GAZA (Arrahmah.id) – Pakar militer Brigadir Jenderal Elias Hanna menjelaskan bahwa strategi perlawanan Palestina saat ini berfokus pada pertempuran di wilayah-wilayah yang jauh dari jantung Gaza. Ia juga mengungkap alasan di balik serangan terhadap Hummer milik ‘Israel’ dan kegagalan helikopter tempur dalam mengevakuasi para korban.
Komentar Hanna disampaikan kepada Al Jazeera setelah media-media ‘Israel’ melaporkan bahwa tiga tentara tewas dan sebelas lainnya luka-luka akibat serangan terhadap Hummer di wilayah Jabalia, utara Jalur Gaza.
Dalam konteks yang sama, Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, mengumumkan bahwa para pejuangnya terlibat dalam pertempuran jarak dekat dengan tentara pendudukan di sebelah timur kamp pengungsi Jabalia. Mereka mengklaim telah menimbulkan korban tewas dan luka di pihak ‘Israel’, sementara pertempuran masih terus berlangsung.
Hanna menjelaskan bahwa tidak menutup kemungkinan Hummer tersebut diserang di garis belakang pasukan ‘Israel’ atau di dekat pusat komando, karena kendaraan ini merupakan sasaran yang mudah dan dampaknya sangat menyakitkan bagi militer ‘Israel’, terbukti dari tiga tentara yang tewas dan sejumlah lainnya yang terluka.
Hummer merupakan simbol mobilitas dan kekuatan pasukan Zionis di medan tempur. Dengan menghancurkannya, Al-Qassam tidak hanya merusak peralatan militer musuh, tetapi juga memukul moral tentara ‘Israel’. Serangan ini membuktikan presisi intelijen dan kemampuan tempur pejuang Palestina, yang berhasil menembus pertahanan ‘Israel’. Hummer yang telah ditambahkan pelapis baja itu ternyata tidak mampu bertahan dari serangan rudal atau senjata anti-armor yang digunakan Al-Qassam.
Media ‘Israel’ sebelumnya melaporkan bahwa serangan di Jabalia merupakan hasil dari “penyergapan yang kompleks dan sulit”, dan menyebut bahwa korban tewas berasal dari Brigade Kesembilan.
Sumber-sumber tersebut juga melaporkan bahwa helikopter militer menembakkan peluru dalam jumlah besar di sekitar lokasi kejadian. Namun, upaya evakuasi para korban gagal akibat tembakan yang sangat intens. Bahkan, salah satu helikopter yang mencoba mengevakuasi luka-luka ikut menjadi sasaran tembakan.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan evakuasi tidak berhasil. Medan pertempuran di Jabaliya yang kompleks menyulitkan tim penyelamat ‘Israel’ bergerak dengan cepat. Selain itu, Al-Qassam mungkin telah mengacaukan komunikasi pasukan Zionis dengan gangguan sinyal atau bahkan melakukan serangan susulan untuk mencegah upaya evakuasi. Yang paling mencolok adalah kegagalan intelijen ‘Israel’, mereka ternyata tidak menyadari bahwa pergerakan pasukannya telah diendus oleh Al-Qassam.
Menurut Hanna, dalam jenis perang seperti ini, kekuatan kedua belah pihak menjadi lebih seimbang. Salah satu buktinya adalah tidak digunakannya jet tempur oleh militer ‘Israel’ karena pertempuran berlangsung dalam jarak yang sangat dekat, sehingga yang dikerahkan adalah helikopter.
Ia menambahkan bahwa dalam perang ini, helikopter biasanya bisa mendarat di zona-zona aman untuk mengevakuasi korban. Namun, ketidakmampuan helikopter untuk mendarat di Jabaliya menandakan bahwa wilayah itu tidak lagi aman.
Kelompok-kelompok perlawanan, kata Hanna, memang kerap menargetkan pasukan penyelamat atau unit evakuasi dalam penyergapan terhadap tentara dan kendaraan militer ‘Israel’. Hal ini diperparah oleh buruknya intelijen taktis ‘Israel’ yang gagal memastikan apakah suatu wilayah benar-benar aman.
Fakta bahwa ‘Israel’ tidak menggunakan jet tempur juga menunjukkan bahwa pertempuran terjadi dalam jarak sangat dekat, di mana daya ledak bom justru bisa membahayakan tentaranya sendiri melalui insiden “tembakan teman sendiri” atau friendly fire, menurut Hanna.
Setiap Hummer yang hancur adalah bukti bahwa pasukan Zionis tidak sekuat yang mereka klaim. Kegagalan evakuasi semakin mempermalukan ‘Israel’, menunjukkan bahwa sistem darurat mereka tidak siap menghadapi perlawanan di Gaza. Bagi pejuang Palestina, ini adalah kemenangan taktis sekaligus psikologis, membuktikan bahwa di tanah Gaza, merekalah yang menguasai medan pertempuran.
Strategi ‘Israel’
Mengenai perluasan skala operasi militer ‘Israel’, Hanna menjelaskan bahwa tujuan militer ‘Israel’ adalah menguasai sekitar 75% wilayah Gaza, untuk memaksa pejuang perlawanan kehilangan pijakan dan menekan ruang gerak mereka, sementara sekitar 25% wilayah sisanya dibiarkan untuk warga Gaza.
Karena itu, strategi perlawanan justru mengarah ke wilayah-wilayah yang lebih jauh seperti Beit Lahia, Beit Hanoun, dan Jabaliya di utara, hingga ke lingkungan Shuja’iyya di timur Gaza dan Khan Yunis di selatan. Tujuannya adalah memperpanjang waktu perlawanan dan menguras sumber daya militer ‘Israel’.
Menurut analisis Hanna, wilayah Jabalia sendiri telah menjadi lokasi sekitar 50 operasi terhadap militer ‘Israel’, termasuk serangan bom bunuh diri dan serangan dengan senjata tajam.
Ia menegaskan bahwa menembus jantung Gaza bukanlah hal yang mudah bagi ‘Israel’. Karena itu, rencana mereka untuk menduduki 75% wilayah Gaza akan datang dengan biaya besar, baik dalam hal korban maupun kekuatan militer yang harus dikerahkan.
Awal bulan ini, Kepala Staf Angkatan Bersenjata ‘Israel’ mengumumkan bahwa ia telah memerintahkan perluasan operasi militer ke wilayah-wilayah tambahan di bagian utara dan selatan Jalur Gaza.
Setiap kali kendaraan lapis baja ‘Israel’ meledak, ketakutan akan semakin tertanam di benak pasukan Zionis. Sementara itu, dunia melihat sendiri bahwa perlawanan Palestina bukanlah kelompok sembarangan, melainkan kekuatan terlatih yang mampu menghadapi salah satu militer terkuat di dunia. Ini adalah pesan tegas: Gaza akan terus menjadi kuburan bagi ambisi militer ‘Israel’. (zarahamala/arrahmah.id)