GAZA (Arrahmah.id) – Di tengah reruntuhan dan kelaparan yang melanda Gaza, muncul tuduhan serius: sebagian bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayah tersebut disabotase oleh kelompok-kelompok yang disebut “berkoordinasi langsung dengan pasukan pendudukan ‘Israel’.” Alih-alih menjangkau warga yang kelaparan, bantuan itu dijarah, lalu dijual kembali dengan harga selangit kepada penduduk yang putus asa.
Menurut Mahmoud Basal, juru bicara Pertahanan Sipil Gaza, pencurian bantuan ini bukan sekadar ulah kriminal, tapi dilakukan dengan “perlindungan langsung dari militer ‘Israel’.” Bahkan sejak 18 Maret lalu, wilayah utara Gaza, yang paling terdampak, tak menerima sebutir pun bantuan. Sementara wilayah selatan hanya kebagian secuil, tak cukup bahkan untuk bertahan hidup.
Basal menegaskan: ini bukan kekacauan biasa, tapi strategi yang disengaja. Bantuan yang masuk dikuasai kelompok bersenjata, dijual kembali, dan warga yang kelaparan pun terjebak dalam lingkaran kemiskinan, rasa malu, dan kelumpuhan total.
Sementara itu, laporan dari Euro-Med Human Rights Monitor mengungkap hal lebih mengerikan: lebih dari 600 warga Palestina ditembak atau dibunuh di sekitar titik distribusi bantuan yang dikendalikan penuh oleh militer ‘Israel’, dalam kurun waktu sepekan saja. Titik distribusi ini, bukannya jadi tempat harapan, justru berubah jadi jebakan maut.
“Ini adalah pembantaian atas nama kelaparan,” kata Basal. Ia menyebut strategi ‘Israel’ sebagai bentuk lain dari agresi: pembunuhan dengan kelaparan. Harga bahan makanan melonjak tak masuk akal. Uang tak ada. Air pun harus dicari jauh, dipikul anak-anak dengan tubuh setengah kurus.
Yang terjadi di Gaza, kata Basal, bukan sekadar kegagalan distribusi bantuan. Ini adalah penghinaan sistematis terhadap martabat manusia, strategi untuk menekan, mematahkan, dan pada akhirnya, melenyapkan seluruh populasi, “pembantaian demi sesuap nasi.”
Laporan ini muncul di tengah peringatan global yang makin nyaring soal ancaman kelaparan massal di Gaza. PBB menyebut lebih dari 2,3 juta warga kini berada di ambang kelaparan total. Anak-anak mulai meninggal dunia, bukan karena peluru, tapi karena tidak ada sepotong roti pun yang bisa mereka temukan.
Sudah hampir 20 bulan Gaza digempur tanpa henti. Lebih dari 54 ribu jiwa melayang, lebih dari 125 ribu terluka. Sementara di bawah reruntuhan, masih banyak yang terkubur tanpa nama. Dan kini, bom bukan satu-satunya senjata. Lapar pun kini dijadikan alat perang. (zarahamala/arrahmah.id)