan tidak menghentikan godaannya untuk menjauhkan manusia dari agama Allah. Kolaborasi setan jin dan setan manusia memperlancar rencana iblis berikutnya. Iblis, mbahnya setan, telah mengeluarkan ancaman serta intimidasi akan menyesatkan manusia dari jalan Allah, menggunakan segala cara dan dari segala arah: dari arah depan, belakang, kanan, dan kiri manusia.
Iblis berkata: “Wahai Tuhanku, karena Engkau telah mengusirku dari surga, pasti aku akan menjauhkan manusia dari agama-Mu yang benar. Aku pasti akan menggoda manusia dari depan, belakang, kanan, dan kiri mereka, sehingga Engkau akan melihat sebagian besar manusia tidak taat kepada-Mu.” (QS Al-A’raf [7] : 16-17)
Bagaimanakah implementasi ancaman iblis, yang akan menggoda manusia dari arah depan, belakang, sebelah kanan, dan sebelah kiri dalam kehidupan sosial dan politik masa kini? Imam Ibnu Katsir Rahimahullahu Ta’ala menjelaskan maksud ayat ini dengan mengutip pendapat dari sahabat mulia ‘Abdullah bin ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu.
- Bahwa setan atau iblis akan menggoda manusia dari arah depan: Manusia akan dibuat ragu bahkan tidak percaya adanya kehidupan akhirat. Tidak percaya adanya hari pembalasan, bahwa perbuatan baik manusia akan dianugerahi surga, sedang perbuatan jahat akan diganjar neraka.
-
Iblis menggoda manusia dari arah belakang: Manusia akan digemarkan dalam urusan dunia. Manusia akan mengorbankan apa saja demi kepentingan hawa nafsu duniawi.
-
Iblis menggoda manusia dari arah kanan: Manusia akan dibuat bingung dalam urusan agama, karena banyaknya perselisihan pendapat.
-
Kemudian, iblis menggoda manusia dari arah kiri: Manusia akan dilenakan dengan beragam model prilaku maksiat yang menarik, banyak orang melakukan kesesatan sepanjang hidupnya, tapi merasa melakukan hal yang benar.
Mengapa iblis tidak menggoda manusia dari atas dan dari bawah? Dijelaskan dalam sebuah tafsir Al-Qur’an, mufassir Al-Fakhrur-Razy mengatakan: “Diriwayatkan bahwa ketika Iblis mengatakan ancamannya tersebut, maka para malaikat menjadi kasihan terhadap manusia, mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, bagaimana mungkin manusia bisa melepaskan diri dari gangguan iblis?”
Maka Allah berfirman kepada mereka, bahwa bagi manusia masih tersisa dua jalan: atas dan bawah. Jika manusia mengangkat kedua tangannnya dalam do’a dengan rasa hormat dan ikhlas, atau bersujud dengan dahinya di atas tanah dengan penuh khusyu’, Aku akan mengampuni dosa-dosa mereka”
Munajat
Hadirin Dhuyufurrahman Rahimakumullah
Mengakhiri khutbah ini, marilah kita bermunajat kepada Allah, dengan meluruskan niat, membersihkan hati dan menjernihkan pikiran. Semoga Allah berkenan menjadikan haji kita mabrur, ibadah qurban yang kita lakukan, serta dosa-dosa kita diampuni.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.حَمْدًا يُوَافِى نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. يَارَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ كَمَا يَنْبَغِيْ لِجَلاَلِ وَجْهِكَ الْكَرِيْمِ وَعَظِيْمِ سُلْطَانِكَ
Segala puji bagi Allah Rabbul alamin. Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Pujian yang menyamai nikmat-Nya dan menandingi keutamaan-Nya. Ya Rabb kami, untuk-Mu pujian yang sebanding dengan kebesaran dan kemuliaan wajah-Mu dan kebesaran kekuasaan-Mu.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ اِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدَّعْوَاتِ
Ya Allah, ampunilah dosa kaum Muslimin dan Muslimat, mu’minin dan mu’minat, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar, Dekat dan Mengabulkan do’a.
اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ سَلَامَةً فِى الدِّيْنِ، وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَالْمَوْتِ، اَللّٰهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ، وَنَجَاةً مِنَ النَّارِ وَالْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada engkau akan keselamatan Agama dan sehat badan, dan tambahnya ilmu pengetahuan, dan keberkahan dalam rezeki dan diampuni sebelum mati, dan mendapat rahmat waktu mati dan mendapat pengampunan sesudah mati. Ya Allah, mudahkan bagi kami waktu (sekarat) menghadapi mati, dan selamatkan dari siksa neraka, dan pengampunan waktu hisab.
اللهم أَرِنَا الْحَقَ حَقاً وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ
Ya Allah, tampakkanlah kepada kami yang benar itu sebuah kebenaran dan berikan rezeki kepada kami untuk mengikutinya. Tampakkanlah kepada kami yang batil itu sebuah kebatilan dan berikan rezeki kepada kami agar menjauhinya.
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلَّذِينَ كَفَرُوا وَاغْفِرْ لَنَا رَبَّنَا ۖ إِنَّكَ أَنْتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ [الممتحنة]
Wahai Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan orang-orang kafir menguasai kami, sehingga kami menderita akibat tindakan buruk mereka, dan ampunilah kami. Wahai Tuhan kami, sungguh hanya Engkaulah Tuhan yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.
رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَىٰ رُسُلِكَ وَلَا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ إِنَّكَ لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ [آل عمران]
Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami karunia yang telah Engkau janjikan kepada kami melalui Rasul-Mu. Janganlah Engkau jadikan kami hina pada hari kiamat kelak. Sungguh Engkau tidak akan menyalahi janji-Mu.
رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ
Wahai Tuhanku, ampunilah aku dan kedua orang tuaku serta orang-orang mukmin pada hari perhitungan amal di akhirat.” (QS Ibrahim (14) : 41)
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ [البقرة]
Ya Allah, kami datang ke Arafah dari bumi-Mu nan jauh hanya bermodalkan tetesan air mata. Ya Allah limpahkan keridhaan-Mu.
Ya Allah, Ridhailah semua yang datang ke Padang Arafah. Jangan putuskan kami dari nikmat keberkahan Hari Arafah ini. Berikanlah karunia yang telah Engkau Janjikan melalui lisan Rasul-Mu. Jadikanlah umrah dan haji kami sebagai umrah dan haji yang mabrur, ampuni dosa kami, serta anugerahkan keridhaan-Mu atas amal shalih kami hingga kembali ke negeri kami.
Ya Allah, di bawah terik matahari padang Arafah, kami munajatkan kesejukan hati dan pikiran bagi para pemimpin bangsaku. Jadikan para pemimpin negeri kami sebagai mafatihul khair, pembuka pintu kebaikan dan maghalidus syarri, penutup pintu kejahatan. Bukan sebaliknya, menggunakan kekuasaan dan wewenangnya untuk menutup pintu kebaikan dan membuka pintu keburukan. Ya Allah, berkahi rasa kecukupan dan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Ya Allah, selimutilah umat Islam dengan selimut kedamaian. Damaikan hati para pemimpin kami di Indonesia dari kezaliman, dan damaikanlah dunia ini dari segala bentuk perpecahan, penindasan dan angkara murka.
Ya Allah, teguhkan hati kami, hati rakyat Indonesia dalam semangat keteguhan mencintai bangsa kami dan negara kami, maka jadikanlah negeri kami sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, di bawah kepemimpinan yang amanah, yang memenuhi sumpah dan janji konstitusinya, dan selamatkan kami dari pemimpin pendusta dan khianat.
Ya Allah, redakan keresahan kami tentang masa depan Indonesia yang kian suram secara kitab suci dan konstitusi. Lapangkanlah rezeki bagi rakyat Indonesia dan seluruh umat Islam di seluruh belahan dunia. Lapangkanlah kemudahan sebagaimana Engkau telah menakdirkan Arafah sebagai tanah yang lapang menampung seluruh umat Islam yang melaksanakan Haji.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ . سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ . وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ . وَالْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ
Semoga shalawat senantiasa tercurah kepada pemimpin kami Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya semua. Maha suci Tuhanmu Pemilik kemuliaan dari apa yang mereka persekutukan. Semoga salam sejahtera selalu tercurah kepada para rasul dan segala puji hanya bagi Tuhan semesta alam.
(*/arrahmah.id)