(Arrahmah.id) – Untuk hari kelima berturut-turut, buldoser militer ‘Israel’ terus menghancurkan rumah-rumah warga Palestina di kamp pengungsi Tulkarem, Tepi Barat, dalam operasi militer yang disebut “Tembok Besi”. Sejak awal pekan, sekitar 54 rumah telah diratakan, menambah jumlah total rumah yang dihancurkan di kamp tersebut menjadi 64. Di kamp tetangga, Nur Syams, yang juga berada dekat Tulkarem, 20 gedung hunian telah dihancurkan sebagai bagian dari rencana untuk merobohkan 48 bangunan demi membuka jalan-jalan baru di jantung kamp. Pada Mei lalu, otoritas pendudukan ‘Israel’ mengeluarkan surat perintah penghancuran terhadap 106 bangunan di kedua kamp tersebut.
Kerusakan yang diakibatkan oleh operasi ini luar biasa. Rumah-rumah dihancurkan bersama ingatan kolektif dan sejarah panjang para pengungsi. Jalan-jalan baru yang dibuka dan lingkungan yang dihapus secara sistematis menunjukkan upaya jelas untuk mengubah struktur dan identitas kamp menjadi bagian dari kota Tulkarem, seperti yang dinyatakan oleh pejabat ‘Israel’ bahwa kamp ini akan dijadikan “daerah pinggiran” kota.
Bagi warga seperti Um Malik Haykal (50), penghancuran rumahnya di lingkungan al-Balawneh adalah pukulan telak. Rumah empat lantainya yang telah ia tinggali selama 30 tahun dihancurkan di depan matanya. Ia menikah dan membesarkan anak-anak serta cucunya di rumah itu. Kini, seluruh keluarganya tercerai-berai di sekitar Tulkaram. “Bagaimana aku bisa membangun kembali rumah lain di usia seperti ini?” keluhnya.
Di tempat lain, warga berkumpul di bukit yang menghadap kamp, menyaksikan rumah-rumah mereka dihancurkan menjadi puing. Anak-anak menangis melihat mainan mereka terkubur di bawah reruntuhan. Aktivis sosial Hussein Sheikh Ali menggambarkan kehancuran ini sebagai tragedi yang tak hanya bersifat fisik, tetapi juga psikologis. “Rumah-rumah ini dibangun batu demi batu oleh para pengungsi, dimulai dari tenda-tenda. Kini dihancurkan dalam waktu kurang dari setengah jam,” katanya. Ia menyaksikan sendiri saat tetangganya menangis tersedu saat rumahnya dihancurkan, “kehancuran yang mencabik harga diri.”
Banyak warga percaya bahwa ‘Israel’ sengaja memilih waktu menjelang Idul Adha untuk memperdalam penderitaan warga. Klaim bahwa penghancuran ini dilakukan demi alasan keamanan atau untuk mengatasi perlawanan bersenjata, dinilai sebagai dalih belaka untuk mempercepat proyek penjajahan dan perluasan wilayah di Tepi Barat.
Pemerintah Palestina menganggap upaya ini sebagai bagian dari strategi untuk menghapuskan eksistensi kamp pengungsi dan menghilangkan simbol-simbol keberadaan para pengungsi Palestina. Salah satunya adalah dengan menghancurkan bangunan-bangunan milik UNRWA, termasuk klinik, sekolah, dan pusat layanan masyarakat, padahal lembaga ini merupakan saksi sejarah yang menegaskan hak pengungsi Palestina untuk kembali ke tanah air mereka selama 77 tahun terakhir.
Dampak ekonomi dari operasi ini juga sangat besar. Kamar Dagang dan Industri Tulkarem melaporkan bahwa sekitar 3.000 bisnis tutup sejak 2022, dipicu oleh pembatasan dan penutupan yang menyertai operasi militer ‘Israel’. Blokade terhadap akses masuk dari wilayah Palestina 1948 (‘Israel’ saat ini) memperparah krisis ekonomi lokal.
Selain penghancuran fisik dan ekonomi, penangkapan massal juga terus terjadi. Menurut Klub Tahanan Palestina, sekitar 300 orang telah ditangkap dari dua kamp tersebut sejak Januari 2024. Serangan ini juga memicu eksodus massal: lebih dari 25.000 orang, termasuk 70% anak-anak, telah mengungsi dari kamp Tulkaram dan Nur Syams. Sekitar 400 rumah telah hancur total, dan hampir 2.600 lainnya rusak sebagian. Dengan pintu masuk kamp yang terus diblokir dan dijadikan zona militer tertutup, kawasan ini kini hampir kosong dari kehidupan.
Bagi warga Palestina, kamp pengungsi bukan hanya tempat tinggal, tetapi simbol dari sejarah, perjuangan, dan hak untuk kembali. Maka, penghancuran kamp-kamp ini bukan sekadar tindakan militer, ini adalah upaya sistematis untuk menghapus identitas Palestina dari peta. (zarahamala/arrahmah.id)
Oleh: Fatima Mahmud (Koresponden Aljazeera)