Syadi Abdul Hafizh
Jurnalis spesialis dalam urusan sains dan militer.
(Arrahmah.id) — Di tengah perang yang berkecamuk antara “Israel” dan Iran, sorotan kembali tertuju pada kekuatan militer Amerika Serikat, khususnya perannya yang krusial dalam mendukung serangan terhadap fasilitas nuklir Iran yang sangat terlindungi. Seruan dari pihak “Israel” menunjukkan kebutuhan mendesak atas dukungan militer Washington untuk menghancurkan fasilitas nuklir Fordow di selatan Teheran.
“Israel” sangat bergantung pada keterlibatan langsung Amerika dalam perang yang sedang dilancarkannya terhadap Iran. Hal ini lantaran mereka tidak memiliki kemampuan teknologi untuk menghancurkan situs Fordow yang berada jauh di bawah tanah. Satu-satunya jalan adalah dengan menggunakan pesawat pengebom strategis dan bom penembus bunker—semua hanya dimiliki oleh militer AS.
Mengutip situs Axios, sejumlah pejabat “Israel” menyebut bahwa Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pimpinan militer Zionis meyakini bahwa Presiden AS Donald Trump bisa saja mengambil keputusan untuk menyerang langsung fasilitas Fordow sebagai bentuk dukungan terhadap “Israel”.
Jika skenario ini terjadi, maka ujung tombaknya adalah pesawat pengebom siluman Amerika B-2 Spirit, satu-satunya jet tempur yang dinilai mampu menjalankan misi kompleks semacam itu. Apa yang membuat Fordow begitu istimewa? Dan mengapa “Israel” tak bisa menanganinya sendiri?
B-2 Spirit: Pesawat yang Bisa Melakukannya
Untuk memahami lebih jauh, kita perlu melihat lebih dekat karakteristik pesawat B-2 Spirit—jenis pengebom strategis yang semakin sering disebut dalam konteks Fordow.
Pengebom adalah jenis pesawat yang dirancang khusus untuk menyerang target di darat dan laut dengan menjatuhkan bom atau menembakkan rudal. Fungsi utamanya adalah untuk serangan strategis: menghancurkan infrastruktur, fasilitas industri, jalur logistik, dan aset bernilai tinggi lainnya untuk melumpuhkan kekuatan musuh.
B-2 Spirit istimewa karena mampu membawa bom besar, termasuk bom penembus bunker seperti GBU-57, bahkan bom nuklir. Ini menjadikannya elemen utama dalam misi penangkal strategis jarak jauh yang membutuhkan kemampuan siluman penuh dari radar musuh.
Walaupun ada juga pesawat pengebom seperti B-52 yang bisa mengangkut bom besar, tetapi ia tidak memiliki kemampuan manuver, siluman, dan dominasi udara seperti B-2. Oleh karena itu, B-52 selalu memerlukan pengawalan pesawat lain saat beroperasi.
Selama Perang Dingin, AS menyadari bahwa kemajuan teknologi radar Soviet membuat pesawat-pesawat konvensional terlalu mudah terdeteksi. Pada 1974, badan pertahanan DARPA mengajukan permintaan kepada industri penerbangan AS untuk mengembangkan pesawat yang tidak terlihat radar.
Pada 1979, Angkatan Udara AS meluncurkan program pengembangan pengebom generasi baru berteknologi siluman. Tahun 1981, proyek ini dimenangkan oleh Northrop dan Boeing dan melahirkan proyek “Senior Cejay” yang kemudian melahirkan B-2 Spirit, diungkap ke publik tahun 1988.
Awalnya, AS berencana membuat 132 unit B-2, namun biaya produksi dan perawatan yang sangat tinggi—sekitar 2,1 miliar dolar AS per pesawat—membuat jumlahnya dibatasi hanya 21 unit. Hari ini, hanya 19 unit yang aktif bertugas.
Dengan kemampuan pengisian bahan bakar di udara dan desain siluman yang mampu menghindari radar, serta cat penyerap gelombang radar, sistem pendingin inframerah, dan perangkat pengacau elektronik canggih, B-2 menjadi pengebom paling canggih di dunia.
Pesawat ini digunakan dalam berbagai operasi militer AS: Perang Kosovo, invasi Afghanistan dan Irak, serangan di Libya (2017), Suriah, hingga Yaman.
Kini, nama B-2 kembali muncul sebagai satu-satunya senjata udara yang diyakini mampu menembus pertahanan Fordow.
Kubu Beton Fordow
Fasilitas Fordow, salah satu pusat pengayaan uranium Iran paling rahasia dan terlindungi, memang dirancang khusus untuk tahan terhadap serangan udara, bahkan serangan nuklir taktis berskala kecil.
Fordow terletak sekitar 95 kilometer barat daya Teheran dan dibangun di dalam sistem gua dan terowongan di bawah gunung dekat kota Qom. Kedalamannya diperkirakan mencapai 80–90 meter di bawah permukaan tanah, dengan lapisan batuan keras, beton bertulang tebal, dan pelindung baja.

Tata ruang dalamnya dirancang layaknya labirin untuk menyulitkan penetrasi dan meredam efek ledakan. Fasilitas ini juga dilindungi oleh sistem pertahanan udara, rudal jarak pendek-menengah, perangkat pengacak elektronik, kamera termal, dan sensor gerak.
Menurut Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Fordow terdiri dari dua ruang utama untuk pengayaan uranium yang mampu menampung hingga 3.000 alat sentrifugal IR-1.
Satu Bom Saja?
Dari informasi yang tersedia, hanya satu jenis bom konvensional yang mungkin bisa menembus kedalaman Fordow dan Natanz: bom GBU-57 Massive Ordnance Penetrator (MOP).
Bom seberat 13–14 ton ini memiliki panjang 6 meter dan dirancang untuk menghancurkan target bawah tanah. Ia mampu menembus hingga 61 meter beton bertulang atau 12 meter batuan keras.
Namun, bom ini hanya bisa dibawa oleh B-2 Spirit. Tak ada pesawat tempur lain di dunia yang bisa melakukannya.
Serangan semacam ini tidak cukup hanya dengan satu bom. Misi kompleks semacam itu membutuhkan gelombang awal berupa serangan elektronik untuk melumpuhkan radar Iran dan mengisolasi area target dari sistem komunikasi luar.

Setelah itu, serangan presisi dimulai. Bisa jadi dilakukan beberapa kali, diawali dengan bom penghancur permukaan, lalu baru dilanjutkan bom MOP untuk menghantam ke dalam. Satu atau lebih bom bisa dilepaskan di titik yang sama untuk memperdalam penetrasi atau menghancurkan area yang lebih luas.
Tujuan akhirnya bukan hanya menghancurkan reaktor, tetapi juga merusak sistem pendukungnya: ruang kontrol, sistem pendingin, dan penyimpanan bahan bakar.
Hambatan Lebih Dalam
Kebutuhan “Israel” atas keterlibatan AS menjadi semakin jelas. Menurut Washington Post, dua gelombang serangan awal “Israel” belum memberikan dampak serius terhadap fasilitas nuklir Iran. Situs seperti Natanz memang rusak, namun pengayaan bawah tanah tetap tidak terganggu.
Citra satelit dan laporan IAEA menunjukkan bahwa sistem sentrifugal di bawah tanah masih utuh. Begitu juga di Fordow, hanya area permukaan yang tersentuh serangan.
Walaupun “Israel” pernah sukses menerapkan “Doktrin Begin”—menghancurkan proyek nuklir musuh sejak dini seperti yang dilakukan terhadap reaktor Osirak di Irak (1981) dan fasilitas al-Kibar di Suriah (2007)—namun Iran adalah tantangan yang sama sekali berbeda.
Situs nuklir Iran tersebar, tersembunyi, dan terlindungi di bawah tanah. Bahkan jika serangan udara sukses, para ahli Iran dinilai mampu membangun kembali fasilitas tersebut.
Inilah sebabnya “Israel” juga menargetkan para ilmuwan nuklir Iran dalam beberapa tahun terakhir. Namun strategi ini juga terbatas, sebab program nuklir Iran tidak bergantung pada individu saja, melainkan pada sistem ilmiah dan institusional yang matang.
Kesimpulannya, persoalan nuklir Iran jauh lebih rumit daripada sekadar menjatuhkan bom. Yang dipertaruhkan adalah upaya mencegah negara dengan tekad politik dan pengetahuan ilmiah kuat dari melanjutkan programnya. Dan itu bukan perkara serangan militer cepat semata.
Artikel ini diterjemahkan dari Al Jazeera Arabic dengan judul asli berbahasa Arab: «بي-2 سبيريت.. القاتل الذي تريده إسرائيل لتدمير منشأة فوردو النووية» (B-2 Spirit: Al-Qatil alladzi Turiduhu Israil litadmīr Mansya’at Fordow an-Nawawiyyah), yang berarti: “B-2 Spirit: Pembunuh yang Diidamkan ‘Israel’ untuk Menghancurkan Fasilitas Nuklir Fordow.”
Samirmusa/arrahmah.id)