GAZA (Arrahmah.id) – Tragedi memilukan kembali menyelimuti Rafah. Warga Palestina menyebut serangan brutal terbaru di loka.si distribusi bantuan sebagai “Pembantaian Witkoff”, menuding utusan khusus AS, Steven Witkoff, sebagai otak di balik jebakan mematikan yang dikemas dengan bendera kemanusiaan.
Serangan itu terjadi pada Ahad dini hari (1/6/2025). Pasukan ‘Israel’, dibantu perusahaan keamanan swasta Amerika, menembaki warga sipil kelaparan yang berkumpul di sekitar pusat bantuan yang dipimpin AS di Rafah. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sedikitnya 31 orang tewas di Rafah, dan lebih dari 200 lainnya terluka.
Di jembatan Wadi Gaza, peristiwa serupa terulang. Pasukan ‘Israel’ kembali melepaskan tembakan ke arah warga sipil yang mendekati titik distribusi bantuan lainnya. Satu orang tewas, 32 lainnya luka-luka.
Sejak pusat-pusat bantuan ini mulai beroperasi pada 27 Mei, jumlah korban tewas telah mencapai 49 orang, dengan lebih dari 305 korban luka.
Bantuan yang Menjadi Teror
Pengamat politik Palestina Abdullah Aqrabawi menyerukan agar dunia menyebut tragedi ini dengan nama yang pantas: Pembantaian Witkoff. Menurutnya, Witkoff, yang ditunjuk Donald Trump sebagai utusan Timur Tengah, menggunakan kedok bantuan kemanusiaan untuk memeras informasi terkait tahanan ‘Israel’ di Gaza. “Ini bukan bantuan. Ini jebakan. Ini terorisme yang dibungkus dengan bantuan,” ujar Aqrabawi.
Peneliti media Younis Abu Jarad menambahkan bahwa pusat distribusi tersebut sejak awal tidak pernah dirancang untuk membantu warga sipil. “Israel mengubah roti menjadi darah, dan bantuan menjadi penyergapan,” tegasnya.
Jurnalis dan analis politik Dr. Eyad Al-Qarra menggambarkan suasana memilukan malam itu, ratusan pengungsi berjalan dalam gelap menuju titik bantuan Amerika di Rafah, berharap mendapatkan sekotak makanan. Namun, saat pagi menjelang, 35 di antara mereka telah menjadi mayat, dan lebih dari 100 terluka.
Rekaman video yang beredar memperlihatkan anak-anak berteriak, mayat yang diangkut dengan gerobak, dan karung-karung tepung yang berlumur darah.
Rencana Bantuan yang Jadi Mesin Pembunuh
Warga Gaza kini menyebut apa yang disebut sebagai “rencana bantuan Witkoff” sebagai mesin pembunuh massal. Mereka juga mengecam negara-negara Arab yang tetap menutup perbatasan Rafah, menuduh mereka ikut membiarkan kelaparan dan pembantaian berlangsung.
“Kelaparan bukan satu-satunya pembunuh,” kata Al-Qarra. “Tapi juga peluru sniper AS-‘Israel’ yang menunggu di gerbang bantuan palsu.”
Seruan agar perbatasan Rafah dibuka tanpa syarat kini bergema di Gaza dan Mesir, menyuarakan tuntutan untuk mengakhiri apa yang mereka sebut sebagai perang yang terencana atas tekad dan rasa lapar rakyat Gaza.
Penolakan Gencatan Senjata
Ironisnya, sehari sebelum pembantaian di Rafah, Steven Witkoff menolak proposal gencatan senjata dari Hamas, padahal hanya ada sedikit revisi, termasuk satu klausul penting: menjadikan penghentian genosida ‘Israel’ sebagai kewajiban yang mengikat.
Witkoff menyebut proposal itu “tidak dapat diterima”. Ia kemudian menyatakan dukungan penuh terhadap ‘Israel’ dan bahkan mengulangi pernyataan Perdana Menteri ‘Israel’ Benjamin Netanyahu, hampir kata demi kata.
Analis dan perancang strategi Palestina, Saeed Ziad, menyimpulkan:
“Witkoff bukan lagi utusan, tapi juru bicara penjajahan. Ia mendukung gencatan senjata sementara hanya untuk menyelamatkan tahanan ‘Israel’ lalu melanjutkan perang. Ini memberikan ‘Israel’ celah baru untuk melanjutkan genosida, dengan perlindungan penuh dari Amerika Serikat.” (zarahamala/arrahmah.id)