JAKARTA (Arrhmah.id) – Dalam semangat kebersamaan di bulan suci, Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (DN PIM) bersama Eduversal Foundation dan Komunitas Orbit Lintas Karya menggelar Iftar dan Silaturahim pada Ahad, 9 Maret 2025, di kediaman Prof. Dr. Din Syamsuddin, Cilandak, Jakarta Selatan.
Lebih dari sekadar momen berbuka puasa bersama, acara ini menjadi ajang mempererat dialog lintas agama. Setelah shalat tarawih, digelar Dialog Setelah Tarawih bertajuk “Puasa dalam Perspektif Agama-Agama”, yang menghadirkan tokoh lintas iman untuk berbagi pandangan tentang makna puasa dalam tradisi masing-masing.
Sejak sore, para peserta mulai berdatangan dan duduk lesehan di atas karpet Turki. Obrolan ringan mewarnai suasana, mencerminkan eratnya tali persaudaraan. Ketika adzan maghrib berkumandang, mereka berbuka dengan hidangan khas Turki seperti baklava, borek, dan kurma, disusul sajian utama berupa pilav dengan kebab dan manti. Beragam makanan khas Indonesia turut melengkapi menu berbuka, menambah keakraban di antara peserta.
Usai shalat tarawih yang dipimpin Prof. Din, sesi dialog dimulai. Dalam pembukaannya, ia menegaskan bahwa puasa adalah praktik yang ditemukan di berbagai agama.
Handoyo Budhisejati menjelaskan bahwa dalam Katolik, puasa dan pantang menjadi bagian penting dari ibadah Prapaskah, mengajarkan disiplin rohani dan solidaritas dengan mereka yang kekurangan. Uung Sendana menambahkan bahwa dalam ajaran Konghucu, puasa lebih dari sekadar menahan lapar, tetapi juga merupakan latihan kesederhanaan, introspeksi, dan kebajikan.
Phillip K. Widjaja menjelaskan bahwa dalam Buddha, puasa dilakukan sebagai bagian dari disiplin diri dan meditasi, seperti dalam Uposatha, di mana umat tidak makan setelah tengah hari. Nyoman Udayana menuturkan bahwa dalam Hindu, puasa disebut Upavasa, yang dilakukan dengan berbagai cara seperti Ekadashi dan Shivaratri Vrata untuk penyucian diri.
Pdt. Jacky Manuputti menjelaskan bahwa dalam Kristen Protestan, puasa sering dikaitkan dengan Prapaskah, di mana Yesus berpuasa selama 40 hari di padang gurun sebagai bentuk penguatan spiritual. Sementara itu, Kyai Amidhan Saberah menyampaikan bahwa dalam Islam, puasa Ramadhan bukan hanya menahan lapar dan dahaga, tetapi juga membentuk kesabaran, kepedulian sosial, dan ketakwaan.
Di penghujung diskusi, Prof. Din menyimpulkan bahwa meskipun tata cara dan tujuan puasa di berbagai agama berbeda, ada satu nilai yang menyatukan: puasa adalah latihan menahan diri untuk mencapai kesucian dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa.
Acara pun berakhir dalam suasana penuh kehangatan dan persaudaraan, menegaskan bahwa keberagaman bukan penghalang untuk bersatu, melainkan kekayaan yang harus dijaga dan dirawat bersama.
(Samirmusa/arrahmah.id)