KAIRO (Arrahmah.id) – Di tengah serangan rudal Iran yang menargetkan situs-situs strategis ‘Israel’ dan penutupan sebagian wilayah udara ‘Israel’, kota perbatasan Taba di Mesir berubah menjadi jalur pelarian krusial bagi warga ‘Israel’ yang berusaha keluar dari zona konflik.
Meski otoritas Mesir telah memfasilitasi perlintasan mereka, arus masuk ribuan warga ‘Israel’ dan warga asing, termasuk diplomat serta staf internasional, telah memicu kemarahan publik dan membuka perdebatan sengit seputar isu keamanan nasional, kedaulatan, serta perlakuan diskriminatif terhadap warga Palestina.
Dalam beberapa hari terakhir, ribuan orang telah menyeberang melalui perbatasan Taba menuju Mesir, untuk kemudian terbang ke Eropa atau negara lain melalui Bandara Sharm el-Sheikh. Kedutaan besar asing di Kairo turut berkoordinasi dengan pemerintah Mesir demi memastikan evakuasi berlangsung aman.
Seorang diplomat Eropa kepada Al-Araby Al-Jadeed, menyebut bahwa “Kementerian Luar Negeri Mesir menangani permintaan evakuasi dengan sangat profesional, menyediakan jalur aman yang dikordinasikan bersama aparat keamanan.” Ia menambahkan bahwa “respons cepat Mesir mencerminkan pemahaman terhadap sensitivitas situasi dan pentingnya peran Mesir dalam menurunkan eskalasi di kawasan.”
Namun di tengah koordinasi resmi itu, kemarahan publik di Mesir terus meningkat.
Banyak warga Mesir memandang kehadiran orang ‘Israel’ di Semenanjung Sinai sebagai hal yang tak dapat diterima, terutama saat serangan udara ‘Israel’ terus menggempur Gaza dan Tepi Barat. Para aktivis menyoroti apa yang mereka sebut sebagai paradoks yang mengganggu: “Palestina diblokade, konvoi bantuan diblokir oleh Mesir, tetapi warga ‘Israel’ disambut di hotel-hotel Sinai.”
‘Israel’ sendiri menghentikan seluruh bantuan kemanusiaan ke Gaza sejak Maret tahun lalu, menyebabkan ratusan ribu orang terancam kelaparan. Kini, bantuan hanya didistribusikan lewat titik-titik yang dikelola oleh lembaga Gaza Humanitarian Foundation yang didukung AS dan ‘Israel’. Ratusan warga Palestina tewas ditembak tentara ‘Israel’ ketika mencoba mendekati titik distribusi tersebut demi mendapatkan makanan.
Mohamed Saif Al-Dawla, pendiri gerakan Egyptians against Zionism, membandingkan perlakuan pemerintah Mesir saat ini dengan situasi saat negara itu masih dijajah Inggris.
“Fasilitasi masuknya warga ‘Israel’ ke Sinai hari ini mengingatkan pada sistem hak istimewa asing yang diberlakukan pada Mesir di masa penjajahan Inggris,” ujarnya kepada Al-Araby Al-Jadeed.
Ia kemudian mempertanyakan, “Apakah rakyat Mesir sadar bahwa warga ‘Israel’ menikmati hak-hak wisata istimewa di wilayah Mesir?” Al-Dawla merujuk pada perjanjian bilateral 1989 yang mengizinkan wisatawan ‘Israel’ masuk ke Sinai Selatan lewat Taba tanpa visa, tinggal selama 14 hari tanpa membayar biaya masuk, dan hanya menjalani pemeriksaan acak oleh bea cukai.
“Tidak ada warga negara lain yang mendapat keistimewaan seperti ini,” katanya.
“Bahkan setelah Mesir memenangkan sengketa perbatasan Taba pada 1988, tak ada evaluasi serius terhadap perjanjian-perjanjian ini. Hasrat zionis atas Sinai tidak pernah berhenti. Menachem Begin dulu pernah berkata bahwa ‘Israel’ akan kembali ke Sinai jika tiga juta orang Yahudi siap menetap di sana.”
“Dan pada 2008, Avi Dichter mengatakan bahwa penarikan ‘Israel’ dari Sinai bergantung pada jaminan AS bahwa mereka bisa kembali jika rezim Mesir tak lagi mengabdi pada kepentingan ‘Israel’,” lanjutnya.
Saif Al-Dawla juga memperingatkan adanya risiko keamanan dari masuknya warga ‘Israel’ ke wilayah Mesir.
“Bahaya sebenarnya bukan sekadar keistimewaan hukum, tapi potensi pelanggaran keamanan, spionase, dan rekrutmen halus yang terjadi di tanah kita.”
Seorang pejabat di sektor pariwisata Mesir menilai bahwa lonjakan jumlah tamu hotel dari ‘Israel’ tidak memberi dampak ekonomi berarti bagi negara.
“Sebagian besar adalah pemesanan palsu. Mereka hanya tinggal satu atau dua malam sebelum terbang ke tempat lain. Taba dan Sharm hanyalah titik transit,” ujarnya.
Sementara itu, di media sosial, warga ‘Israel’ justru menyambut hangat situasi tersebut.
“Kami merasa sangat aman di Sinai. Ini opsi liburan yang luar biasa. Kembali saja ke sini, hidup terus berjalan, bahkan di tengah perang,” tulis seorang pemukim ‘Israel’, Guy Shilo, dalam grup Facebook ‘Lovers of Sinai’.
Namun, cerita berbeda datang dari warga Mesir yang tinggal secara legal di ‘Israel’. Asosiasi Warga Mesir di ‘Israel’ menulis:
“Kebebasan bergerak adalah hak dasar yang dinikmati warga ‘Israel’, tapi ditolak untuk warga Mesir sendiri.”
Kelompok itu menyoroti proses keamanan yang panjang dan tak pasti yang harus dilalui oleh warga Mesir yang ingin kembali ke tanah airnya, bahkan untuk kunjungan singkat, lewat perbatasan yang sama yang dilalui warga ‘Israel’ dengan mudah. (zarahamala/arrahmah.id)