GAZA (Arrahmah.id) – Begitu militer AS menjatuhkan 14 bom penghancur bunker GBU-57A/B MOP ke fasilitas nuklir utama Iran pada 22 Juni, Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu langsung bersiap mengumumkan “kemenangan besar” yang telah lama dinanti.
Dengan asumsi bahwa Iran akan segera menyerah dan menghentikan perang, Netanyahu buru-buru menyatakan bahwa ‘Israel’ “sangat, sangat dekat untuk mencapai tujuannya” dan akan segera mengakhiri konflik.
Tentu saja, semua ini bukanlah kemenangan yang nyata atas Iran, melainkan hanya persepsi kemenangan yang ingin ditegakkan Netanyahu, dengan bantuan Presiden AS Donald Trump, dalam benak publik ‘Israel’, Amerika, dan dunia.
Sejak 7 Oktober 2023, Netanyahu memang putus asa mencari sesuatu yang bisa disebut sebagai kemenangan atas musuh-musuhnya. Meski ia berkali-kali mengklaim telah menang di Gaza, Lebanon, Yaman, bahkan Iran sekalipun, semua bukti justru menunjukkan sebaliknya.
Bahkan Gaza, yang dianggap sebagai mata rantai terlemah, ternyata menjadi medan perang yang luar biasa tangguh. Selama lebih dari 625 hari perang, ‘Israel’ tak berhasil meraih apapun kecuali mencatat sejarah genosida paling brutal terhadap rakyat Palestina.
Namun, perhitungan Netanyahu lagi-lagi tak ada artinya, bukan hanya karena Iran berhasil memberikan serangan penutup yang menentukan, tetapi karena rakyat Palestina di Gaza masih punya suara.
Perlawanan Paling Mematikan
Pada 24 Juni, satu atau dua pejuang Palestina melancarkan salah satu operasi perlawanan paling berani dan mematikan terhadap tentara ‘Israel’ di Khan Yunis.
Awalnya, laporan dari media Arab dan Timur Tengah terdengar berlebihan, bahkan samar. Berita menyebut puluhan tentara ‘Israel’ tewas dan terluka dalam serangan yang menargetkan satu atau lebih kendaraan militer ‘Israel’.
Namun tak lama kemudian, media ‘Israel’ ikut memberitakan, dan tampaknya membenarkan laporan dari media Arab tersebut.
Besarnya dampak serangan itu membuat rencana euforia kemenangan mendadak hilang dari publik ‘Israel’, berbanding terbalik dengan perayaan besar-besaran di Teheran dan kota-kota Iran lainnya. Netanyahu pun tampil gugup dan tegang saat berbicara tentang “kemenangan bersejarah”, dengan gestur yang justru lebih mirip pengumuman kekalahan.
Sikap itu mungkin dipicu oleh respons Iran yang terus berlangsung hingga detik-detik terakhir sebelum gencatan senjata diumumkan.
Namun, jika melihat rincian yang muncul belakangan, nada muram dalam pernyataan kemenangan Netanyahu tampaknya lebih terkait dengan insiden di Khan Yunis.
Radio tentara ‘Israel’ melaporkan bahwa sebuah kendaraan tempur lapis baja jenis Puma, milik pasukan teknik tempur ‘Israel’, terbakar hebat setelah terjadi ledakan besar sekitar pukul 17.30 waktu setempat di Khan Yunis.
Penyelidikan awal menunjukkan bahwa seorang pejuang perlawanan Palestina mendekati kendaraan tersebut dan menempelkan alat peledak. Bom itu meledak, membakar kendaraan dan menjebak para tentara di dalamnya.
Kamera, Al-Quran, dan Kobaran Api
Seolah itu belum cukup, Brigade Al-Qassam, merilis video berdurasi lima menit yang memperlihatkan detik demi detik jalannya operasi di timur Khan Yunis.
Yang paling mengejutkan: operasi ini terjadi tak jauh dari pagar pemisah Gaza-‘Israel’, wilayah yang telah diduduki ‘Israel’ sejak awal serangan ke selatan Gaza berbulan-bulan lalu.
Video itu menunjukkan para pejuang Palestina menguasai penuh medan pertempuran. Ada beberapa kamera yang merekam, para pejuang bercakap, menyampaikan pernyataan politik, mengutip ayat-ayat Al-Qur’an, dan bersumpah bahwa pertempuran takkan berhenti sebelum tentara Israel angkat kaki.
Puncaknya, seorang pejuang Al-Qassam menjatuhkan alat peledak jenis Shawath ke dalam palka kendaraan, lalu mundur. Dari jarak dekat, para pejuang menonton saat kendaraan Puma terbakar dan para tentara ‘Israel’ di dalamnya menjerit-jerit.
Laporan media ‘Israel’ menyebut mayat para tentara yang hangus baru bisa dievakuasi beberapa jam kemudian, dan upaya pemadaman gagal dilakukan di lokasi karena situasi terlalu berbahaya. Baru setelah kendaraan itu ditarik ke sisi ‘Israel’, api bisa dipadamkan. Ini menunjukkan bahwa bahkan dengan kekuatan militer besar dan ribuan tentara di lokasi, ‘Israel’ tetap gagal menciptakan zona aman untuk evakuasi.
Runtuhnya Narasi Kemenangan
Di ‘Israel’, wacana kemenangan yang sebelumnya ramai menyambut Operasi Gideon Chariots kini meredup. Operasi tersebut diklaim sebagai pukulan terakhir terhadap perlawanan, sekaligus jalan menuju pendudukan penuh Gaza dan pembersihan etnis rakyatnya.
Namun operasi di Khan Yunis, dan satu lagi beberapa jam sebelumnya di Jabaliya, menjadi bukti bahwa Gideon Chariots, seperti rencana-rencana militer sebelumnya, telah gagal total.
Kini pertanyaannya: apakah Netanyahu dan para menterinya yang ekstremis masih menyimpan jurus lain, ataukah mereka akhirnya sadar bahwa genosida dan kelaparan pun tak akan mampu memadamkan semangat perlawanan rakyat Gaza? (zarahamala/arrahmah.id)