Oleh: Ibnu Salman*
(Arrahmah id) – Two State Solution atau solusi dua negara. Sebuah kalimat yang belakangan ini ramai diperbincangkan, terutama setelah Presiden Prabowo Subianto menyatakan bahwa Indonesia siap mengakui “Israel” dan membuka hubungan diplomatik, jika penjajah itu mengakui kemerdekaan Palestina.
Untuk memahami masalah Palestina dengan pihak penjajah “Israel”, termasuk soal solusi dua negara itu, kita harus kembali melihat ke belakang. Dengan menengok sejarah, kita akan memahami akar permasalahannya. Untuk itu, kita perlu membuka kembali lembaran sejarah awal perampasan tanah Palestina oleh kaum Zionis—yang tentu saja tidak dapat diulas secara lengkap dalam ruang terbatas ini.
Bukan Konflik, tapi Penjajahan
Sering kali kita mendengar bahwa masalah perampasan tanah Palestina yang didukung Barat disebut sebagai konflik Palestina-“Israel”. Padahal, berdasarkan fakta sejarah—yakni pengusiran warga Palestina dan pendudukan atas tanah bangsa Palestina oleh kaum pendatang Yahudi yang membentuk milisi Zionis—jelas bahwa ini adalah penjajahan. Sama sekali bukan konflik. Ini adalah penjajahan yang disponsori oleh Inggris dan sekutunya. Belakangan, sejak 1948, Amerika Serikat dan sekutunya turut menjadi pendukung penjajahan ini, bahkan kini menjadi pendukung utamanya.
Sejak pembentukan Komisi Peel oleh Inggris pada tahun 1937, mereka telah menyusun skenario seolah-olah masalah Palestina adalah perebutan wilayah yang menimbulkan konflik antara dua pihak. Padahal, kenyataannya adalah kaum Zionis Yahudi merebut tanah milik bangsa Palestina. Komisi Peel inilah yang pertama kali menggagas solusi dua negara. Dan puncaknya terjadi pada tahun 1948, yakni pengusiran paksa terhadap bangsa Palestina yang kini dikenang setiap 15 Mei sebagai Hari Nakba (Bencana). Hari ini, terutama di Gaza, penjajahan itu telah berubah menjadi genosida.
Maka, pernyataan Prabowo yang menyebut Indonesia siap mengakui “Israel” dan membuka hubungan diplomatik dengan penjajah tersebut, serta menjamin hak “Israel” untuk berdiri sebagai negara yang berdaulat dan aman—jika Palestina merdeka—adalah pernyataan yang janggal dan bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 yang menolak segala bentuk penjajahan di atas dunia.
Pernyataan itu janggal karena Prabowo menyatakan mendukung penuh kemerdekaan Palestina. Tapi dengan solusi dua negara, maka kemerdekaan Palestina menjadi tidak penuh. Jika kemerdekaan Palestina hanya dengan cara membagi wilayahnya berdasarkan solusi dua negara, maka sesungguhnya Palestina belum benar-benar merdeka. Dan mayoritas bangsa Palestina menolaknya.
Dalam wawancara dengan beberapa stasiun televisi, pemimpin diaspora Hamas yang berkedudukan di Doha, Qatar, Khalid Misy’al, menyatakan bahwa dalam pembagian wilayah tahun 1967 setelah Perang Enam Hari, Palestina hanya mendapat 21 persen wilayah—atau hanya seperlima dari total wilayah aslinya. Padahal, pembagian tahun 1967 inilah yang dijadikan acuan dalam solusi dua negara, yang secara terselubung justru melegalkan perampasan dan penjajahan atas bangsa Palestina. Kata Khalid Misy’al: “Kami justru ingin mengembalikan wilayah Palestina seperti sebelum 1948.”
Bahkan Komite Peel bentukan Inggris pada tahun 1937 sudah menyatakan bahwa orang-orang Arab dan Yahudi dalam satu negara tidak bisa disatukan karena adanya permusuhan yang keras dan laten di antara mereka.
Maka, jika ingin perdamaian yang sejati, seharusnya kaum Yahudi disatukan dengan komunitas Yahudi lainnya. Akan lebih tepat jika kaum Yahudi yang menjajah Palestina itu disatukan dengan komunitas Yahudi di Siberia. Di sana, etnis Yahudi memiliki wilayah otonom khusus.
Solusi Satu Negara
Sudah saatnya kita meninggalkan solusi dua negara dan beralih pada satu negara yang adil. Solusinya adalah dengan hengkangnya kaum Zionis Yahudi dari wilayah Palestina—yang bukan wilayah mereka. Palestina adalah milik bangsa Palestina. Komunitas Yahudi sendiri telah disiapkan tanah airnya oleh pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin. Pada tahun 1928, keluarga-keluarga Yahudi mulai dipindahkan ke wilayah dekat lembah Sungai Amur, Tikhonkaya, Siberia. Secara bertahap, kawasan itu berkembang menjadi Birobidzhan, ibu kota Oblast Otonom Yahudi (sekitar 6.000 kilometer di timur Moskow).
Maka, kaum Yahudi yang menjajah Palestina dengan dukungan Inggris bisa disatukan dengan komunitas sesama Yahudi mereka di Birobidzhan, Siberia. Karena, jika mereka didekatkan dengan komunitas lain—terlebih komunitas Muslim—seperti diakui oleh Komite Peel sendiri pada 1937, akan terjadi permusuhan yang keras dan mendalam, seperti yang kini terjadi di Palestina: genosida.
Al-Qur’an pun menyatakan: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik…” (QS Al-Maa’idah: 82).
Jadi, selamat tinggal two state solution, solusi dua negara—yang nyatanya tidak solutif.
*Jurnalis
(*/arrahmah.id)