KAIRO (Arrahmah.id) – Pemerintah Mesir mendapat sorotan tajam setelah menahan dan menginterogasi lebih dari 200 aktivis internasional yang datang ke Kairo untuk berpartisipasi dalam Global March to Gaza, sebuah kampanye damai yang bertujuan menantang blokade ‘Israel’ di Gaza.
Selasa dan Rabu (11–12 Juni), para peserta dari lebih dari 40 negara yang datang lebih awal untuk memulai pawai dari Kairo ke perbatasan Rafah, ditahan di bandara dan hotel, sebagian tanpa akses ke makanan dan air.
Para aktivis ini terbang ke Mesir untuk bergabung dengan konvoi darat akar rumput yang berangkat dari Tunisia, dikenal sebagai Konvoi Sumud (artinya “keteguhan”). Tujuannya sederhana namun kuat: membawa bantuan kemanusiaan dan perhatian global ke Gaza, yang telah 18 tahun diblokade ‘Israel’.
Namun alih-alih disambut sebagai bagian dari upaya solidaritas kemanusiaan, mereka justru disambut dengan penangkapan massal, deportasi, dan kampanye media yang mencurigakan.
Aktivis Ditahan dan Dideportasi Diam-Diam
Menurut laporan dari Blast dan Mada Masr, otoritas Mesir menahan sekitar 40 warga Aljazair selama 24 jam. Menolak masuk 10 warga Maroko dan mengirim mereka kembali ke bandara. Mendeportasi warga Turki yang mengibarkan bendera Palestina di luar hotel dan menahan banyak warga negara Prancis tanpa kejelasan, termasuk membatasi akses air dan makanan.
“Otoritas Mesir hampir secara sistematis menahan warga Prancis karena tidak adanya daftar resmi peserta,” ujar seorang delegasi Prancis kepada Blast.
Juru bicara Global March, Saif Abu Keshek, menyebutkan bahwa para aktivis yang ditahan berasal dari AS, Belanda, Australia, Prancis, Spanyol, Maroko, dan Aljazair.
Reaksi Warganet: Kemunafikan dan Komplikasi Mesir-‘Israel’
Penahanan ini memicu gelombang kritik di media sosial, di mana banyak yang menuduh pemerintah Mesir bersikap hipokrit, mengklaim mendukung Palestina tetapi justru menghambat solidaritas rakyat. Bersikap lunak terhadap ‘Israel’, namun keras terhadap warga sipil yang mencoba membantu Gaza. Berkomplot dalam kejahatan perang ‘Israel’ dengan menutup akses Rafah dan menahan aktivis damai.
Bahkan muncul meme satir terhadap Presiden Abdel Fattah el-Sisi yang menyindir ganda standar Mesir: “Bendera ‘Israel’ lewat, dibiarkan. Bendera Palestina? Penjara.”
Sementara itu, tokoh pro-pemerintah Mesir, seperti pembawa acara Ahmed Moussa, menyebut konvoi solidaritas ini sebagai “rencana menjebak Mesir” dan mengaitkannya dengan Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi yang dilarang di Mesir.
Narasinya jelas: membingkai dukungan untuk Palestina sebagai ancaman terhadap stabilitas Mesir, bukan sebagai ekspresi kemanusiaan global.
Pawai Tetap Dilanjutkan
Meskipun hambatan berat dari Mesir dan ancaman dari ‘Israel’, ribuan peserta tetap bertekad untuk melanjutkan Global March to Gaza. Sesuai rencana, merek berkumpul di Kairo pada Kamis (12/6/2025), lalu bergerak menuju Al-Arish pada hari ini, dan memulai pawai sepanjang 48 km ke Rafah, kemudian melakukan aksi duduk damai (sit-in) selama tiga hari di perbatasan sebelum kembali ke Kairo pada 19 Juni.
Walau banyak negara Arab bungkam atau bahkan ikut menghalangi, rakyat biasa dari seluruh dunia terus bergerak. Dari Tunisia hingga Wales, dari Brasil hingga Indonesia, mereka membawa satu pesan: bantuan bukan kejahatan, dan berdiri bersama Gaza adalah kewajiban moral global.
Sementara pemerintah-pemerintah bernegosiasi dan berdalih, rakyat sudah lebih dulu berjalan. Dan meskipun dipukuli, ditahan, atau dideportasi, suara mereka terus menggema: Palestina tidak sendiri. (zarahamala/arrahmah.id)