RUSIA (Arrahmah.id) — Serangan besar-besaran Ukraina terhadap empat pangkalan udara Rusia telah mengubah lanskap perang secara dramatis. Serangan ini disebut-sebut sebagai yang paling dalam dan paling menghancurkan sejak pecahnya perang antara kedua negara, memicu gelombang reaksi luas di media sosial, termasuk perbandingan dengan serangan Pearl Harbor yang mengubah jalannya Perang Dunia II.
Dengan menggunakan 117 drone FPV (First Person View) yang dipandu oleh kecerdasan buatan (AI), Ukraina berhasil menghantam instalasi militer strategis Rusia yang berjarak hingga 4.000 kilometer dari perbatasan. Operasi ini, yang dinamai “Jaring Laba-laba”, diluncurkan dalam tiga gelombang terkoordinasi dan disebut-sebut sebagai operasi intelijen militer paling kompleks dan berani selama konflik berlangsung.
Namun yang paling mengejutkan bukan hanya dampaknya, melainkan bagaimana serangan ini dilakukan. Berdasarkan laporan lapangan dan sumber media sosial, drone-drone tersebut tidak diluncurkan dari Ukraina, melainkan dari truk-truk sipil yang telah disusupkan ke wilayah Rusia. Saat waktu penyerangan tiba, atap truk otomatis terbuka dan drone melesat keluar dengan presisi tinggi, menyerang target-target militer Rusia secara langsung.

Akibatnya, lebih dari 40 pesawat militer hancur, termasuk di antaranya pembom strategis Tu-95 dan Tu-22—jenis pesawat yang selama ini digunakan Moskow untuk meluncurkan rudal jarak jauh ke jantung Ukraina.
Rusia belum mengakui kerugian secara menyeluruh, dan menyatakan tidak ada korban jiwa. Namun, Moskow mengancam akan memberikan balasan yang menghancurkan terhadap Kyiv dan kota-kota utama Ukraina. Para pengamat militer memperkirakan balasan itu bisa berupa serangan rudal besar-besaran, bahkan tak menutup kemungkinan penggunaan senjata nuklir taktis di kawasan timur Ukraina sebagai aksi “balas dendam”.
Sejumlah pihak menilai serangan ini sebagai bagian dari strategi intelijen Ukraina yang didukung elemen Barat, untuk mendorong Moskow kembali ke meja perundingan dengan posisi lemah. Padahal, pada hari yang sama, Rusia sempat menyerukan dimulainya kembali negosiasi damai di Istanbul.
Reaksi warganet dan pengamat militer tak kalah keras. Beberapa menyebut serangan ini sebagai versi modern Pearl Harbor, mengingat dampaknya yang luar biasa dalam mengoyak kebanggaan militer Rusia. Ada pula yang mempertanyakan kemampuan intelijen Rusia, karena tidak mendeteksi penyusupan truk-truk peluncur drone ke dalam wilayah mereka—suatu hal yang dinilai sangat memalukan bagi institusi sekelas FSB atau GRU.
“Kecerdasan buatan tidak lagi sekadar gagasan masa depan—sekarang ia adalah prajurit nyata di medan perang,” tulis seorang analis teknologi pertahanan di platform X (Twitter).
Sementara itu, NATO mulai meningkatkan status siaga militernya, di tengah kekhawatiran bahwa eskalasi ini dapat menyeret aliansi Barat secara langsung ke dalam konflik, apalagi dengan menurunnya antusiasme dukungan militer Amerika Serikat dalam beberapa bulan terakhir.
Dengan demikian, serangan Ukraina ini bukan hanya menimbulkan kerugian besar bagi militer Rusia, tetapi juga membuka babak baru dalam penggunaan AI dalam peperangan modern—dan memperbesar bayang-bayang konflik global yang lebih luas.
(Samirmusa/arrahmah.id)