HERZLIYA (Arrahmah.id) – Ketika konflik dengan Iran kian memburuk, ratusan warga ‘Israel’ dilaporkan mulai meninggalkan negara mereka secara diam-diam dengan menaiki kapal pesiar pribadi (yacht), setelah pemerintah melarang maskapai penerbangan lokal menerbangkan warga sipil ke luar negeri.
Yacht-yacht tersebut berangkat dari berbagai marina di sepanjang pesisir ‘Israel’, termasuk Herzliya, Haifa, dan Ashkelon, membawa para penumpangnya menuju Siprus dan kemudian ke berbagai negara di Eropa.
Harian Haaretz melaporkan bahwa dalam hitungan hari setelah pemerintah memerintahkan pelarangan penerbangan keluar guna menghindari “keramaian berlebihan” di bandara, mulai bermunculan grup-grup daring yang mengoordinasikan jalur pelarian alternatif lewat laut. Keputusan tersebut justru memperburuk kepanikan dan mempercepat gelombang eksodus diam-diam menuju laut.
Mayoritas dari mereka yang pergi enggan mengungkapkan identitasnya. Para operator kapal menyebut bahwa sekalipun bisa membayar biaya perjalanan yang tergolong mewah, para penumpang tetap harus menghadapi “kondisi laut yang berat”.
Herzliya Jadi Titik Keberangkatan Diam-Diam
Marina Herzliya kini menjelma menjadi semacam titik keberangkatan tak resmi. Sejak pagi, terlihat individu, pasangan, hingga keluarga yang datang sambil menyeret koper mereka menuju kapal yang akan membawa mereka ke Siprus. Dari sana, banyak yang berencana melanjutkan perjalanan ke Portugal, Italia, dan negara-negara Eropa lainnya.
Grup Facebook khusus keberangkatan lewat laut tumbuh pesat, dengan ratusan orang yang dilaporkan mencari jalan keluar. Karena permintaan melonjak, beberapa pemilik kapal mulai menawarkan tempat dengan harga antara 2.500 hingga 6.000 shekel (sekitar Rp11–26 juta). Satu kapal biasanya hanya mengangkut kurang dari sepuluh penumpang.
Fenomena ini tidak terbatas di Herzliya saja. Di Haifa dan Ashkelon, pemilik yacht kecil pun ikut menjalankan penyeberangan. Otoritas Imigrasi dan Kependudukan ‘Israel’ mengaku tidak bisa memantau secara pasti skala eksodus ini, tetapi bukti-bukti di lapangan menunjukkan tren yang terus tumbuh.
Sebagian penumpang mengklaim sebagai warga asing yang hendak pulang ke negara asal, namun kenyataannya banyak dari mereka adalah warga negara ‘Israel’. Beberapa mengakui secara terbuka bahwa mereka melarikan diri dari ancaman rudal Iran, meskipun mayoritas enggan diwawancarai.
Paspor Ganda: Tiket Kabur yang Sah
Kewarganegaraan ganda sangat umum di ‘Israel’, terutama di kalangan imigran Yahudi dan keturunannya. Undang-Undang Kepulangan (Law of Return) memungkinkan siapa pun dari diaspora Yahudi untuk mendapatkan kewarganegaraan ‘Israel’ tanpa harus melepaskan paspor negara asal. Akibatnya, banyak yang memiliki paspor ganda atau bahkan lebih.
Mereka yang kini melarikan diri lewat laut kebanyakan adalah pemegang paspor ganda, baik imigran yang masih menyimpan paspor asli mereka, maupun warga ‘Israel’ kelahiran lokal yang memperoleh paspor tambahan ketika dewasa.
Beberapa negara yang sering dikaitkan dengan kewarganegaraan ganda warga ‘Israel’ adalah Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, Rusia, Ukraina, dan negara-negara lain dengan komunitas Yahudi besar.
Seorang pria yang memberi nama samaran “Adi” mengatakan bahwa ia benar-benar pergi untuk selamanya. “Saya akan pindah ke Portugal,” ujarnya. Pasangannya telah tinggal di sana selama beberapa tahun dan memintanya untuk segera menyusul.
Di marina, dua pria terlihat memuat logistik ke dalam kapal, namun menolak memberi keterangan lebih lanjut. Di sisi lain, Haim dan putranya Amir berkata bahwa mereka tak punya pilihan lain. “Anak saya pengusaha. Ia sudah terjebak di sini selama beberapa hari. Ia akan berlayar ke Larnaca, lalu terbang ke Milan,” kata Haim. “Bukan kabur, ini satu-satunya cara.”
Tak Siap Hadapi Laut
Di dekat kapal lain yang siap berlayar, sepasang suami-istri menunggu bersama putra mereka yang baru kembali dari California. “Begitu tahu penerbangan belum akan dibuka, saya hubungi Kementerian Transportasi. Mereka menyarankan lewat Yordania atau Sharm el-Sheikh. Tapi saya tidak mau itu,” ujarnya.
Namun, tak semua penumpang menyadari kerasnya kondisi di laut. “Gelombangnya, mualnya, mereka tidak tahu apa yang akan mereka hadapi,” kata Moshe, seorang kapten kapal. Rekannya Yehuda menambahkan, “Mereka akan muntah, menyumbat toilet, dan saya yang harus memperbaikinya.”
Sebelum berlayar, penumpang mendapat pengarahan keselamatan ketat. Salah satu kru menjelaskan prosedur patroli malam, penggunaan radar untuk menghindari kapal besar, serta lokasi pelampung dan alat pemadam api. Penumpang diminta tetap terhidrasi dan disarankan membawa obat mabuk laut serta lemon.
Harga tiket bervariasi tergantung jenis kapal dan fasilitasnya. Kapal cepat berbahan bakar diesel bisa menyeberang ke Siprus dalam waktu sekitar delapan jam. Seorang penumpang mengaku dikenai biaya 6.000 shekel, dua kali lipat dari tarif standar.
Namun, tak semua kapal memiliki izin komersial resmi. Seorang pemilik kapal mengungkapkan bahwa ada operator yang menjual kursi tanpa asuransi penumpang. Salah satu perusahaan di marina menyebut bahwa mereka mengoperasikan hingga lima kapal per hari, masih belum cukup untuk memenuhi lonjakan permintaan.
Di antara para penumpang yang menunggu, sepasang orang tua dengan seorang anak kecil secara perlahan mengaku: mereka sedang melarikan diri dari perang. “Kami lelah dengan rudal-rudal ini,” kata mereka pelan. (zarahamala/arrahmah.id)