Hesham Jaafar
Jurnalis dan peneliti
(Arrahmah.id) – Visi Benjamin Netanyahu terhadap kawasan Timur Tengah terutama berfokus pada menjadikan “Israel” sebagai kekuatan regional yang dominan dengan menetralkan ancaman eksistensial yang diklaimnya, khususnya Iran, serta membentuk ulang lanskap geopolitik kawasan demi menjamin keamanan dan superioritas “Israel”.
Keyakinan mendasar Netanyahu adalah bahwa “Israel” harus menguasai seluruh wilayah dan menegaskan dominasinya penuh atas Timur Tengah. Tujuan utamanya adalah “menjamin keamanan Tanah Air Yahudi bagi generasi mendatang” dan memprioritaskan “keamanan proyek” daripada keamanan individu. Ia siap menempuh “pilihan paling sulit” dan bertindak di bawah tekanan demi meraih tujuan-tujuan ini, dengan keyakinan bahwa “Israel” mampu mengubah realitas kawasan saat ini.
Ancaman Iran telah menjadi prioritas utama sepanjang karier politik Netanyahu. Ia memandang serangan terhadap kemampuan nuklir Iran sebagai puncak dari usahanya untuk mencegah Teheran memiliki senjata nuklir. Menurutnya, melemahkan sekutu Iran seperti Hizbullah dan faksi-faksi perlawanan Palestina akan menghilangkan “senapan terkokang” yang diarahkan ke “Israel”, sehingga mempermudah penargetan fasilitas nuklir Iran.
Membentuk Ulang Masalah Palestina
Netanyahu menganggap gerakan-gerakan perlawanan Palestina sebagai entitas teroris, dan menolak semua pembenaran atas tindakan mereka maupun pandangan bahwa “Israel” adalah kekuatan penjajah.
Pendekatannya terhadap isu Palestina bersifat “dari luar ke dalam”, artinya solusi harus datang dari faktor eksternal, bukan melalui keterlibatan langsung dengan rakyat Palestina. Ia siap mengambil tindakan terhadap negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania untuk “mengakhiri masalah Palestina”, dengan menegaskan bahwa rakyat Palestina “tidak akan mendapatkan apa pun”.
Salah satu unsur utama dalam warisan politik Netanyahu adalah “menghancurkan hambatan” yang dihadapi “Israel”, yang menurutnya terutama disebabkan oleh rakyat Palestina sebagai penghalang utama di kawasan.
Untuk mewujudkannya, Netanyahu mencoba menyelesaikan isu Palestina dengan mengorbankan Mesir dan Yordania.
Hal ini mengisyaratkan adanya solusi yang kuat, bahkan bisa melampaui jalur diplomatik tradisional maupun hak penentuan nasib sendiri rakyat Palestina. Dampaknya bisa langsung terasa pada Yordania, perbatasan Mesir dengan Gaza, dan peran historis Mesir dalam proses perdamaian.
Pandangan Amerika Serikat di bawah Trump menyiratkan bahwa negara-negara Arab, termasuk Mesir, memiliki wilayah yang cukup luas dan bisa menjadi tempat pemukiman warga Palestina. Ini berarti rakyat Palestina tidak dipandang sebagai entitas kebangsaan yang layak memiliki negara sendiri. Oleh karena itu, Amerika lebih fokus mengelola hubungan dengan negara-negara Arab ketimbang memperlakukan Palestina sebagai bangsa yang merdeka.
Kebijakan Netanyahu merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memastikan dominasi penuh “Israel” di kawasan, dengan menghilangkan semua tantangan potensial dan membentuk ulang Timur Tengah agar sesuai dengan kepentingan “Israel”. Strategi ini mencakup marginalisasi isu Palestina (yang bisa menyebabkan pengusiran massal atau penguasaan permanen tanpa hak setara), serta memperkuat dominasi melalui kekuatan militer dan aliansi baru.
Perdana Menteri “Israel” berupaya memanfaatkan konflik-konflik regional saat ini untuk memaksa kekuatan-kekuatan lain di kawasan tunduk pada dominasi “Israel”.
Ia membayangkan peran sentral “Israel” dalam penataan ulang kawasan Timur Tengah sesuai dengan kepentingan strategis Barat secara umum—khususnya Amerika Serikat. Ini menuntut agar “Israel” tampil sebagai unsur utama dalam “Barat ketiga” (yang membedakannya dari Barat klasik: Eropa dan AS), atau dalam “Barat baru” yang erat terkait dengan strategi Barat modern, terutama Amerika.
Pendekatan Strategis dan Berisiko
Strategi Netanyahu berlandaskan pada prinsip “kejutan dan peluang”, yakni memanfaatkan momen ketidakstabilan regional untuk memperkuat kepentingan “Israel”.
Secara historis, Netanyahu cenderung menampilkan “Israel” sebagai kekuatan yang kuat, agresif, dan tidak bisa diganggu gugat, sekalipun itu berarti mengabaikan kesempatan damai atau perbaikan hubungan jika harus mengorbankan tujuan strategis utamanya.
Pendekatannya juga mencakup “aturan permainan yang berubah”, yang memungkinkan peluncuran serangan militer dan politik terhadap negara lain dari dalam, serta menargetkan elit-elit penguasa.
Visi Netanyahu meluas hingga mencakup transformasi geopolitik besar-besaran di Timur Tengah, termasuk pembongkaran dan penataan ulang “Poros Timur” (Iran, Suriah, dan Irak). Ia juga mengincar perubahan besar dalam negara-negara seperti Mesir dan Iran.
Ia juga ingin mengubah konflik regional yang ada menjadi konfrontasi luas antara “Timur dan Barat”, sekaligus menantang Rusia dan China agar merasakan konsekuensi jika mereka tidak ikut serta dalam dinamika tersebut. Pada akhirnya, Netanyahu mendambakan Timur Tengah di mana “Israel” bebas bertindak dan menegaskan dominasinya tanpa pembatasan besar.
Apa Makna Visi Ini bagi Kawasan, Terlepas dari Realitasnya?
1. Meminggirkan Kepemimpinan Tradisional Arab
Restrukturisasi strategis yang dipimpin “Israel” di Timur Tengah—dengan dukungan AS—bertujuan membentuk ulang dinamika kawasan melalui penyelesaian isu Palestina dengan mengorbankan negara seperti Mesir dan Yordania. Rencana ini juga mencakup penghapusan peran kepemimpinan tradisional negara-negara Arab, demi membentuk aliansi baru yang berpusat pada “Israel”.
Strategi Amerika sejak pasca-Perang Dunia II selalu mencoba menyingkirkan pusat-pusat kekuatan lama Timur Tengah dan menyatukan kawasan di bawah pengaruh Barat. Kini, negara-negara kawasan diharapkan ikut dalam orbit pengaruh itu, termasuk negara-negara Arab.
Perubahan persepsi ancaman di negara-negara Teluk ikut mempercepat marginalisasi ini. Sebelum 7 Oktober 2023, negara-negara Teluk menganggap Iran dan sekutunya sebagai ancaman utama. Namun, perang di Gaza membuat persepsi itu berubah. Kini, Iran tidak lagi dianggap ancaman utama bagi dunia Arab, sementara “Israel” makin dilihat sebagai kekuatan dominan kawasan.
Negara-negara Teluk kini lebih memilih solusi diplomatik dengan Iran daripada konfrontasi militer, karena kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi dan potensi perang besar yang tidak terkendali. Iran yang sedang terpuruk secara ekonomi pun makin bergantung pada negara-negara Teluk untuk menfasilitasi negosiasi dengan AS mengenai program nuklirnya.
2. Ketergantungan pada Sistem Regional Baru yang Dipimpin “Israel”
“Israel” memperkirakan bahwa setelah Iran “ditangani”, kekuatan regional lainnya akan terpaksa tunduk pada tatanan regional baru yang dipimpinnya. Timur Tengah dalam versi baru ini akan menyatu secara mendalam dengan Barat di bawah kepemimpinan AS, dengan “Israel” memainkan peran sentral dan dapat dipercaya.
Warisan politik Netanyahu terkait erat dengan tujuan “menghentikan Iran nuklir” dan menjamin kelangsungan Tanah Air Yahudi. Ia percaya bahwa setelah rezim Iran tumbang, negara-negara regional lain akan menyerah. Tujuannya adalah menjadikan “Israel” satu-satunya kekuatan nuklir di kawasan yang mampu mendikte syarat dan mempertahankan superioritas militer mutlak atas tetangganya.
Dari sudut pandang “Israel”, dalam realitas baru ini rakyat Palestina tidak akan mendapatkan “apa pun” terkait kenegaraan, karena “Israel” secara terbuka menolak posisi tradisional negara-negara Arab terhadap isu Palestina.
3. Resep Ketidakstabilan
Sangat mungkin bahwa kawasan Timur Tengah akan bergerak menuju ketidakstabilan yang lebih besar dalam jangka menengah hingga panjang. Tanda-tanda masa depan yang tidak pasti sangat kuat, dan potensi eskalasi besar-besaran sangat nyata.
Kawasan ini diwarnai konflik yang meningkat, risiko penyebaran senjata nuklir, peninjauan ulang aliansi regional, serta kerapuhan internal yang mendalam di Iran maupun “Israel”—semua ini ikut memicu konflik yang berkelanjutan.
Perang melawan Iran juga diperkirakan akan sangat memengaruhi stabilitas internal negara-negara Arab, terutama melalui pengaruh opini publik, peningkatan protes, serta krisis ekonomi yang memburuk.
Konflik militer antara “Israel” dan Iran juga bisa menyebabkan krisis ekonomi luas, terutama karena dampaknya pada jalur perdagangan dan harga minyak. Tekanan ekonomi ini, ditambah kemarahan publik terhadap absennya strategi jelas dalam menangani Gaza dan tingginya korban sipil, bisa memperparah krisis dalam sistem pemerintahan negara-negara Arab.
Pada intinya, meskipun perang terhadap Iran diproyeksikan sebagai upaya membatasi kemampuan nuklir dan militer Iran, tujuan strategisnya yang lebih luas adalah mengubah keseimbangan kekuatan regional demi memperkuat dominasi “Israel”.
Proses ini pada saat yang sama akan menyulut ketidakpuasan rakyat dan protes di negara-negara Arab, bahkan ketika pemerintah mereka mendapat tekanan untuk bergabung dalam aliansi baru yang berisiko mengorbankan peran dan kepentingan tradisional mereka.
Artikel ini diterjemahkan dari Al Jazeera Arabic dengan judul asli كيف يخطط نتنياهو لسيادة الشرق الأوسط عبر ضرب إيران؟ (Kayfa Yukhatthithu Netanyahu lis-Siyādah ‘ala asy-Syarq al-Awsaṭ ‘Abra Ḍarb Irān?) yang berarti Bagaimana Netanyahu Merencanakan Dominasi Timur Tengah Melalui Serangan ke Iran?
(Samirmusa/arrahmah.id)