ICW dan KontraS Laporkan 43 Polisi ke KPK Terkait Dugaan Pemerasan Rp26,2 Miliar

Ameera
Rabu, 24 Desember 2025 / 4 Rajab 1447 11:48
ICW dan KontraS Laporkan 43 Polisi ke KPK Terkait Dugaan Pemerasan Rp26,2 Miliar
ICW dan KontraS Laporkan 43 Polisi ke KPK Terkait Dugaan Pemerasan Rp26,2 Miliar

JAKARTA (Arrahmah.id) - Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melaporkan sebanyak 43 personel Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan tindak pidana pemerasan.

Kepala Divisi Hukum dan Investigasi ICW, Wana Alamsyah, mengatakan laporan tersebut mencakup dugaan pemerasan dengan total nilai mencapai Rp26,2 miliar yang terjadi dalam rentang waktu 2022 hingga 2025.

Dugaan pemerasan itu disebut terjadi dalam empat kasus berbeda.

“Empat kasus tersebut antara lain, pertama, kasus pembunuhan. Kedua, kasus terkait penyelenggaraan konser DWP. Ketiga, pemerasan yang dilakukan di wilayah Semarang, Jawa Tengah, yang melibatkan anggota kepolisian dengan korban remaja. Terakhir, kasus pemerasan terkait jual beli jam tangan,” ujar Wana di halaman Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (23/12/2025).

Wana menjelaskan, 43 personel Polri yang dilaporkan ke KPK terdiri atas 14 anggota bintara dan 29 perwira.

Menurutnya, laporan ini diajukan ke KPK setelah Komisi Kode Etik Polri lebih dahulu menjatuhkan sanksi etik terhadap seluruh personel yang diduga terlibat.

ICW dan KontraS memandang sanksi etik tersebut menjadi yurisprudensi awal yang seharusnya membuka ruang bagi KPK untuk mengusut dugaan tindak pidana korupsi secara pidana.

Ia merujuk pada Pasal 11 ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK yang memberikan kewenangan kepada KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum.

“Pasal tersebut secara tegas mengatur bahwa KPK berwenang menangani dugaan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, terutama Kepolisian dan Kejaksaan,” kata Wana.

Ia menegaskan, jika laporan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh KPK, maka hal itu dapat menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.

ICW dan KontraS khawatir praktik pemerasan oleh aparat penegak hukum akan dinormalisasi dan hanya dipandang sebagai pelanggaran etik semata.

“Kami khawatir kasus-kasus seperti ini akan dinormalisasi, sehingga pada akhirnya hanya dijadikan sebagai pelanggaran etik tanpa proses pidana,” ujarnya.

Wana juga menyoroti fakta bahwa sejumlah personel Polri yang telah dijatuhi sanksi etik justru mendapatkan promosi jabatan.

Salah satunya adalah seorang perwira berinisial RI yang disebut memperoleh promosi setelah dikenai sanksi etik.

Menurut Wana, kondisi tersebut pula yang menjadi alasan ICW dan KontraS memilih melaporkan dugaan pemerasan ini langsung ke KPK, bukan ke Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri.

“Situasi ini menunjukkan adanya masalah serius dalam akuntabilitas internal, sehingga kami memandang perlu ada penanganan oleh lembaga independen,” pungkasnya.

(ameera/arrahmah.id)

kpkkontrasICW