Amin Huballah
Jurnalis di Jaringan Aljazeera
(Arrahmah.id) – Perang genosida di Jalur Gaza yang telah berlangsung selama beberapa bulan memiliki ciri khas, antara lain perang kelaparan dan fokus pada penghancuran bangunan serta infrastruktur, termasuk merobohkan sisa-sisa bangunan tempat tinggal di wilayah yang telah porak-poranda ini. Sejak lebih dari seminggu terakhir, militer “Israel” meningkatkan intensitas serangan terhadap rumah-rumah dan bangunan tempat tinggal bertingkat yang masih bertahan di Jalur Gaza, di tengah kekhawatiran warga Palestina akan upaya terus-menerus untuk mengusir mereka dan menduduki tanah mereka melalui operasi yang disebut “Kereta Gideon.”
Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia memperingatkan adanya pola yang meningkat dari serangan pengeboman yang menargetkan tenda-tenda, bangunan tempat tinggal, dan rumah sakit yang penuh sesak, serta penghancuran sistematis terhadap seluruh permukiman. Berikut adalah beberapa poin penting terkait kebijakan penghancuran “Israel” yang awalnya dilakukan secara acak di awal perang, namun kemudian berubah menjadi kebijakan yang sistematis dan disengaja.
1. Mengapa Penghancuran Bangunan Dilakukan Secara Sistematis?
Banyak pengamat berpendapat bahwa “Israel” mempercepat dan mengintensifkan kebijakan penghancuran bangunan dan infrastruktur untuk mencapai sejumlah tujuan, termasuk:
- Menerapkan kebijakan pengusiran. “Israel” gagal menerapkan pengusiran selama lebih dari satu setengah tahun perang yang menghancurkan Gaza. Melalui kebijakan penghancuran ini, “Israel” bertujuan untuk meneror warga Gaza yang tersisa di wilayah tersebut agar mengungsi di bawah tekanan serangan.
- Membuat kembalinya warga ke rumah mereka mustahil. Pada 13 Mei lalu, kebocoran dari sesi Komite Urusan Luar Negeri dan Pertahanan di Knesset mengungkapkan bahwa Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu—yang dicari Mahkamah Pidana Internasional atas tuduhan kejahatan perang—mengakui bahwa rumah-rumah warga Palestina di Gaza sengaja dihancurkan untuk mencegah mereka kembali. Dalam sesi tertutup tersebut, Netanyahu berkata, “Kami menghancurkan lebih banyak rumah di Gaza setiap hari, sehingga warga Palestina tidak akan memiliki tempat untuk kembali.” Ia menambahkan, “Hasilnya hanya satu: migrasi warga Gaza ke luar Jalur Gaza, tetapi tantangan terbesarnya adalah menemukan negara yang bersedia menerima mereka.”
- Memperluas operasi darat ke wilayah yang lebih luas sesuai rencana “Israel” yang telah diumumkan sebelumnya, terutama di utara Gaza.
- Menduduki wilayah yang dihancurkan dan mengusir penduduknya sebagai bagian dari operasi “Kereta Gideon”, yang menurut “Israel” bertujuan untuk menguasai wilayah-wilayah yang diduduki. Media “Israel” pada 22 Mei lalu melaporkan rencana militer “Israel” untuk menguasai 75% wilayah Gaza dalam dua bulan ke depan.
- Menjadikan Gaza tidak layak huni. Hal ini dikonfirmasi oleh investigasi bersama yang diterbitkan oleh majalah digital “Israel” +972, yang mendokumentasikan dengan foto dan video skala kerusakan besar di Gaza akibat serangan udara dan buldoser “Israel”, yang menyebabkan banyak korban jiwa dan luka-luka. Investigasi yang disusun oleh jurnalis Meron Rapoport dan fotografer Oren Ziv ini mencatat pernyataan tentara “Israel” tentang kampanye sistematis untuk menjadikan Gaza tidak layak huni.
2. Seberapa Besar Kerusakan di Gaza?
Statistik terbaru yang dirilis oleh Kantor Media Gaza pada akhir Mei lalu menunjukkan:
- 88% wilayah Gaza mengalami kerusakan total setelah 600 hari genosida.
- 77% wilayah Gaza dikuasai “Israel” melalui invasi, pengeboman, dan pengusiran.
- 38 rumah sakit dibom, dihancurkan, atau tidak lagi berfungsi.
- 82 pusat medis dibom, dihancurkan, atau tidak beroperasi.
- 164 fasilitas kesehatan dibom, dihancurkan, atau tidak berfungsi.
- 144 ambulans menjadi sasaran “Israel”.
- 54 kendaraan pertahanan sipil (penyelamatan dan pemadam kebakaran) diserang.
- 149 sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan hancur total.
- 369 sekolah, universitas, dan lembaga pendidikan rusak sebagian.
- 828 masjid dihancurkan total oleh “Israel”.
- 167 masjid rusak sebagian.
- 3 gereja diserang oleh “Israel”.
- 19 dari 60 pemakaman dihancurkan.
- 210.000 unit tempat tinggal hancur total.
- 110.000 unit tempat tinggal rusak parah dan tidak layak huni.
- 180.000 unit tempat tinggal rusak sebagian.
- 280.000 keluarga Palestina kehilangan tempat tinggal.
- 113.000 tenda rusak total dan tidak layak digunakan.
- 241 pusat penampungan dan pengungsian diserang.
- 719 sumur air dihancurkan dan tidak berfungsi.
- 3.780 km jaringan listrik dihancurkan.
- 2.105 trafo distribusi listrik (udara dan darat) dihancurkan.
- 330.000 meter jaringan air dihancurkan.
- 227 gedung pemerintahan dihancurkan.
- 46 fasilitas olahraga (stadion dan gym) dihancurkan.
- 206 situs arkeologi dan warisan budaya dibom.
3. Bagaimana Laju Penghancuran di Gaza?
“Israel” melancarkan serangan udara ke Gaza beberapa jam setelah serangan perlawanan “Badai Al-Aqsa” pada 7 Oktober 2023. Invasi darat dimulai di wilayah utara Gaza, dengan fokus pada area padat penduduk seperti Beit Hanoun dan Jabalia. Dalam sebulan pertama perang, 15% bangunan di Gaza rusak atau hancur, dengan 34% di utara Gaza dan 31% di Kota Gaza rusak atau hancur per 10 November.
Pada 5 Januari, setelah tiga bulan pengeboman terus-menerus, sekitar 44% bangunan di Gaza rusak atau hancur. Mayoritas kerusakan terjadi di utara, dengan sekitar 70% bangunan di utara Gaza dan Kota Gaza hancur. Fasilitas medis juga menjadi sasaran pengeboman dan invasi darat, dengan pengepungan rumah sakit seperti Rumah Sakit Al-Shifa di Kota Gaza, yang menyebabkan layanan darurat terhenti.
Setelah 15 bulan serangan udara, Gaza hanya tersisa sebagai kerangka dari apa yang dulu ada. Sekitar 60% bangunan rusak atau hancur, dengan Kota Gaza menjadi yang terparah, di mana 74% bangunannya hancur. Setelah lebih dari 600 hari perang genosida, tingkat kerusakan mencapai 88%, menurut Kantor Media Gaza.
4. Bagaimana Bangunan-Bangunan Dihancurkan?
Laporan lokal dan internasional menyebutkan bahwa militer “Israel” menggunakan alat berat militer dan “sabuk api” untuk meratakan seluruh permukiman, menargetkan infrastruktur seperti rumah, sekolah, rumah sakit, serta fasilitas air dan listrik, mengubah area luas menjadi tidak layak huni. Menurut laporan Euro-Mediterranean Human Rights Monitor pada Desember lalu, militer “Israel” menggunakan empat metode penghancuran: peledakan dengan robot dan tong peledak, pengeboman udara dengan bom dan rudal penghancur, penanaman bahan peledak untuk peledakan jarak jauh, serta perataan dengan buldoser militer dan sipil “Israel”.
Seorang tentara yang baru kembali dari tugas cadangan di Rafah menggambarkan kepada majalah +972 metode penghancuran bangunan oleh tentara “Israel”. Ia berkata, “Mereka menghancurkan 60 rumah dalam sehari. Rumah satu atau dua lantai dihancurkan dalam satu jam, sedangkan rumah tiga atau empat lantai membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Saya bertugas mengamankan empat atau lima buldoser.” Ia menambahkan bahwa tugas resmi mereka adalah membuka jalur pasokan untuk manuver, tetapi buldoser sebenarnya menghancurkan rumah. Bagian tenggara Rafah, katanya, telah hancur total dan tidak lagi bisa disebut kota.
Pernyataan tentara ini, menurut majalah tersebut, selaras dengan kesaksian 10 tentara lain yang bertugas di Gaza dan Lebanon Selatan sejak 7 Oktober 2023, serta video yang dipublikasikan tentara, pernyataan pejabat tinggi, analisis citra satelit, dan laporan organisasi internasional. Menurut investigasi +972, sebagian besar kerusakan di Gaza bukan berasal dari pengeboman udara atau pertempuran darat, melainkan dari buldoser “Israel” atau bahan peledak, sebagai tindakan disengaja berdasarkan keputusan strategis untuk meratakan bangunan. Senjata utama adalah buldoser lapis baja D9 dari Caterpillar, yang telah lama digunakan untuk pelanggaran hak asasi manusia di wilayah Palestina yang diduduki. Namun, tentara juga menyebut metode lain, seperti mengisi kontainer atau kendaraan militer yang rusak dengan bahan peledak dan meledakkannya dari jarak jauh.
Sebuah video yang beredar menunjukkan militer “Israel” menggunakan peralatan teknik dan perusahaan kontraktor untuk mempercepat penghancuran dalam rangka rencana menyeluruh untuk menghapus permukiman di utara Gaza dan Kota Gaza sebagai bagian dari operasi “Kereta Gideon”, mirip dengan penghancuran total permukiman di Rafah.
5. Wilayah Mana yang Dihancurkan?
Hampir seluruh wilayah Gaza terkena dampak penghancuran, dengan sebagian besar bangunan berubah menjadi tumpukan puing yang mengubur penghuninya, terutama di Provinsi Utara. Militer “Israel” mengintensifkan kebijakan “pemusnahan kota” melalui penghancuran total rumah, permukiman, dan infrastruktur. Penghancuran sistematis ini meluas ke wilayah tengah dan selatan. Majalah +972 mengutip situs berita “Israel”, Hottest Place in Hell, yang melaporkan bahwa militer “Israel” menghancurkan semua bangunan dalam jarak satu kilometer dari pagar perbatasan di dalam Gaza, meskipun tidak diklasifikasikan sebagai “infrastruktur teroris” oleh intelijen atau tentara di lapangan. Laporan tersebut menyebutkan bahwa 75% hingga 100% bangunan di dekat pagar perbatasan, seperti di Beit Hanoun, Beit Lahia, dan lingkungan Al-Shujaiya di utara Gaza, serta di Khirbet Khuza’a dekat Khan Younis, dihancurkan tanpa pandang bulu.
Penghancuran yang dimulai di Khirbet Khuza’a menjadi pola umum di seluruh Gaza untuk menjadikan wilayah tersebut tidak layak huni. Penghancuran tidak hanya terbatas pada bangunan dekat pagar perbatasan, tetapi kebijakan perataan infrastruktur sipil secara sistematis melanda sebagian besar wilayah Gaza. Para blogger melaporkan bahwa Khirbet Khuza’a menjadi wilayah yang sepenuhnya terdampak bencana akibat serangan langsung dan berkelanjutan yang menghancurkan semua aspek kehidupan, dari rumah, jalan, hingga kamp-kamp sementara, dengan kerusakan yang melebihi perkiraan dan menjadikan wilayah tersebut tidak layak huni.
6. Apa Kata Organisasi Hak Asasi Manusia?
Organisasi hak asasi manusia secara konsisten menyatakan bahwa penghancuran bangunan dan infrastruktur oleh “Israel” merupakan kejahatan perang dan dapat diklasifikasikan sebagai genosida, meskipun “Israel” mengabaikan kecaman dan tuntutan untuk menghentikan operasi tersebut. Human Rights Watch menyatakan bahwa rencana “Israel” untuk menghancurkan infrastruktur Gaza dan memusatkan warga Palestina di wilayah sempit merupakan genosida, menyerukan penghentian dukungan militer dan diplomatik untuk “Israel” serta pemberlakuan sanksi terhadap pejabatnya. Dalam pernyataannya, organisasi ini menyebutkan bahwa otoritas “Israel”, yang telah mencegah masuknya makanan, obat-obatan, dan bantuan kemanusiaan selama lebih dari 75 hari, merancang rencana untuk meratakan bangunan tempat tinggal dan mengusir warga Gaza ke zona kemanusiaan yang sempit, kecuali jika kesepakatan dicapai dengan Hamas pada pertengahan Mei.
Organisasi tersebut menambahkan bahwa menangani situasi kemanusiaan yang memburuk di Gaza—akibat blokade ilegal, pengusiran paksa yang meningkat, dan penghancuran besar-besaran—membutuhkan respons internasional yang lebih efektif, terutama dari Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Uni Eropa, dan Inggris. Direktur Eksekutif Sementara Human Rights Watch, Federico Borello, menyatakan, “Pejabat ‘Israel’ membanggakan rencana mereka untuk memadati dua juta warga Gaza ke wilayah yang lebih kecil sambil menjadikan wilayah lainnya tidak layak huni. Pernyataan ini harus menjadi alarm di London, Brussel, Paris, dan Washington. Blokade ‘Israel’ telah melampaui taktik militer dan menjadi alat genosida.” Ia menambahkan bahwa rencana “Israel” untuk menghancurkan infrastruktur Gaza, ditambah dengan penghancuran sistematis rumah, sekolah, rumah sakit, kebun, dan fasilitas air serta sanitasi, serta penggunaan kelaparan sebagai senjata perang, merupakan tindakan yang termasuk dalam kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk genosida.
Nada kecaman serupa terdengar di berbagai belahan dunia, bahkan di “Israel”. Pengacara dan ahli hak asasi manusia “Israel”, Michael Sfard, menyatakan kepada +972 bahwa penghancuran properti warga yang tidak diperlukan oleh kebutuhan perang adalah kejahatan perang, dan ada kejahatan perang yang lebih serius, yaitu penghancuran disengaja dalam skala besar tanpa alasan kebutuhan militer.
7. Berapa Biaya Rekonstruksi?
Menurut perkiraan PBB, biaya total untuk membangun kembali kerusakan akibat perang mencapai 40 miliar dolar AS. Jumlah puing di Gaza diperkirakan mencapai 37 juta ton, dengan lebih dari 70% rumah di Gaza rusak atau hancur. PBB menegaskan bahwa kerusakan ini sangat besar dan menakutkan, dengan sektor pendidikan dan kesehatan hampir sepenuhnya hancur.
_____________
Artikel ini diterjemahkan dari Al Jazeera Net dengan judul asli dalam bahasa Arab: سبعة أسئلة تشرح لماذا تمعن إسرائيل بنسف المباني السكنية بغزة ( Sab‘atu As’ilah Tushrih Limādhā Tama‘‘an Isrā’īl bi-Nasf al-Mabānī as-Suknīyah bi-Ghazah), yang dalam bahasa Indonesia berarti “Tujuh Pertanyaan yang Menjelaskan Mengapa ‘Israel’ Sengaja Merobohkan Bangunan-Bangunan di Gaza”.
(Samirmusa/arrahmah.id)