(Arrahmah.id) — Namanya mungkin terdengar asing bagi sebagian, namun kiprahnya pernah menembus jantung kekuasaan Republik Islam Iran: mewawancarai presiden, berkontribusi di situs resmi Khamenei, hingga berdiri di samping Jenderal Qassem Soleimani di Karbala. Kini, setelah bertahun-tahun menyamar sebagai muslimah Syiah revolusioner, Catherine Perez Shakdam kembali tampil sebagai seorang Yahudi Zionis dan membuka kebohongan besar yang pernah ia bangun sendiri.
Dalam artikel panjang berjudul The Mossad Agent Who Never Was yang diterbitkan oleh American Centre for Levant Studies, Catherine mengaku telah memainkan peran ganda selama satu dekade — menyusup ke tubuh revolusi Iran demi membongkar wajah aslinya. Ia menyebut perjalanannya sebagai “misi yang bermula dari kebetulan, namun berkembang menjadi pengabdian penuh pada kebenaran.”

Dari Paris ke Sanaa: Jalan Masuk yang Tidak Direncanakan
Catherine lahir di Prancis dalam keluarga Yahudi sekuler. Setelah dewasa, ia menikah dengan seorang pria Yaman bermazhab Sunni dan pindah ke Sanaa pada 2002. Di sanalah ia mulai menyaksikan infiltrasi ideologis dan militer Iran melalui kelompok Houthi. Ketertarikannya terhadap dunia Timur Tengah, dikombinasikan dengan gejolak batinnya, mengantarnya masuk ke lingkungan pro-Iran.
Ia memperkenalkan diri sebagai seorang mualaf yang tertarik dengan ideologi revolusi Islam. Berpakaian syar’i dan menggunakan nama Islam, Catherine mulai menulis opini dan artikel yang memuji Iran, menyerang Zionisme, dan membela Houthi. Ia dengan cepat mendapatkan perhatian tokoh-tokoh penting Iran.

Di antara mereka adalah Hassan Al-Emad, agen IRGC dan anak dari ulama Syiah berpengaruh, serta Nader Talebzadeh, sineas dan propagandis utama Republik Islam Iran yang dekat dengan Ayatollah Khamenei. Mereka membuka jalur bagi Catherine untuk menjadi wajah Barat yang “bersyahadat” demi Revolusi Islam.
Menjadi Bintang Propaganda: Dari Press TV ke Khamenei.ir
Dengan citranya sebagai wanita Barat berjilbab, pro-Palestina, dan anti-Zionis, Catherine dilibatkan dalam banyak produksi media Iran. Ia tampil di Press TV, menulis untuk Mehr News, dan bahkan berkontribusi di situs resmi Khamenei.ir. Karyanya dipuji karena mampu menyampaikan narasi revolusioner dalam bahasa Inggris yang halus namun membakar.
Ia juga menjalin hubungan erat dengan berbagai tokoh pro-Iran di Inggris, termasuk George Galloway — presenter TV kontroversial yang dikenal pro-Hezbollah, serta Kim Sharif — sepupu dari Abdel Malek al-Houthi dan disebut sebagai aset Iran di London.
Semua ini berpuncak pada tahun 2017 saat Catherine diundang ke Konferensi Internasional Palestina di Teheran. Di sana, ia berinteraksi langsung dengan Presiden Hassan Rouhani, mantan presiden Mahmoud Ahmadinejad, dan elite lainnya. Tak hanya itu, ia juga diberi kesempatan audiensi pribadi dengan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.
Pertemuan dengan Sang Rahbar: Mimpi atau Mimpi Buruk?
Dalam pengakuannya, Catherine menyebut pertemuan tersebut sebagai “titik balik.” Ia menggambarkan bagaimana Khamenei, dengan penuh keyakinan, menyatakan bahwa seruan “Death to America” dan “Death to Israel” bukan sekadar slogan politik, tapi hukum ilahi untuk memusnahkan “mereka yang berjalan di jalan Setan.”

Catherine mengaku terkejut, tetapi tetap meneruskan perannya. Ia melaporkan bahwa strategi Iran terhadap Yahudi di diaspora sangat spesifik — memetakan mereka, menyusup ke komunitas mereka, dan menyiapkan narasi untuk membenarkan serangan di masa depan.
Tak lama setelah itu, ia juga bertemu langsung dengan Jenderal Qassem Soleimani di Karbala dalam Ziarah Arbaeen. Menurutnya, Soleimani adalah figur yang paling keras dan haus darah yang pernah ia jumpai. Sang jenderal, katanya, memuja penderitaan dan kematian sebagai bahan bakar kemenangan Islam.
Mewawancarai Raisi dan Membaca Ambisinya
Pada tahun yang sama, Catherine mendapat akses untuk mewawancarai Ebrahim Raisi — saat itu masih menjadi kandidat presiden. Ia menggambarkan Raisi sebagai pribadi pendiam namun penuh keyakinan, sangat fanatik terhadap ajaran Khomeini, dan memiliki ambisi besar untuk memimpin dunia Islam di bawah panji Revolusi.
Wawancara tersebut diterbitkan luas dan menjadi bagian dari kampanye propaganda IRGC ke dunia Barat, dengan Catherine sebagai jembatanya.

Namun seiring waktu, Catherine mulai merasa terkepung oleh kebohongannya sendiri. Pada akhir 2018, ia mulai menarik diri, terlebih setelah muncul kecurigaan bahwa ia sebenarnya adalah infiltrator Zionis. Seluruh narasi yang ia bangun selama bertahun-tahun mulai runtuh.
Dari Panggung Revolusi ke Pengakuan Publik
Pada akhir 2021, Catherine akhirnya mengungkapkan semuanya dalam wawancara dan tulisan panjang di Times of Israel. Ia mengaku tidak pernah bekerja untuk Mossad, tetapi menyadari bahwa dirinya memang berhasil menjalankan peran layaknya agen rahasia. Rezim Iran pun merespons keras dan menjulukinya sebagai “musuh negara.”
Dalam tulisannya, Catherine mengkritik keras cara Barat menilai ancaman Iran. Ia menyebut bahwa ancaman terbesar Iran bukan pada senjata nuklirnya, tetapi pada kemampuannya menanam jaringan loyalis dan menabur kebencian di jantung institusi Barat — dari masjid, universitas, hingga parlemen.
Menurut Catherine, Revolusi Islam bukan hanya agenda lokal, tapi proyek global yang ingin mengubah wajah dunia atas nama kebencian terhadap kebebasan.
“Iran adalah manipulator ulung,” tulisnya. “Mereka menggunakan wajah damai dan bahasa demokrasi untuk menanam racun ideologi sektarian dan kekerasan di tengah-tengah kita.”
Penutup: Peringatan dari Mantan ‘Muslimah’ Revolusi
Catherine Perez Shakdam kini kembali ke identitas aslinya — Yahudi, sekuler, dan penentang keras Teheran. Namun jejaknya yang pernah menembus ruang-ruang rahasia Iran membuat kesaksiannya sangat berharga bagi dunia yang ingin memahami bagaimana perang pemikiran dan infiltrasi ideologis dijalankan di era modern.
Ia menutup tulisannya dengan kalimat yang mencengangkan:
“Saya bukan agen Mossad. Tapi saya tahu persis bagaimana dunia intelijen bekerja, dan bagaimana kebodohan ideologis bisa membuat para diktator membuka pintu-pintu rahasia mereka.”
(Samirmusa/arrahmah.id)