Oleh Rosita
Pegiat Literasi
Kasus kekerasan terhadap anak ibarat fenomena gunung es yang kian hari semakin meningkat, ini pun yang terekspos media, sebaliknya yang luput dari pemberitaan diduga lebih banyak. Seperti yang terjadi pada kisah tragis yang dialami anak berusia 2 tahun di Riau Kabupaten Kuantan Singingi (kuansing). Balita itu tewas akibat kekerasan yang dilakukan oleh pengasuhnya, karena ibu dari bayi tersebut terpaksa menitipkan anaknya karena kesibukan kerja setelah berpisah dengan suaminya. Dan yang lebih miris lagi penyiksaan tersebut diabadikan dalam bentuk rekaman video. (Kompas.com 14/6/2025)
Menurut data KEMENPPPA kekerasan terhadap anak di tahun 2024 terus mengalami peningkatan, jumlah kasus mencapai 19.628 kasus dan jumlah korbannya 21.648 orang, sedangkan jenis kekerasan tertinggi adalah kasus seksual ⁸yaitu 11.771 korban dan para pelakunya adalah mereka yang terdekat dengan korban seperti pacar, teman atau orang tua. Untuk tempat kejadian paling tinggi terjadi di rumah tangga yakni sebesar 11.120 korban. (SIGA KEMENPPPA, 2025-03-20)
Berdasarkan kasus penganiayaan dan data di atas, kekerasan terhadap anak baik fisik maupun seksual, termasuk kasus inses ternyata banyak dilakukan oleh anggota keluarga bahkan tempat kejadian dilakukan dalam rumah. Kekerasan di lingkungan keluarga dipengaruhi dengan berbagai faktor di antaranya ekonomi, emosi yang tidak terkendali, kerusakan moral hingga iman yang lemah serta juga lemahnya pemahaman akan fungsi dan peran sebagai orang tua. Begitu pula yang di sampaikan oleh Menteri PPPA Arifah Fauzi pola asuh dalam keluarga menjadi salah satu penyebabnya. (detiknews, 17/6/2025)
Tidak bisa dipungkiri himpitan ekonomi saat ini hampir merambah ke berbagai kalangan masyarakat, dengan adanya PHK massal dimana-mana, sulitnya mendapatkan pekerjaan kian menambah beban rakyat yang seakan tiada henti termasuk mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, hingga berbagai pajak yang mengalami kenaikan. Dengan situasi seperti ini tidak sedikit orang tua dengan iman yang lemah mudah tersulut emosi sehingga tak segan menyiksa dan menelantarkan anak, bahkan sampai melakukan kekerasan seksual.
Hal tersebut pun diperparah dengan adanya pergaulan bebas, narkoba, geng motor, perzinaan, penganiayaan, dan juga tontonan yang tidak pantas untuk konsumsi publik terutama anak. Dalam kondisi seperti ini, dibutuhkan peran sinergis dari individu, lingkungan (masyarakat), serta negara. Penguasa (negara) harus lebih peka dan memahami akar permasalahan yang ada saat ini, sehingga permasalahan kekerasan terhadap anak tidak terus berulang.
Persoalan kekerasan terhadap anak bukan hanya lepasnya tanggung jawab negara, melainkan ideologi kapitalis sekuler yang menjadi landasan negara. Dimana setiap kebijakan yang diambil hanya berdasarkan kemaslahatan. Hukum yang diberlakukan bagi para pelaku kekerasan seksual sebatas kurungan penjara atau bahkan bebas jika pelaku mampu membayar hukum. belum lagi adanya amnesti ataupun remisi. Hal seperti inilah yang tidak akan membuat jera para pelaku kejahatan.
Berbagai lembaga telah dibentuk, bahkan undang-undang telah disahkan untuk melindungi anak dari kekerasan dan tentang pembangunan keluarga. Namun nyatanya semua itu tidak mampu menuntaskan persoalan kekerasan pada anak, sebab lembaga atau undang-undang tersebut dibangun berdasarkan kemanfaatan sehingga tidak menyentuh akar permasalahan yang ada saat ini.
Sistem sekuler kapitalis jelas tidak akan mampu menyelesaikan persoalan yang ada saat ini secara menyeluruh, karena sistem ini menampik aturan agama dalam kehidupan. Agama dianggap menghambat kemajuan zaman, dan sudah tidak relevan lagi jika dijadikan solusi untuk semua permasalahan yang ada. Lalu sistem apa yang benar-benar mampu untuk menyelesaikan setiap persoalan yang ada saat ini?
Islam menjamin keamanan dan kesejahteraan seluruh warga negara tak terkecuali anak-anak, baik meliputi moral, ekonomi, fisik, psikis, intelektual, dan yang lainnya. Dalam Islam, kewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak yakni ada tiga. Pertama, keluarga sebagai madrasah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus memiliki visi dan misi yang sama dalam mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga akidah mereka. Ayah wajib menafkahi istri dan juga anaknya, sedangkan perempuan boleh beraktivitas di luar rumah, tetapi setelah tugasnya sebagai ibu dan pengatur rumah telah ditunaikan secara sempurna. Karena mencari nafkah tidak diwajibkan atas mereka sehingga mereka bisa berkonsentrasi penuh menjalankan kewajiban mengurus dan mengasuh anak-anak.
Kedua, lingkungan. Dalam hal ini, masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat dalam sistem Islam mereka yang memiliki perasaan, pemahaman dan juga sanksi yang sama yakni Islam, maka masyarakat Islam melakukan mengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Dengan penerapan sistem sosial Islam, masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun.
Ketiga, negara sebagai pengurus utama. Negara tidak akan membiarkan para orang tua khususnya ayah melalaikan tanggung jawabnya sebagai qawwam (pemimpin keluarga), sebagai pencari nafkah maupun memberi perlindungan bagi seluruh anggota keluarga. Penguasa akan menyediakan pelatihan-pelatihan sesuai dengan kemampuan seseorang, sehingga ketika mereka terjun ke dunia kerja maupun bisnis sudah menguasai ilmu di bidangnya. Negara juga akan menyediakan lapangan pekerjaan bagi para lelaki dewasa, sedangkan para wanita, meski hukum bekerja bagi mereka adalah mubah tapi jika bekerja pun tidak boleh melalaikan tugas utamanya di rumah. Yaitu ummu warabatul bayt dan pencetak generasi peradaban.
Selain itu negara wajib memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi setiap anak. Penerapan sistem pendidikan yang menerapkan Islam berkualitas dan bebas biaya akan mengakomodasi setiap anak dapat bersekolah hingga jenjang pendidikan tinggi. Sistem pendidikan Islam mampu membentuk generasi berkepribadian Islam dan berakhlak mulia.
Negara akan memberlakukan sanksi tegas terhadap siapapun yang melanggar hukum syarak seperti sanksi terhadap pelaku kekerasan seksual yakni sesuai dengan firman Allah SWT. “Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin”. (QTS. An-Nur ayat 2)
Adapun jika para pelaku kekerasan seksual sudah menikah maka dia akan didera sampai mati. Dengan sanksi ini, Islam bermaksud mewujudkan rasa aman dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Selain membuat efek jera bagi para pelaku kejahatan, penerapan sanksi ini pun akan membentuk keluarga dan masyarakat yang bertakwa. Oleh karena itu sudah menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam memperjuangkan tegaknya aturan Allah dan RasulNya jika ingin masalah kriminal dan kekerasan seksual bisa segera diatasi .
Wallahua’lam bis shwawab