Oleh Novi Widiastuti
Pegiat Literasi
Gaza hari ini bukan sekadar wilayah konflik. Ia adalah simbol nyata dari kegagalan total sistem global yang mengklaim dirinya adil dan beradab. Ketika dunia menyaksikan pembantaian yang terus terjadi atas penduduk sipil tanpa ada tindakan nyata untuk menghentikannya, kita patut bertanya, adakah kemanusiaan yang masih tersisa dalam sistem ini?
Lebih tragis lagi, ketika seorang politisi dari negara yang mengaku sebagai penjaga demokrasi dan HAM, secara terbuka menyerukan penghancuran Gaza dengan senjata nuklir, dunia nyaris tak berkutik.
Dalam wawancara dengan Fox News pada Kamis, 23 Mei 2025, anggota Kongres Amerika Serikat, Randy Fine, mengeluarkan pernyataan kontroversial dengan menyarankan penggunaan bom nuklir terhadap Gaza. Ia membandingkan Gaza dengan Hiroshima dan Nagasaki, dua kota di Jepang yang dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat pada akhir Perang Dunia II, yang menyebabkan sekitar 215.000 kematian dalam beberapa bulan pertama. (Beritasatu, 24/05/2025)
Sangat jelas seruan itu bukan hanya mencederai rasa keadilan, tetapi memperlihatkan puncak dari kebusukan moral dunia modern. Ketika nyawa manusia terutama umat Islam dipandang tak lebih dari angka statistik, dan penderitaan dianggap wajar atas nama “keamanan,” maka jelaslah bahwa sistem global yang ada telah kehilangan rohnya.
Ketika Gaza Menjerit dan Dunia Islam Membisu
Pernyataan-pernyataan yang meremehkan, serangan membabi buta terhadap warga sipil, dan pembungkaman kebenaran di berbagai media internasional telah menjadi bukti nyata bahwa umat Islam saat ini tengah menerima penghinaan yang luar biasa.
Gaza, yang kini porak poranda, menjadi saksi bagaimana dunia termasuk sebagian besar pemimpin negeri-negeri muslim hanya menatap tanpa tindakan berarti. Yang lebih menyakitkan bukan hanya derita rakyat Palestina, tetapi sikap dingin dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung dan pembela umat.
Para pemimpin di banyak negeri muslim tampak lebih memilih membungkam suara dan menahan sikap demi menjaga stabilitas kekuasaan mereka sendiri. Mereka terlalu takut kehilangan pijakan politik, terlalu sibuk menghitung kepentingan diplomatik, sementara darah kaum tertindas terus mengalir.
Bukannya berdiri tegas di hadapan kezaliman, mereka justru berlindung di balik retorika kosong dan konferensi tanpa makna. Gaza hancur, namun yang kita lihat hanya keheningan panjang dari pemegang kekuasaan yang katanya mewakili umat. Diam mereka bukan netralitas, itu adalah pengkhianatan.
Lebih dari itu, sikap apatis ini bukan hanya kegagalan moral, tapi juga pengingkaran terhadap amanah sebagai pemimpin umat. Ketika nyawa muslim tak lagi bernilai di mata dunia, lalu kepada siapa umat ini berharap, jika para pemimpinnya sendiri tak mampu menunjukkan keberpihakan yang jelas?
Ini bukan lagi soal Palestina semata. Ini tentang harga diri umat Islam yang diinjak-injak di panggung global. Ini tentang nilai kemanusiaan yang diabaikan, dan tentang kepemimpinan yang kehilangan arah dan keberanian. Dunia mencatat, sejarah menyimpan, dan generasi mendatang akan bertanya, di mana kalian saat Gaza dibumihanguskan?
Sudah saatnya umat tidak lagi menaruh harap pada lidah yang kelu dan tangan yang terikat oleh kepentingan kekuasaan. Kita butuh kebangkitan kesadaran, bahwa pembelaan terhadap kebenaran bukan pilihan, melainkan kewajiban. Gaza bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga cermin kegagalan kepemimpinan muslim hari ini.
Kegagalan Total Sistem Kehidupan Hari Ini
Tragedi di Gaza menunjukkan dengan sangat jelas bahwa sistem yang saat ini mengatur dunia bukanlah sistem yang dibangun atas dasar penghormatan terhadap manusia. Padahal, manusia adalah makhluk terbaik yang diciptakan Allah, dikaruniai akal, hati nurani, dan martabat. Namun hari ini, martabat itu diinjak-injak oleh tatanan yang hanya memihak kekuatan, uang, dan kepentingan geopolitik.
Sebuah sistem yang membiarkan atau bahkan mendukung pembunuhan terhadap anak-anak tidak layak disebut peradaban. Ia adalah bentuk kegagalan total. Ia tidak punya moralitas, tidak punya belas kasih, dan tidak layak memimpin dunia apalagi mengatur hidup manusia.
Gaza mengungkapkan satu fakta penting, dunia saat ini tidak sedang dikuasai oleh kebenaran, tetapi oleh kekuasaan yang brutal dan sistem yang tidak lagi mempedulikan siapa yang benar dan siapa yang dizalimi. Ketika bayi-bayi yang belum berdosa menjadi korban, dan pelakunya dibela dengan dalih “keamanan nasional”, maka sesungguhnya kita sedang hidup di bawah rezim ketidakadilan yang sistemik.
Dunia butuh jujur pada dirinya sendiri, sistem yang ada saat ini telah gagal. Ia gagal mencegah perang, gagal menegakkan keadilan, dan gagal menjaga nyawa. Maka pertanyaannya bukan lagi “apa yang bisa dilakukan sistem ini untuk menyelamatkan Gaza?” tetapi “berapa lama lagi umat manusia akan bertahan di bawah sistem yang membiarkan kebiadaban terjadi berulang kali?”
Menjawab Seruan Perubahan: Saatnya Islam Ditegakkan Secara Kaffah
Gaza adalah luka terbuka dunia Islam. Di sana, penderitaan berlangsung tanpa jeda. Darah tertumpah, nyawa melayang, dan kemanusiaan diinjak-injak di hadapan mata dunia yang bisu. Namun lebih menyakitkan lagi, bukan hanya karena musuh yang menindas, tetapi karena umat ini belum menjawab panggilan perubahan yang hakiki. Seruan untuk membebaskan Gaza bukan hanya seruan emosional sesaat, tetapi panggilan serius untuk menegakkan Islam secara kaffah sebagai solusi yang nyata dan menyeluruh.
Selama sistem global yang rusak dan zalim tetap bercokol, Gaza tidak akan benar-benar bebas. Karena yang membelenggu Gaza bukan hanya senjata dan blokade, tapi juga sistem dunia yang abai terhadap nyawa kaum muslimin dan hanya tunduk pada kepentingan politik para penjajah. Umat Islam tidak bisa terus berharap pada kecaman internasional atau negosiasi diplomatik yang hanya menjadi sandiwara.
Islam bukan sekadar agama ritual, tapi sistem kehidupan yang memiliki tatanan politik, hukum, ekonomi, dan sosial yang adil dan bermartabat. Islam memiliki visi peradaban yang melindungi setiap nyawa, menegakkan keadilan sejati, dan membebaskan yang tertindas.
Untuk mewujudkan itu, umat Islam membutuhkan institusi pemersatu yang menjalankan syariat secara menyeluruh itulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Khilafah bukan nostalgia sejarah, tapi kebutuhan mendesak yang akan menyatukan potensi kekuatan umat, mengarahkan perjuangan, dan membela kehormatan muslim di manapun mereka berada.
Di masa Rasulullah saw., perubahan tidak terjadi secara instan. Ia dibangun dengan kejelasan visi, keimanan yang kuat, dan pembinaan umat yang menyeluruh. Maka hari ini, umat pun membutuhkan adanya jamaah dakwah yang membawa seruan perubahan hakiki, bukan sebatas perbaikan parsial dalam sistem yang cacat. Jamaah yang menyeru kepada penerapan Islam secara total, bukan simbolis. Seruan ini bukan ajakan utopis, tetapi panggilan sejarah untuk kembali menegakkan kemuliaan agama ini.
Inilah saatnya kita bergerak bersama, bukan hanya demi umat ini, tetapi demi seluruh umat manusia. Karena rahmat Islam adalah untuk seluruh alam, dan tegaknya Islam secara kaffah adalah awal dari kebangkitan peradaban yang sesungguhnya.
Wallahua’lam bis shawab