Oleh. Hana Annisa Afriliani, S.S
(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
Kebijakan pemutihan pajak sering kali digulirkan sebagai solusi instan untuk meredam keluhan rakyat. Padahal, kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan utama, yakni sistem perpajakan yang mencekik. Setelah pemutihan berakhir, beban pajak akan tetap kembali dan menekan kehidupan rakyat, terutama masyarakat kecil. Oleh karena itu, seharusnya masyarakat menyadari bahwa kebijakan pemutihan pajak hanyalah hiburan sesaat bagi rakyat di tengah derita pungutan pajak yang mencekik. Rakyat juga harus menyadari bahwa sejatinya pajak merupakan salah satu kebijakan yang lahir dari system ekonomi kapitalisme.
Penerapan sistem kapitalisme menempatkan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Sebagaimana yang dilansir dalam laman resmi kementrian keuangan bahwa penerimaan pajak sampai dengan 31 Desember 2024 mencapai Rp1.932,4 triliun. Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengungkapkan bahwa pendapatan dari pajak menjadi sumber utama dalam struktur penerimaan negara, mencapai 82,4% dari total pendapatan.
Semua itu adalah wajar sebab dalam sistem ini, negara bertindak seperti korporasi yang mencari pemasukan dari rakyat, bukan sebagai pelindung dan pengurus kebutuhan mereka. Akibatnya, rakyat terus dibebani pajak dalam berbagai bentuk, bahkan untuk kebutuhan dasar sekalipun. Pajak menjadi jantung kehidupan dalam sistem kapitalisme hari ini.
Padahal sejatinya pungutan pajak hanyalah menambah beban ekonomi rakyat khususnya kalangan menengah ke bawah. Mengingat harga-harga kebutuhan hidup sehari-hari juga terus melambung tinggi. Belum lagi rakyat harus memenuhi kebutuhan lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Tambahan kewajiban membayar pajak jelas merupakan kezaliman yang sistemis.
Sungguh sangat berbeda dengan Kapitalisme, Islam tidak menjadikan pajak sebagai pilar utama keuangan negara. Dalam Islam, dikenal dengan istilah dharibah. Adapun dharibah merupakan pungutan oleh negara kepada rakyat seperti halnya pajak, namun hanya bersifat temporer dan diterapkan dalam kondisi darurat, yakni saat Baitulmal dalam kondisi kosong atau tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang urgent dilakukan oleh negara, misalnya untuk gaji pegawai, persiapan jihad, penanganan bencana alam, dll. Selain itu, dharibah juga hanya dibebankan kepada orang kaya saja, tidak kepada semua lapisan masyarakat.
Adapun pemasukan utama negara Islam justru mengandalkan sumber-sumber tetap seperti fai’, kharaj, jizyah, ghanimah, serta pengelolaan kepemilikan umum yang hasilnya digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat. Negara akan benar-benar mengelola harta-harta tersebut secara mandiri, khususnya sumber daya alam, tidak menyerahkan penguasaannya kepada asing. Karena sejatinya Islam mengharamkan privatisasi pada harta kepemilikan yang statusnya milik umum. Sebagaimana sabda Rasulullah saw,
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah)
Terlah terbukti bahwa sistem Islam mewujudkan kesejahteraan rakyat tanpa membebani mereka dengan pajak. Negara berperan aktif sebagai raa’in (pengurus), menyediakan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan secara gratis dan berkualitas. Negara tidak berbisnis kepada rakyatnya, karena memahami bahwa amanah kepemimpinan merupakan amanah langit yang kelak akan dipertanggungjawabkan di Yaumil Hisab. Penerapan sistem Islam secara kaffah, termasuk di dalamnya sistem ekonomi Islam, sungguh akan mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi kita selain kembali kepada penerapan Islam secara kaffah dalam naungan Negara Khilafah Islamiyyah. Insyallah, sebagaimana janji Allah, hal tersebut bukan mustahil akan kembali terwujud.