Oleh Novi Widiastuti
Pegiat Literasi
Di ujung barat Nusantara, empat pulau kecil di tengah birunya lautan tiba-tiba menjadi titik api perdebatan yang menyala hingga ke meja kekuasaan. Bukan sekadar gugusan daratan tak berpenghuni, keempat pulau itu adalah Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek yang menjadi simbol pertaruhan harga diri dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara.
Kisruh ini dipicu oleh keluarnya Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan keempat pulau itu sebagai milik Sumatera Utara dan mencabut status lamanya sebagai bagian dari Aceh. Publik pun bergolak, menyoroti keputusan ini sebagai babak baru dari konflik perbatasan yang telah membara selama puluhan tahun. (Kompas.com ,16 Juni 2025)
Anggota DPR dari Aceh, Muslim Ayub, meyakini sengketa kepemilikan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara dipicu oleh potensi besar minyak dan gas di kawasan tersebut. Ia menuding Kemendagri sengaja mengalihkan batas wilayah ke Sumut demi mengejar sumber daya alam.
Sementara itu, Gubernur Sumut Bobby Nasution mengusulkan kerja sama dengan Aceh dalam pengelolaan pulau-pulau itu. Namun, Gubernur Aceh Muzakir Manaf menolak, menegaskan bahwa pulau-pulau tersebut secara geografis, administratif, dan historis merupakan bagian dari Aceh, merujuk pada UU 24/1956 dan Perjanjian Helsinki 2005. Ia menilai hak Aceh atas wilayah itu tak perlu dipersoalkan lagi.
Sebagai respons tegas di saat-saat genting, Presiden Prabowo mengambil keputusan politik dengan menetapkan bahwa keempat pulau tersebut secara administratif tetap berada dalam wilayah Provinsi Aceh, merujuk pada dokumen dan data resmi milik negara. (DetikNews, 17/06/2025)
Tapi publik tak serta-merta tenang. Justru, keputusan ini menjadi pemantik diskusi yang lebih dalam, mengapa hingga hari ini, batas wilayah di negeri kepulauan seperti Indonesia masih menjadi sumber konflik yang tak kunjung padam?
Bukan Sekadar Batas, Tapi Simbol Kegagalan Sistem
Kisruh ini bukan yang pertama. Dan tampaknya tidak akan menjadi yang terakhir selama sistem pemerintahan kita masih menjadikan wilayah sebagai objek kompetisi, bukan amanah untuk dipelihara bersama.
Sebagai negara kepulauan dengan ribuan pulau tersebar, seharusnya kita sudah memiliki sistem pemetaan dan pengelolaan wilayah yang kokoh, adil, dan transparan. Namun kenyataannya, konflik batas antarprovinsi, kabupaten, hingga desa masih marak, dan tak jarang menimbulkan friksi sosial-politik.
Dorongan ekonomi, keinginan menguasai sumber daya alam, dan semangat otonomi yang menonjolkan kemandirian fiskal kerap memperuncing ketegangan. Ketika sebuah wilayah dipandang semata sebagai sumber keuntungan, bukan sebagai amanah untuk dijaga, maka batas wilayah bisa berubah menjadi sumber konflik yang mengancam persatuan dan rasa persaudaraan antar daerah.
Sistem Otonomi Daerah (OTDA) yang semula dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan kepada rakyat, dalam praktiknya sering menjadi panggung kompetisi antarwilayah. Setiap daerah didorong untuk menggali potensi dan bersaing merebut investasi.
Akibatnya, setiap jengkal tanah terutama yang strategis atau kaya sumber daya bisa menjadi titik rebutan. Tak heran jika keputusan administratif atas empat pulau kecil di ujung barat Nusantara bisa menyulut polemik nasional. Karena dalam sistem ini, batas wilayah bukan hanya simbol kekuasaan, tapi juga tiket ekonomi dan politik.
Konflik perbatasan semacam ini menunjukkan wajah asli dari sistem yang rapuh yakni demokrasi-kapitalis, sistem yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan administrasi dibanding rasa keadilan dan ukhuwah. Ketika pendapatan asli daerah (PAD) menjadi parameter sukses daerah, maka potensi konflik horizontal antarprovinsi, antarkabupaten, bahkan antardesa menjadi keniscayaan. Inilah harga mahal dari sistem desentralistik yang memfragmentasi bangsa.
Menghapus Sekat, Menyatukan Umat dengan Tata Kelola Islam yang Visioner
Islam memiliki cara pandang yang berbeda dan jauh lebih visioner. Islam menghapus sekat-sekat buatan yang memecah umat berdasarkan garis geografis, etnisitas, dan kepentingan ekonomi lokal.
Dalam sistem Islam, wilayah tidak dipandang sebagai unit kompetitif, tapi sebagai bagian dari satu tubuh besar umat Islam yang disatukan oleh aqidah dan kepemimpinan tunggal, yakni Khilafah. Negara Islam bukan sekadar alat administratif, tapi institusi ideologis yang memelihara umat dan menjaga kesejahteraan mereka secara menyeluruh.
Dalam Khilafah, seluruh sumber daya alam bukanlah milik daerah, melainkan milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang dikelola oleh negara untuk kepentingan seluruh rakyat, baik yang tinggal di pusat maupun di pelosok. Tidak ada daerah tertinggal karena keterbatasan PAD, sebab seluruh pendapatan dikelola secara terpusat dan dialokasikan berdasarkan kebutuhan dan kemaslahatan, bukan berdasarkan kontribusi ekonomi semata.
Penguasa dalam Islam bukanlah elite politik yang menjadikan wilayah sebagai komoditas kekuasaan, tetapi pelayan umat (raa’in) sekaligus perisai (junnah) yang bertanggung jawab di hadapan Allah Swt., Sebagaimana hadis Rasulullah saw.,
“imam (penguasa) adalah pemimpin atas rakyatnya dan akan dimintai pertanggungjawaban atas mereka” (HR. Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829)
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu adalah junnah (perisai); di belakangnya orang-orang berperang dan dengannya mereka berlindung.”(HR. Bukhari no. 2957 dan Muslim no. 1841)
Penguasa bukan hanya dituntut untuk adil secara hukum, tapi juga adil dalam mendistribusikan kesejahteraan, membangun infrastruktur, serta menjaga persatuan umat dari segala potensi perpecahan.
Tata kelola Islam bukan utopia masa lalu, tetapi kebutuhan masa kini. Ketika negeri-negeri Muslim terus terjebak dalam konflik perbatasan, krisis sumber daya, dan ketimpangan antarwilayah, maka sudah saatnya kita melihat ke arah sistem yang telah terbukti mampu menyatukan lebih dari dua pertiga dunia dengan keadilan dan harmoni.
Kini adalah momen terbaik bagi kita untuk bangkit dan meruntuhkan batas-batas semu yang diwariskan oleh penjajahan dan terus dipelihara oleh sistem demokrasi-sekuler. Sudah saatnya umat bersatu dalam satu tatanan kehidupan yang adil, menyatukan kekuatan, dan membawa keberkahan bagi seluruh wilayah yakni sistem pemerintahan Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.
Wallahua’lam bis shawwab