GAZA (Arrahmah.id) – Jalur menuju makanan di Gaza kini ibarat gauntlet (lintasan mematikan yang harus dilalui dengan taruhan nyawa).
Menurut kesaksian yang dikumpulkan oleh QNN, titik distribusi bantuan yang dikelola oleh pasukan ‘Israel’ dan Amerika berubah menjadi arena horor setiap hari. Mereka yang berusaha sampai ke sana mempertaruhkan hidup. Sementara yang tidak berhasil, pulang dengan perut kosong, kalau mereka masih sempat pulang.
Tak Ada Antrean. Tak Ada Ketertiban. Hanya Bertahan Hidup.
Kepada QNN, Yasser Eyad, seorang pengungsi Palestina yang kelaparan, menceritakan apa yang terjadi bahkan sebelum orang-orang mencapai yang disebut sebagai “zona aman”.
“Sebelum sampai ke sana,” katanya, “tentara di atas tank sudah menembak. Kalau kita menoleh ke arah mereka, mereka menembak. Penembak jitu dan drone menyerang atau menjatuhkan bom agar kita tak bisa mendekat.”
Banyak yang terluka bahkan sebelum melihat makanan.
Tidak ada antrean, tidak ada sistem pendaftaran.
“Siapa yang lari lebih cepat, dia yang makan,” kata Eyad. “Ini bukan sistem. Ini kepanikan. Kalau ragu sedikit saja, kamu kelaparan.”
Apa yang disebut ‘Israel’ sebagai “koridor kemanusiaan” sama sekali tidak bisa disebut aman.
Orang-orang diminta datang satu jam sebelum truk bantuan tiba. Tapi bahkan sebelum mereka sampai, tembakan sudah menghujani.
“Tidak ada yang tanya identitas,” lanjut Eyad. “Kamu hanya lari. Yang berhasil sampai, dapat makanan. Yang tidak, roboh karena peluru atau kelaparan.”
Langkah Seorang Ibu di Bawah Hujan Peluru
Umm Amir, seorang ibu yang sudah berkali-kali mencoba mengakses bantuan, menceritakan kepada QNN bagaimana rasanya berjalan enam kilometer tanpa kendaraan, dengan perasaan tak pasti apakah akan kembali hidup.
“Drone mengintai di atas. Tembakan dimulai bahkan sebelum kami tiba. Orang-orang roboh di sebelahmu, ada yang luka, ada yang tewas. Kami melangkah di atas genangan darah hanya untuk mendapatkan sekarung tepung,” ujarnya.
Suatu kali, saudara laki-lakinya, Suleiman, ditembak di kaki sebelum sampai ke titik bantuan.
“Dia masih menunggu operasi. Rumah sakit penuh,” katanya.
Ia juga menggambarkan bagaimana drone militer memberi instruksi melalui pengeras suara:
“Mereka bilang kami harus bergerak pada tengah hari. Tapi begitu kami mulai bergerak, mereka menembaki lagi.”
“Kami Mencelupkan Roti ke Darah”
“Ini bukan bantuan,” tegas Umm Amir. “Kami mencelupkan roti ke dalam darah.”
Setiap usaha menuju bantuan makanan kini berubah menjadi permainan hidup atau mati. Hanya ada tiga kemungkinan: pulang dengan makanan, pulang dengan tangan kosong, atau tak pulang sama sekali.
Orang-orang mulai memungut apapun yang bisa diselamatkan dari tanah, kantong makanan yang rusak, tepung yang berserakan.
“Kadang saya pulang tanpa apa-apa,” tutur Umm Amir. “Kadang hanya remah-remah.”
“Tak ada lagi antrean. Hanya kekacauan. Hanya perlombaan untuk bertahan hidup.”
Rutinitas Mematikan
Menurut Kantor Media Pemerintah Gaza, titik distribusi bantuan yang dikelola ‘Israel’ dan AS ini telah menewaskan sedikitnya 163 warga sipil dan melukai hampir 1.500 lainnya sejak didirikan.
Organisasi yang menjalankan lokasi-lokasi bantuan ini, Gaza Humanitarian Foundation (GHF), menjadi sorotan dan kecaman karena dianggap dikendalikan oleh militer ‘Israel’ dan menjebak warga sipil ke dalam perangkap mematikan yang dikamuflase sebagai misi kemanusiaan. (zarahamala/arrahmah.id)