Oleh Ummu Kholda
Pegiat Literasi
Beberapa waktu lalu publik dihebohkan oleh keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian melalui Kepmendagri No 300.2.2-2138/2025 yang terbit pada 25 April 2025 menetapkan bahwa empat pulau yakni Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang (besar), dan Mangkir Ketek (kecil) menjadi bagian dari Tapanuli Tengah, Sumatera Utara (Sumut). Sontak keputusan ini menuai polemik, terutama masyarakat Aceh yang kehilangan wilayahnya secara sepihak. Pasalnya, selama ini empat pulau tersebut menjadi wilayah administrasi Aceh Singkil.
Selain menimbulkan polemik, keputusan Mendagri tersebut juga memunculkan berbagai persepsi, baik di masyarakat maupun di lembaga pemerintahan. Salah satunya adalah anggota DPR asal Aceh, Muslim Ayub yang secara tegas meyakini polemik empat pulau itu berkaitan dengan adanya cadangan minyak dan gas (migas) di sana. Muslim menilai potensi cadangan migas inilah yang menjadi alasan utama Kemendagri mengubah batas wilayah dari Aceh menjadi Sumut. (CNN Indonesia.com, 15/6/2025)
Menanggapi kisruhnya posisi empat pulau, Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution pun berinisiatif mengajak Pemprov Aceh untuk bekerja sama mengelola empat pulau tersebut. Namun Gubernur Aceh Muzakir Manaf menolak dan menjelaskan bahwa keempat pulau itu merupakan hak dan kewenangan Aceh secara geografis dan perbatasan. Ditambah lagi secara historis juga kuat, merujuk pada Undang-Undang No 24/1956 dan perjanjian Helsinki Tahun 2005, sehingga tidak perlu lagi diperdebatkan. (Kompas.com, 14/6/2025)
Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto merasa harus turun tangan menghadapi situasi menegangkan antara dua provinsi tersebut. Dalam rapat tertutup di istana, Selasa (17/6/2025), pemerintah memutuskan keempat pulau itu masuk ke wilayah Aceh Singkil. Keputusan ini dibuat setelah pertemuan dengan beberapa pejabat, di antaranya Mendagri Tito Karnavian dan Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Meski demikian masyarakat tetap harus waspada dan kritis, karena tidak menutup kemungkinan kasus seperti ini terjadi di pulau-pulau lainnya.
Aroma Kepentingan di Balik Perebutan Empat Pulau
Perebutan pulau antara kedua provinsi yakni Aceh dan Sumut sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya pernah terjadi sengketa antara Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) dan Provinsi Jambi terkait Pulau Berhala yang berada di Laut Natuna Utara dengan luas 2,5 km persegi. Kasus lainnya terjadi antara Indonesia dan Malaysia terkait kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang terletak di timur laut Pulau Kalimantan.
Ketiga pulau itu dianggap memiliki nilai ekonomi yang tinggi, yakni kaya akan sumber daya alam (SDA) terutama minyak dan potensi pariwisata. Hal ini menjadi alasan kuat perebutan pulau-pulau itu, karena dapat mendongkrak perekonomian daerah. Karena bagaimanapun dalam kacamata kapitalisme, SDA yang melimpah sangat menggiurkan dan sayang jika harus diabaikan, sehingga dengan sifat rakusnya para penguasa kapitalis berusaha memiliki dan menguasainya, meskipun harus menempuh segala cara.
Selain itu, polemik keempat pulau ini diakibatkan atau dipengaruhi konsep otonomi daerah (Otda). Konsep yang muncul dari dan di bawah kerangka sistem demokrasi kapitalisme ini memberi kewenangan kepada masing-masing daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya sekaligus mengatur pendapatan daerahnya. Maka tak heran jika terdapat perbedaan taraf hidup rakyat di masing-masing daerah sehingga jamak dikenal istilah ‘provinsi kaya’ terutama bagi provinsi-provinsi yang banyak memiliki cadangan SDA minyak. Konsep Otda juga berpotensi memicu kecemburuan sosial terhadap suatu daerah terutama yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) tinggi.
Lebih buruk lagi, kondisi seperti ini dapat memicu disintegrasi, terutama ketika sudah tampak jelas kesenjangan antar daerah dan menimbulkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat di masing-masing daerah. Terlebih jika SDA di daerah yang bersangkutan terus diambil oleh pemerintah tanpa ada kompensasi sepadan yang dikembalikan ke daerah asal, seperti yang terjadi di Papua.
Selain beberapa sebab di atas, perebutan empat pulau diduga kuat ada aroma kepentingan dan bisnis para kapital. Karena dalam paradigma kapitalis, setiap tindakan dan proyek industri yang digarap harus menguntungkan secara ekonomi. Mereka tidak akan mau mengambil pulau jika isinya hanya ikan atau biota laut saja. Maka selain letaknya yang sangat strategis, kemungkinan besar empat pulau yang diperebutkan itu terdapat “sesuatu” yang menggiurkan di dalamnya. Apakah berupa tambang minyak, gas, atau lainnya yang banyak diprediksi sejumlah kalangan. Jika benar, tentu menjadi ladang bisnis yang cukup besar dalam jangka panjang. Ditambah lagi potensi cuan dari aset pariwisata pulau-pulau tersebut juga cukup potensial.
Mekanisme Pemerintahan dalam Islam
Islam menetapkan sistem pemerintahan harus tegak di atas landasan akidah Islam dan hukum-hukum syariat, di mana sistem pemerintahannya berbentuk kesatuan dan bukan federasi ataupun semi federasi, yang dalam konteks Indonesia disebut dengan otonomi daerah; serta bersifat sentralisasi atau terpusat, dengan penguasa tertinggi di pusat. Semua pengaturan kebijakannya berada di tangan kepala negara (khalifah). Kepala negara bertanggung jawab di semua wilayah, baik wilayah itu kaya akan SDA atau tidak, yang jelas negara harus memastikan semua kebutuhan rakyatnya terpenuhi. Terutama kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, dan papan, juga kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan begitu kesejahteraan pun dapat dinikmati seluruh warga negara.
Selain itu, sistem ini juga dapat menutup celah bagi para pejabat wilayah untuk berbuat kecurangan atau kemaksiatan lainnya karena kewenangan bersifat tertentu (khusus). Mereka tidak diberikan kewenangan untuk menangani hal-hal yang terkait militer, keuangan, serta peradilan. Ditambah lagi sikap para pejabatnya yang penuh ketakwaan dan ketaatan kepada Allah Swt. akan takut berbuat hal yang akan merugikan rakyat dan negara. Tidak terbersit sedikitpun dalam hal perebutan wilayah dengan alasan apapun, termasuk mendukung pihak manapun atau investor asing yang akan melakukan intervensi terhadap negara Islam. Apalagi sampai ada upaya melepaskan diri atau disintegrasi. Islam akan memberikan sanksi yang tegas pada pihak-pihak yang melakukan demikian.
Adapun mengenai wilayah-wilayah yang kaya akan SDA, maka wilayah tersebut tidak lantas memiliki posisi eksklusif sebagai provinsi kaya yang akan berpotensi terciptanya kesenjangan di antara provinsi lainnya, sehingga memicu perebutan wilayah di antara keduanya. Hal demikian pernah terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab ra. di mana saat itu terjadi musim paceklik di Madinah. Kemudian Khalifah Umar menulis surat kepada walinya di sejumlah wilayah untuk meminta pertolongan, yakni kepada ‘Amru bin al-Ash ra., wali beliau di Mesir, Muawiyah bin Abi Sufyan ra. di Damaskus, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah ra. di Palestina dan Saad bin Abi Waqqash ra. di Irak. Mereka segera mengirimkan bantuannya, berupa bahan makanan dan keperluan rakyat lainnya dengan unta-unta mereka.
Semua ini menunjukkan besarnya solidaritas di kalangan kaum muslimin dan menegaskan pentingnya kesatuan kepemimpinan di bawah naungan khilafah. Tidak ada kesenjangan apalagi saling berebut wilayah. Sebagaimana sabda Rasul saw. yang artinya: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Muslim)
Selain itu, sistem pemerintahan Islam juga tidak mengenal batas-batas teritorial secara permanen, karena hukum mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia adalah kewajiban negara Islam, sehingga dengan dakwah maka wilayah akan semakin meluas dan otomatis batas teritorial juga akan berubah. Tak hanya itu, Rasulullah saw. juga pernah mengingatkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Arfajah yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang datang kepada kalian, sedangkan urusan kalian berkumpul di tangan seseorang (khalifah), kemudian ia hendak merobek kesatuan kalian dan memecah belah jemaah kalian maka bunuhlah.” Hadis ini semakin menegaskan larangan memecah belah dan membagi-bagi negara dan tidak ada toleransi untuk hal tersebut, termasuk upaya melepaskan diri atau disintegrasi.
Tersebab itu, khalifah sebagai penanggung jawab kenegaraan bertugas sangat besar dalam mengurus umat-Nya dan tidak boleh menyimpang dari hukum syarak. Rasul saw. bersabda: “Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR. Al-Bukhari)
Dengan mekanisme seperti ini, di mana khalifah menjalankan perannya sebagai kepala negara sekaligus pengurus rakyat niscaya negara akan aman, tidak terjadi kekisruhan perebutan wilayah, SDA maupun perselisihan antar umat yang mengantarkan pada perpecahan hingga disintegrasi. Pengaturan ini akan terlaksana jika ada institusi pendukung yakni negara yang menerapkan aturan Islam secara kafah (menyeluruh).
Wallahu a’lam bis shawab