(Arrahmah.id) – Serangan terbaru dari operasi Spider Ukraina terhadap pangkalan udara Rusia telah mengguncang para ahli strategi dan perencana militer di seluruh dunia. Teknologi drone yang berkembang jauh lebih cepat dari perkiraan publik ini telah merevolusi cara perang dijalankan dan menulis ulang sejarah peperangan modern.
Demikian disampaikan jurnalis Sunday Times Inggris, Mark Urban, yang menyebut serangan itu sebagai “Pearl Harbor-nya Rusia”—sebuah pukulan mendadak dan mengejutkan yang membuka borok kelemahan militer Moskow.
Urban menjelaskan bahwa teknologi baru ini, yang digunakan secara berani dan inovatif, telah mengikis keunggulan strategis Rusia. Keunggulan seperti luasnya wilayah negara dan populasi tiga kali lipat lebih besar dari Ukraina tak lagi menjadi jaminan keamanan. Bahkan, pangkalan udara yang terletak jauh di pedalaman Siberia kini tidak lagi kebal dari serangan.

Perubahan ini telah mendorong para perencana militer dunia—termasuk di Beijing, Washington, dan London—untuk mengevaluasi kembali postur pertahanan strategis mereka. Laporan Strategic Defence Review (SDR) Inggris mengakui dampak besar kecerdasan buatan dan sensor canggih terhadap medan perang. Kata “drone” disebut sebanyak 28 kali dalam laporan itu, menegaskan bahwa “teknologi telah mengubah cara perang dijalankan.”
Namun demikian, sejumlah pakar militer seperti Jenderal Sir Richard Barrons memperingatkan agar tidak menganggap drone sebagai “solusi ajaib”. Ia menekankan bahwa teknologi militer selalu memiliki batas capaian dalam konteks perang yang sesungguhnya.
Meski begitu, Inggris telah memberikan dukungan besar bagi pengembangan senjata nirawak di Ukraina, dan mulai menarik pelajaran penting dari efektivitas serta lonjakan permintaan terhadap teknologi tersebut.
Artikel ini menjelaskan bahwa istilah “drone” kini mencakup beragam senjata, dari bom kecil jarak pendek hingga sistem otonom jarak jauh seperti Helsing HX-2 yang mampu menyerang sasaran dari jarak lebih dari 1.400 km.
Di sisi lain, Rusia pun tidak tinggal diam. Mereka meluncurkan drone Lancet dan sistem peperangan elektronik untuk mengacaukan drone Ukraina. Hal ini mendorong Kyiv untuk mengutamakan drone otonom seperti sistem Avengers yang mampu mencari dan menyerang target secara independen dengan bantuan basis data visual, tanpa campur tangan manusia.
Dengan demikian, baik Kyiv maupun Moskow kini tengah mengembangkan teknologi drone secara intensif. Ukraina fokus pada drone otonom berbasis kecerdasan buatan, sementara Rusia mengandalkan drone berbasis serat optik untuk menghindari gangguan sinyal.
Drone Membentuk Ulang Prioritas Investasi Militer
Teknologi baru ini telah menggeser sistem lama yang mahal dan kini dianggap usang. Drone Watchkeeper Inggris misalnya, menghabiskan dana hingga 1 miliar poundsterling, sementara satu unit drone Reaper milik AS berharga 30 juta dolar.
Kondisi ini mendorong banyak analis mempertanyakan proyek pesawat tempur Tempest Inggris senilai 14 miliar pound, karena dikhawatirkan teknologi drone dan kecerdasan buatan akan melampauinya bahkan sebelum proyek itu rampung.

Masa Depan
Perubahan besar terletak pada integrasi antara kecerdasan buatan, otonomi, dan sensor dalam peperangan, yang secara perlahan dapat menghilangkan kebutuhan intervensi manusia dalam pengambilan keputusan cepat di medan tempur.
Namun, meskipun drone meningkatkan kemampuan untuk mengatasi kendala geografis, teknologi ini juga dapat memperpanjang kebuntuan seperti yang terjadi di Ukraina, di mana pergerakan dan kemenangan menentukan menjadi semakin sulit diraih.
Kesimpulannya, drone telah membuka babak baru dalam sejarah peperangan modern. Teknologi ini tidak hanya mengguncang strategi militer dan mengungkap kelemahan lawan, tetapi juga memaksa militer dunia untuk meninjau kembali alokasi anggaran dan pendekatan operasi mereka secara menyeluruh.
(Samirmusa/arrahmah.id)