JAKARTA (Arrahmah.id) – Di tengah meningkatnya eskalasi militer antara Iran dan “Israel”, Ustaz Felix Siauw menegaskan bahwa konflik tersebut bukan semata-mata perang antara pembela Palestina melawan penjajah, tetapi bagian dari benturan geopolitik antara poros Timur dan Barat. Penjelasan ini ia sampaikan dalam sebuah ceramah bertajuk “Sikap Kita terhadap Perang Iran dan Israel” yang diunggah melalui kanal YouTube resminya pada Ahad, 22 Juni 2025.
Dalam ceramah tersebut, Ustaz Felix menjelaskan bagaimana umat Islam seharusnya menyikapi perang ini dengan jernih dan berbasis ilmu. Menurutnya, sebelum menilai konflik internasional, umat Islam perlu memahami dahulu perbedaan-perbedaan internal dalam Islam, yang terbagi menjadi tiga: perbedaan fikih, perbedaan politik, dan perbedaan akidah.
“Perbedaan fikih itu biasa dan sering kita temui, seperti jumlah rakaat tarawih—ada yang sebelas, ada yang dua puluh tiga. Itu perbedaan yang wajar. Perbedaan politik juga masih bisa ditoleransi, seperti soal siapa yang berhak memimpin setelah Rasulullah ﷺ wafat,” jelasnya.
Namun, ia menegaskan bahwa perbedaan yang menyentuh ranah akidah adalah hal serius.
“Kalau sudah menyangkut akidah, seperti meyakini bahwa Al-Qur’an belum lengkap atau mengatakan Nabi Muhammad ﷺ bukan nabi terakhir, itu sudah bukan perbedaan biasa. Itu sudah menyimpang dari rukun iman,” tegasnya.
Merujuk hal tersebut, Ustaz Felix menilai Iran sebagai negara yang secara ideologis menganut Syiah Dua Belas Imam, yang memiliki keyakinan berbeda secara fundamental dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
“Syiah 12 Imam percaya bahwa ada imam-imam maksum yang melanjutkan risalah Rasulullah. Ini jelas bukan akidah kita,” ungkapnya.
Namun, ia mengajak umat Islam untuk tidak gegabah dalam mengambil sikap. Menurutnya, dalam konteks perang antara Iran dan “Israel”, umat Islam harus belajar dari sejarah Nabi Muhammad ﷺ ketika menyikapi perang antara Romawi dan Persia.
Kala itu, Quraisy mengolok-olok kaum Muslimin karena Romawi—yang juga percaya pada kitab langit—disebut akan kalah melawan Persia. Namun, Allah menurunkan ayat: “Ghulibatir-Ruum… wa hum mim ba’di ghalabihim sayaghlibuun fii bid’i siinīn.” Ayat ini menegaskan bahwa Romawi, meski kalah, akan menang kembali dalam beberapa tahun.
“Ketika Romawi menang, orang Muslim gembira bukan karena memihak Romawi, tapi karena terbukti kebenaran wahyu dan Quraisy terbantahkan. Ini menunjukkan bahwa sikap kita bukan soal dukung-mendukung semata, tapi soal siapa yang lebih tidak memusuhi Islam,” jelas Ustaz Felix.
Dalam kerangka ini, ia menjelaskan bahwa Iran tidak sedang berperang demi Palestina, tapi demi kepentingan geopolitiknya sendiri.
“Iran menyerang karena diserang duluan. Bahkan Netanyahu membuat video dan mengajak rakyat Iran untuk menggulingkan pemerintah mereka, agar kembali ke masa saat Iran dan ‘Israel’ bersahabat,” ungkapnya.
Menurutnya, Iran dan “Israel” pernah menjadi sekutu erat, khususnya saat Iran masih dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi, seorang penguasa sekuler yang menjadi sahabat Amerika dan “Israel”. Bahkan, Raja Persia Cyrus Agung disebut-sebut dalam sejarah Yahudi sebagai tokoh yang membantu pembangunan Kuil Sulaiman.
“Netanyahu bilang sendiri, ayo kembali ke masa lalu saat kita besti. Artinya, dia bukan ingin perang dengan Iran karena Iran bela Palestina, tapi karena Iran kini sudah berpihak ke Rusia dan Cina. Ini soal blok kekuasaan,” tegasnya.
Lebih jauh, Ustaz Felix memaparkan bahwa konflik ini adalah bagian dari strategi dominasi global Amerika Serikat, yang ingin mengontrol semua kekuatan dunia, termasuk nuklir. Ia menyebut perjanjian Non-Proliferation Treaty (NPT) sebagai cara Barat membatasi negara-negara seperti Iran agar tidak memiliki senjata nuklir.
“Amerika dan ‘Israel’ boleh punya nuklir. Tapi negara lain tidak boleh. Maka ketika Iran memperkuat pertahanannya, itu dianggap ancaman. Padahal dulu Vietnam diserang Amerika hanya karena takut jadi komunis. Gaza jauh lebih parah, tapi dibiarkan,” tegasnya.
Ustaz Felix juga menyentil kondisi dunia Muslim yang saat ini hanya menjadi penonton dalam pertarungan peradaban global.
“Kalau nanti Amerika hancur dari dalam karena krisisnya sendiri, siapa yang akan mengambil tongkat estafet peradaban dunia? Jangan sampai jatuh ke tangan yang bukan Muslim. Kita harus menyiapkan diri dari sekarang,” serunya.
Sebagai penutup, ia menegaskan bahwa konflik Iran–“Israel” bukan soal pembela Palestina versus penjajah, tapi pertarungan kepentingan negara adidaya. Ia mendorong umat Islam untuk lebih cerdas membaca peta konflik, dan tidak mudah terjebak pada narasi palsu.
“Kalau Iran membuat repot ‘Israel’, maka kita cukup menyikapinya seperti ketika aktivis non-Muslim membela Gaza. Kita tidak membela akidah mereka, tapi kita melihat siapa yang merepotkan musuh umat. Itu saja,” pungkasnya.
(Samirmusa/arrahmah.id)