GAZA (Arrahmah.id) – Di saat dunia berharap ada secercah harapan untuk menghentikan pembantaian di Gaza, Amerika Serikat kembali menunjukkan wajah aslinya. Di Dewan Keamanan PBB, 14 negara mendukung rancangan resolusi yang menyerukan gencatan senjata dan pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza. Tapi satu suara menolaknya, veto dari Washington.
Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) langsung mengecam langkah Amerika, menyebutnya sebagai bukti nyata bahwa pemerintahan AS berdiri sepenuhnya di belakang pemerintahan fasis ‘Israel’. Menurut Hamas, ini bukan sekadar dukungan politik, melainkan dukungan langsung terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung di Gaza.
Dalam pernyataannya, Hamas menyatakan keheranan yang mendalam atas sikap arogan AS yang menentang kehendak hampir seluruh dunia, dan menganggap veto tersebut sebagai cerminan dari penghinaan terang-terangan terhadap hukum internasional serta penolakan terhadap segala upaya global menghentikan pertumpahan darah rakyat Palestina.
Bagi Hamas, sikap Amerika ini ibarat lampu hijau bagi penjahat perang Benjamin Netanyahu, yang saat ini berstatus buronan di Mahkamah Pidana Internasional, untuk melanjutkan perang pemusnahan terhadap warga sipil yang tak berdosa, anak-anak, perempuan, dan orang tua. AS tidak hanya diam, tapi turut menjadi bagian dari kejahatan ini.
Hamas juga menyoroti kegagalan Dewan Keamanan PBB dalam menghentikan perang genosida yang telah berlangsung selama hampir 20 bulan. Ketidakmampuan lembaga internasional itu dalam menembus blokade dan menyalurkan makanan kepada warga yang tengah dilanda kelaparan menggugah pertanyaan mendasar:
Masih adakah makna dari semua lembaga dan hukum internasional, jika setiap hari dilanggar tanpa ada satu pun konsekuensi?
Di sisi lain, Perdana Menteri ‘Israel’, Benjamin Netanyahu, tak membuang waktu untuk mengucapkan terima kasih kepada Amerika. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa veto tersebut menunjukkan kepada “musuh-musuh kami bahwa tak ada perbedaan antara ‘Israel’ dan Amerika”. Kalimat singkat itu cukup untuk mengungkap siapa berdiri bersama siapa dalam tragedi kemanusiaan ini.
Sejak Oktober 2023, Gaza menjadi saksi dari salah satu pembantaian paling brutal sejak Perang Dunia II. Lebih dari 54 ribu warga Palestina tewas, 125 ribu lainnya terluka, dan seluruh penduduk Gaza nyaris kehilangan tempat tinggal.
Dan ketika rumah-rumah hancur, anak-anak dikubur di bawah reruntuhan, dan keluarga-keluarga kelaparan, dunia hanya bisa menyaksikan satu negara yang terus berkata “tidak”, dengan satu kata sakti: veto. (zarahamala/arrahmah.id)