GAZA (Arrahmah.id) – Pada 2 Maret, ‘Israel’ secara resmi menutup seluruh perlintasan utama ke Gaza, memblokir akses masuk makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan. Langkah ini memperparah krisis kemanusiaan bagi 2,3 juta warga Palestina. Sejumlah organisasi hak asasi manusia menuduh ‘Israel’ menggunakan kelaparan sebagai senjata perang.
Lalu, pada 27 Mei, yayasan kontroversial Gaza Humanitarian Foundation (GHF) yang didukung Amerika Serikat mulai beroperasi di Jalur Gaza. Titik distribusi pertamanya dibuka di Rafah, Gaza selatan, dan menjadi satu dari empat lokasi yang direncanakan.
Setelah lebih dari 80 hari blokade total, kelaparan ekstrem, dan kemarahan dunia yang terus meluas, bantuan yang diklaim disalurkan GHF justru memicu kontroversi. Lembaga ini dituding sebagai proyek bermasalah yang dibentuk untuk melewati sistem distribusi bantuan yang telah dibangun PBB dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya di Gaza.
Banyak organisasi kemanusiaan, termasuk PBB, secara terbuka menjauh dari GHF. Mereka menilai bahwa yayasan ini melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaa, antara lain karena hanya memberikan bantuan di wilayah selatan dan tengah Gaza, mewajibkan warga berjalan kaki jauh ke titik distribusi, dan menyediakan bantuan dalam jumlah minim.
Menurut penilaian yang didukung PBB bulan lalu, satu dari lima warga Gaza kini menghadapi kelaparan akut akibat blokade makanan dan bantuan oleh ‘Israel’ , sementara 93 persen lainnya mengalami kekurangan pangan parah.
Melalui GHF, warga Gaza dikatakan hanya akan menerima “sejumlah kecil makanan pokok”, menurut Jake Wood, mantan direktur eksekutif yayasan tersebut. Ia mundur dua hari sebelum GHF memulai operasinya dan menyatakan bahwa model bantuan GHF “tidak konsisten dengan prinsip-prinsip kemanusiaan seperti kemanusiaan, netralitas, ketidakberpihakan, dan independensi.”
“Digiring Seperti Ternak ke Dalam Kandang”
Banyak warga Gaza juga mengeluhkan kekacauan saat berebut paket bantuan di pusat distribusi serta kegagalan petugas dalam menjaga ketertiban. Instruksi yang diberikan kepada warga disebutkan membingungkan dan saling bertentangan.
Foto dan video yang beredar di media sosial menunjukkan kerumunan besar mengantri di depan pagar logam tinggi yang dilengkapi kamera pengintai di salah satu lokasi GHF dekat Koridor Morag di Rafah.
Saksi mata menggambarkan proses masuk yang sangat lambat dan diawasi ketat. Orang-orang harus melewati lorong-lorong sempit yang berpagar, menyerupai jalur kandang ternak. Setelah di dalam area distribusi, mereka harus menjalani pemeriksaan identitas dan pemindaian mata untuk menentukan apakah mereka layak menerima bantuan.
Mantan juru bicara UNRWA, Chris Gunness, mengecam keras mekanisme distribusi bantuan buatan ‘Israel’-AS ini, dengan menyebutnya telah mengubah Gaza menjadi “rumah jagal manusia.” “Ratusan warga sipil digiring seperti hewan ke kandang berpagar dan disembelih seperti ternak di dalamnya,” ujarnya.
“Rumah Jagal Manusia”
Sejak GHF mulai beroperasi di Gaza, lebih dari 130 warga kelaparan yang tengah menunggu bantuan di dekat pusat distribusi GHF telah tewas, dan 1000 lainnya luka-luka akibat serangan pasukan ‘Israel’ hanya dalam dua pekan terakhir, menurut Kementerian Kesehatan Palestina, Senin (9/6/2025).
Setidaknya sembilan orang lainnya masih dinyatakan hilang.
Dalam pernyataan resminya, Kantor Media Pemerintah Gaza mengutuk situs distribusi bantuan GHF sebagai “rumah jagal manusia” dan “perangkap kematian massal.” Mereka menuduh pasukan ‘Israel’ secara sengaja memancing warga yang putus asa untuk kemudian membunuh mereka. “Ini adalah kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan,” bunyi pernyataan itu, sembari menyerukan penyelidikan internasional independen dan penghentian segera atas model distribusi GHF.
Kronologi Serangan ‘Israel’ terhadap Pencari Bantuan GHF
-
Selasa, 27 Mei: 3 tewas, 46 luka, 7 hilang – Rafah
-
Rabu, 28 Mei: 10 tewas, 62 luka – Rafah
-
Minggu, 1 Juni: 35 tewas, 200 luka – Rafah
-
Tambahan: 1 tewas, 32 luka, 2 hilang – Jembatan Wadi Gaza
-
-
Senin, 2 Juni: 26 tewas, 92 luka – Rafah
-
Selasa, 3 Juni: 27 tewas, 90 luka – Rafah
-
Jumat, 6 Juni: 8 tewas, 61 luka – Rafah
-
Minggu, 8 Juni: 13 tewas, 135 luka – Rafah dan sekitar Jembatan Wadi Gaza
“Pilih Kebohongan Sesukamu”
Militer ‘Israel’, setidaknya dalam empat kesempatan, telah mengakui bahwa mereka menembaki warga sipil yang mengantre bantuan di dekat lokasi GHF. Namun setiap kali mereka memberi keterangan, narasinya selalu berbeda-beda, saling bertentangan, dan justru memperkeruh keadaan. Alih-alih memberi kejelasan, versi-versi ini dianggap sebagai upaya untuk menghindari tanggung jawab.
Dalam salah satu pernyataannya, militer bahkan mengklaim tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu. Namun, Komite Palang Merah Internasional (ICRC) membantah dan memastikan bahwa 21 jenazah telah dibawa ke rumah sakit lapangan mereka di Rafah.
Kampanye disinformasi ini mengingatkan publik pada pola lama, yakni narasi-narasi palsu yang digunakan untuk membenarkan serangan terhadap sekolah PBB, rumah sakit, hingga tempat perlindungan warga sipil di Gaza.
Para pengamat memperingatkan bahwa video palsu dan cerita yang terus berubah tak akan mampu menutupi fakta. “Pembantaian di Rafah terdokumentasi,” ujar Rami Abdu, Direktur Euro-Med Human Rights Monitor. “Tak ada propaganda yang bisa mencuci bersih kejahatan perang.” (zarahamala/arrahmah.id)