TEPI BARAT (Arrahmah.id) – Tindakan kekerasan terhadap warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki meningkat hingga 30% sejak awal tahun ini, sementara aksi penyerbuan ke Masjid Al-Aqsa di Yerusalem terus berlanjut, memunculkan pertanyaan besar tentang tujuan akhir ‘Israel’ dan dampaknya ke depan.
Menurut laporan Radio Militer ‘Israel’, sejak Januari tercatat 414 insiden kekerasan, termasuk pembakaran sengaja, grafiti berisi ujaran kebencian terhadap warga Arab, serta bentrokan fisik. Laporan tersebut menyoroti bahwa eskalasi bukan hanya dalam jumlah kejadian, tetapi juga tingkat kekerasannya, yang kini semakin berbahaya.
Dalam konteks ini, penulis dan pengamat urusan ‘Israel’ Ihab Jabareen mengatakan bahwa proyek permukiman ‘Israel’ merupakan rencana yang menyeluruh dan sistematis, yang bertujuan mencaplok seluruh wilayah Tepi Barat dan menerapkan kedaulatan penuh atasnya, sekalipun bertentangan dengan hukum internasional. Ia menambahkan bahwa perubahan yang terjadi bukan sekadar kuantitatif, tetapi menyangkut pola dan metode yang semakin agresif.
Jabareen menjelaskan dalam program “Ma Wara’ al-Khabar” Al Jazeera bahwa sejak ‘Israel’ menarik diri dari Gaza pada 2005, proyek permukiman mengalami pergeseran strategis. Awalnya merupakan gerakan populis, kini telah menjadi bagian dari pengambil keputusan politik utama di ‘Israel’.
Menurutnya, antara 2005 dan 2015, terjadi reaksi brutal terhadap hilangnya kendali atas Gaza, dengan cara “menebusnya” lewat ekspansi di Tepi Barat. Lalu, antara 2015 dan 2020, proyek permukiman mulai menyusup ke jantung proses pengambilan kebijakan negara. Sementara 2020–2025 menjadi titik balik besar, ketika Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir memasuki pemerintahan paling ekstrem dalam sejarah ‘Israel’, menguasai dua kementerian strategis: Keamanan Nasional dan Permukiman.
“Pertempuran Eksistensial”
Sementara itu, Wakil Ketua Dewan Legislatif Palestina, Hassan Khreisha, menyatakan bahwa operasi militer ‘Israel’ di Tepi Barat dijalankan oleh ruang komando gabungan, yang melibatkan militer, intelijen, pemukim bersenjata, dan administrasi sipil ‘Israel’.
Ia menjelaskan bahwa wilayah utara Tepi Barat sedang mengalami penghancuran sistematis, khususnya kamp-kamp pengungsi, sementara permukiman meluas dan pengusiran warga Palestina meningkat di Lembah Yordan. Menurutnya, semua ini adalah bagian dari rencana jangka panjang ‘Israel’ untuk mencaplok wilayah dan menggusur penduduk aslinya.
Khreisha menilai bahwa ‘Israel’ yakin “medan tempur utama adalah Tepi Barat,” terutama karena mendapat dukungan penuh dari Presiden AS Donald Trump. Hal ini mendorong ‘Israel’ melancarkan operasi serentak di Yerusalem, Lembah Yordan, dan wilayah utara hingga selatan Tepi Barat.
Ia memperingatkan bahwa eskalasi permukiman akan memicu intifada menyeluruh, sebab rakyat Palestina semakin sadar akan bahaya besar yang mengancam, dan tidak akan tinggal diam menghadapi pembunuhan, kekerasan pemukim, dan penutupan wilayah sehari-hari.
Ia juga menambahkan bahwa otoritas Palestina ikut menjadi sasaran dalam perang ini, dan sebagian elit penguasa mulai menyadari bahwa pertarungan ini telah menjadi pertarungan eksistensial, meskipun mereka masih belum mampu mengambil keputusan resmi yang tegas.
Reaksi Internasional
Dari sisi internasional, para pemimpin Uni Eropa dalam KTT terakhir di Brussel mengecam keras eskalasi kekerasan di Tepi Barat, dan menyerukan Israel untuk segera menghentikannya.
Profesor Mohamed Henid, peneliti dari Universitas Sorbonne di Prancis, menilai bahwa tekanan rakyat dan kalangan intelektual di Eropa semakin besar, terutama karena generasi baru di Eropa mulai mempertanyakan narasi lama yang menjadikan Holocaust sebagai satu-satunya kerangka pemahaman konflik ini.
Menurut Henid, generasi muda tak lagi percaya sepenuhnya bahwa komunitas Yahudi adalah korban tunggal Nazisme, dan hal ini mengkhawatirkan lobi Zionis di Eropa. Namun ia menegaskan bahwa sikap Eropa tetap dibatasi oleh garis kebijakan AS, yang masih mendominasi arah penanganan isu Palestina.
Henid juga menyebutkan bahwa Eropa tengah cemas akan kebangkitan sayap kanan ekstrem dalam pemilu mendatang, yang bisa saja bersekutu dengan ‘Israel’, sehingga elit politik Eropa dipaksa mempertimbangkan langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan kestabilan institusi pemerintahan.
Dalam hal ini, Khreisha menyoroti bahwa sikap Uni Eropa sering kali terjebak di tengah-tengah. Mereka sempat membahas sanksi terhadap para pemukim, namun kemudian ditangguhkan oleh tekanan dari pihak AS.
Sementara itu, Jabareen menegaskan bahwa Israel menyadari bahwa posisinya semakin bermasalah di mata komunitas internasional, sehingga mereka terus berupaya mengalihkan perhatian dunia dari apa yang sebenarnya terjadi di Tepi Barat, dengan berpura-pura menerima inisiatif internasional, namun selalu memelintirnya untuk kepentingan sendiri.
Struktur Perlawanan Terungkap
Pada Ahad (29/6/2025), badan intelijen ‘Israel’, Shin Bet, mengklaim telah mengungkap “struktur bawah tanah besar” milik Hamas di Hebron, yang diduga digunakan untuk merencanakan serangan besar terhadap target ‘Israel’.
Menurut pernyataan Shin Bet, mereka telah menangkap lebih dari 60 orang yang terbagi dalam 10 sel, serta menyita 22 senjata api dan 11 granat tangan dari gudang bawah tanah.
Namun, tokoh Hamas Mahmoud al-Mardawi menanggapi bahwa perlawanan tetap menjadi satu-satunya pilihan untuk mengusir pendudukan. (zarahamala/arrahmah.i)